Mohon tunggu...
david yohanes
david yohanes Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang yang tertarik pada tulisan mengenai apa saja. terutama sosial, bola, dan seni

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bolehkah Wartawan Menerima Uang Rakyat?

28 September 2015   19:53 Diperbarui: 28 September 2015   20:10 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[poskotapontianak.com]

 

Alkisah ada dua perusahaan yang berdiri dengan sukes. Perusahaan pertama, sebut saja PT Sahabat dan perusahaan kedua, sebut saja PT Makmur. Kedua PT ini sebenarnya bermitra, dan saling membantu.

Namun muncul masalah pelik saat menjelang lebaran. Pangkalnya, PT Sahabat merasa kasihan kepada karyawan PT Makmur yang dianggap kurang sejahtera. PT Sahabat ingin memberikan alokasi tunjangan hari raya (THR) kepada karyawan PT Makmur .

Bukankah niat PT Sahabat sungguh mulia? Namun niat ini mendapat penentangan dari karyawannya sendiri. Mereka marah, sebab dana THR yang seharusnya untuk mereka beralih ke karyawan perusahaan lain.

Di sisi lain, karyawan PT Makmur bersorak gembira. Sebab mereka mendapatkan tambahan uang di luar alokasi perusahaan mereka. Sedangkan manajemen PT Makmur pura-pura bloon dan tutup mata atas kejadian tersebut.

Mungkin kita akan menilai, perilaku PT Sahabat aneh, di luar nalar sehat, bodoh dan sebagainya. Namun kondisi tersebut benar-benar terjadi. Hubungan antara wartawan/jurnalis dengan instansi pemerintahan serupa hubungan PT Sahabat dan PT Makmur .

Instansi pemerintah digambarkan sebagai PT Sahabat, dan perusahaan Pers diibaratkan PT Makmur. Wartawan diibaratkan karyawan PT Makmur, sedangkan rakyat dilambangkan sebagai karyawan PT Sahabat. Sementara alokasi THR tersebut adalah uang rakyat (APBD/APBN).

Secara kodrat wartawan memang harus menjadi kontrol jalannya pemerintahan. Wartawan harus bersikap kritis dan mengawal kebijakan negara agar selalu pro rakyat. Namun kenyataannya kodrat wartawan ini kerap dibenci instansi pemerintah, utamanya para pejabat yang berlaku korup.

Dengan alasan menjalin kemitraan, instansi pemerintah menyisihkan alokasi anggaran untuk wartawan. Sebenarnya bukan untuk kemitraan. Namun lebih tepatnya “dana pengamanan”.

Dana pengamanan ini adalah bentuk suap, agar perilaku wartawan bisa dikendalikan sesuai kemauan mereka. Jika ada berita miring, agar dipoles menjadi lebih halus dan meninggalkan kesan memojokan. Jika ada prestasi diminta untuk melakukan blow up besar-besaran.

Kita harus ingat, alokasi dana untuk wartawan tersebut bukan diambil dari kantong pribadi. Alokasi tersebut diambilkan dari uang rakyat (APBD). Bahkan beberapa daerah terang-terangan memasukan poin alokasi dana wartawan ini dalam APBD.

 

Pertanyaannya, “bolehkah APBD dialokasikan untuk wartawan?” Jawabannya jelas: tidak boleh!

Sebab antara instansi pemerintahan dan wartawan, keduanya berada di “perusahaan” yang berbeda. Instansi pemerintahan sebagai perusahaan mempunyai karyawan, yaitu rakyat. Sedangkan wartawan sebagai buruh punya induk perusahaan, yaitu perusahaan pers(misalnya: Kompas, Jawa Pos, Sindo dan sebagainya).

Alokasi APBD untuk wartawan jelas haram, layaknya alokasi dana PT Sahabat untuk karyawan PT Makmur. Seperti halnya karyawan PT Makmur yang marah, rakyat berhak marah jika ada alokasi APBD untuk wartawan. Rakyat berhak menolak dan menuntut alokasi tersebut dihapus.

Di antara organisasi Pers yang ada, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tegas menolak APBD untuk wartawan. AJI pernah melakukan demonstrasi di Kediri, karena pemerintah setempat mencantumkan dana buat wartawan. Beberapa personil AJI juga melakukan hal serupa di Tulungagung.

Namun ada pula organisasi Pers yang selalu “menyusu” ke pemerintah. Mereka berupaya ada alokasi dana negara untuk organisasi mereka. Bahkan tidak segan membuat berbagai kegiatan, dengan harapan bisa mengajukan dana sponsor ke instansi pemerintahan.

Sebagai tambahan cerita, suatu ketika ada acara puncak perayaan sebuah hari bersejarah di Surabaya. Ketika itu ada rombongan wartawan dari Tulungagung, bermaksud menemui puncuk pimpinan sebuah organisasi pers. Mereka ingin minta sumbangan, untuk menyewa sekretariat baru.

Saya yang duduk tidak jauh dari mereka, jelas mendengar setiap detil pembicaraan. Yang membuat saya tercengang, pimpinan organisasi pers tersebut bertanya, “apakah pemerintah setempat (Pemkab Tulungagung) tidak mau membantu?”

Dalam hati saya berpikir, “jika organisasi wartawannya saja bersikap *(bodrek), apa yang diharapkan dari anggotanya?” Apa yang bisa diharapkan dari perilaku insan pers yang menyusu kepada dana negara? Dimana letak independensi mereka?

Karena itu, sudah saatnya rakyat mengambil sikap untuk memberikan kontrol terhadap perilaku pers. Caranya dengan mendirikan lembaga-lembaga “media watch”. Mereka wajib mengritisi semua aspek pers.

Mulai dari perilaku wartawannya, cara bisnis perusahaan pers, sampai pada menolak alokasi dana negara (APBN/APBD) untuk wartawan. Rakyat berhak marah dan menghukum pers yang menikmati “bocoran” uang negara.

Wartawan memang harus sejahtera agar mampu bersikap profesional. Caranya, wartawan harus menuntut ke perusahaan pers tempatnya bekerja. Bukan menuntut alokasi dana yang diambilkan dari APBD/APBN.

 

*bodrek mempunyai konotasi, wartawan yang tidak punya media. Namun ada pula yang mengartikan, wartawan yang punya media, namun digunakan untuk memeras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun