Mohon tunggu...
Raja Rogate
Raja Rogate Mohon Tunggu... Penulis - .

Pemuda Biasa yang suka menulis jika sedang ingin menulis. Instagram @RajaRogate

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjalanan: Sebuah Percobaan

4 Januari 2017   14:19 Diperbarui: 4 Januari 2017   14:25 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, sekira pukul 9 pagi aku mulai aktivitas sehari-hari. Seperti biasa jika sedang libur kuliah aku mulai bersih-bersih rumah, mulai dari mencuci piring, menyapu, dan mengepel. Bagi sebagian orang, mungkin seorang lelaki yang masih berumur 21 sepertiku seharusnya masih sibuk dengan pergaulan, jalan sama pacar, atau hal lain yang biasa dilakukan oleh kaum lelaki yang masih muda, tapi karena memang dalam keluargaku hanya ada dua orang perempuan, yang pertama adalah ibuku dan satu lagi adalah kakak perempuanku yang (sayangnya) saat ini sudah berkeluarga dan tidak lagi tinggal bersama kami sehingga tidak mungkin dia membantuku mengerjakan apa yang sudah kukatakan tadi, sehingga akulah yang mengerjakan semua itu.

Setelah mengerjakan hal-hal yang kusebutkan tadi aku beristirahat dan mengisi perutku dengan makanan yang telah selesai di masak oleh mamahku. Sambil menyantap makanan aku mulai ingat bahwa aku ingin melakukan perjalanan ke puncak gunung sanggabuana yang terletak di wilayah karawang selatan. Setelah selesai menghabiskan semua yang ada di piring aku bergegas menyiapkan barang-barang yang akan kubawa nanti di dalam sebuah tas ransel yang kupunya, setelah selesai mengemas barang-barang aku sudah siap untuk berangkat, aku meminta di antar ke tempat di mana aku akan menumpang sebuah mobil jenis minibus elf oleh adik laki-lakiku. aku mengangkat dengan perlahan tas ransel yang penuh dengan barang tersebut, terasa berat memang, tapi tidak menyurutkan niatku untuk pergi. aku pergi seorang diri, sebenarnya aku berencana berangkat dengan teman sekampusku tetapi dia tidak bisa berangkat dikarenakan sesuatu hal.

Singkat cerita akupun sampai di tempat pemberangkatan elf, adikku bergegas pulang. dan aku membeli beberapa kopi dan pop mie di sebuah warung ditempat tersebut. selesai membeli akupun mengemasnya kedalam tas ranselku yang sebenarnya sudah penuh. cukup merepotkan mengemasnya, karena aku harus mengatur ulang posisi barang bawaan yang ada di dalam ransel agar barang yang baru saja ku beli bisa di masukkan ke dalamnya. setelah bersusahpayah akhirnya aku bisa mengemas semuanya masuk kedalam tas ransel yang kubawa.

Akupun mulai mencari kendaraan yang akan membawa aku dan tas ranselku ini ke pasar loji, karena memang biasanya di situlah tempat pemberhentian terakhir sebuah elf. setelah kudapat sebuah elf dan menaikinya akupun duduk dan menempatkan tas ranselku tepat di depanku. di dalam kendaraan itu aku mulai berfikir tentang pendakian nanti yang pasti akan di mulai pada sore menjelang malam, karena pada saat aku berangkat dari rumah jarum pendek jam sudah berada di angka 2 dan jarum panjang sudah berada di sembilan.

Perjalanan dari rumahku ke pasar loji biasanya memakan waktu hampir dua jam dan belum lagi perjalanan dari pasar menuju titik awal pendakian yang biasanya memakan waktu lima belas menit jika tidak terjadi kemacetan. yang aku pikirkan di perjalanan di dalam elf tersebut bukanlah tentang waktu, tetapi yang aku pikirkan adalah aku tidak begitu hapal jalur-jalur pendakian walaupun aku sudah pernah melakukan perjalanan kesana sebelumnya, ditambah pendakian dilakukan pada malam hari, pastinya akan sulit bagiku untuk melihat jalan walaupun aku sudah menyiapkan sebuah senter di dalam tas ranselku ini. d itambah cerita mistis yang pernah kudengar dari orang-orang tentang ke angkeran dan ke mistisan sanggabuana sempat membuat nyaliku ciut, tapi entah mengapa hatiku berkata aku harus melakukan perjalanan ini untuk menepis jenuh yang ada pada diriku, di tambah momen pergantian tahun yang akan terjadi tentu akan indah jika aku melihatnya dari puncak sanggabuana karena memang aku melakukan perjalanana ini tepat pada tanggal 31 desember 2016.

Sesampainya di pasar loji aku disambut oleh seorang tukang ojek yang langsung menanyaiku tentang kemana tujuanku, akupun menjawan bahwa aku ingin ke puncak sanggabuana dan akupun meminta di antar ke tempat di mana aku akan mulai mendaki, sang tukang ojek pun menyalakan motornya dan akupun tanpa diperintah langsung menaiki motor tersebut, di dalam perjalanan aku sempat mengobrol dengan tukang ojek tersebut, dia menanyakan asalku dan kenapa hanya sendiri melakukan perjalanan ke tempat seperti puncak sanggabuana, dan akupun menjawab segala pertanyaan tersebut. sesampainya di tempat tujuan aku membayar jasa ojek tersebut dan berterimakasih kepadanya dan dia pun berterimakasih kembali kepadaku dan mengatakan "hati-hati ya, ini sudah sore dan menjelang malam, pelan-pelan saja jalannya", dan akupun menjawab singkat dengan kata "iya".

Langkah demi langkah kujalani, beberapa ratus meter kemudian butiran keringat mulai bermunculan, walaupun sebenarnya jalur yang kutapiki masih datar dan tidak begitu menanjak, di saat itu aku mulai ingat bahwa aku tidak membeli satupun persedian air untuk kuminum ataupun botol untuk kuisi dengan air yang berasal dari mata air dan pancuran-pancuran yang ada di jalur pendakian.

Aku tetap berjalan sambil mengawasi sisi kanan dan kiri jalan yang kulalui, barangkali ada botol bekas yang sudah tidak di gunakan lagi untuk kuisi air nantinya, karena memang di jalur pendakian ke puncak sanggabuana ada beberapa titik yang biasanya digunakan oleh para pendaki untuk mengisi air. Walaupun sebenarnya juga ada beberapa warung di jalur pendakian tetapi harganya bisa sangat mahal.

Entah sudah berapa langkah yang kulewati, di ujung pandangan aku melihat sebuah gubuk, semakin mendekat aku mendengar suara seperti air yang jatuh ke dalam sebuah bak penampungan dan ketika sudah sampai aku langsung rebah pada sebuah tempat duduk yang terbuat dari bambu, dan ada satu hal yang membuatku senang yaitu ada satu botol bekas air mineral yang sudah kosong tepat di sebelah kananku lengkap dengan tutup botolnya!

Akupun bangun dari rebahku dan kuambil botol itu dan langsung bergegas menuju tempat pancuran air yang berada pada sebuah tempat yang di tutupi terpal berwarna biru, setelah terisi penuh aku mencoba meminum air pancuran tersebut secara langsung tanpa perantara apapun! Aku juga menyempatkan diri membersihkan wajahku yang sudah tidak karuan ini dan juga buang air kecil.

Perjalanan kulanjutkan, kuperkirakan aku sudah berjalan sekitar 20 menit, sedangkan biasanya perjalanan menuju puncak bisa mencapai 5 sampai 6 jam. Huh, baru segini saja aku sudah merasa seperti bermain futsal 1 jam penuh tanpa di ganti. Aku terus saja berjalan sambil sesekali aku berhenti untuk meredam rasa lelah ini.

Pada sebuah warung pertama yang kutemui aku singgah dan memesan teh manis hangat. Aku disapa oleh beberapa orang yang juga singgah di warung itu dan mereka juga bertanya apakah aku hanya seorang diri? lagi-lagi pertanyaan itu muncul dan kujawab dengan singkat menggunakan kata "iya kang". Saat aku sedang menikmati segelas teh hangat di warung itu, ada beberapa rombongan pendaki yang lewat dan kamipun saling sapa.

Setelah selesai menghabiskan segelas teh hangat dan rasa lelah berkurang kulanjutkan perjalanan, mungkin ada yang bertanya kenapa aku berani melakukan perjalanan sendirian. Alasan utama adalah karena aku ingin mengetahui seberapa kuat aku menjalani sesuatu yang berat dan seberapa besar nyaliku untuk menghadapinya karena Soe Hok Gie pernah berkata "Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah"

Soe Hok Gie merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam membentuk pemikiran-pemikiranku. Dan mungkin bukan hanya aku, tetapi jutaan pemuda dan mahasiwa lain di nusantara ini. Karena memang pemikirannya yang sangat idealis dan visioner. Bahkan Soe Hok Gie pernah melawan gurunya sendiri karena menganggap bahwa gurunya tidak memberikan keadilan pada dirinya. Sebuah keberanian yang sangat jarang ada pada seorang pemuda, karena memang kita di didik untuk menghormati guru, tetapi jangan salah menghormati bukan berarti kita harus takut. Inilah yang menjadi sebuah kesalahan dalam paradigma hidup pemuda dan manusia indonesia pada umumnya. Seharusnya ketika seorang mempunyai kesalahan kita harus mengatakan bahwa itu memang salah, sekalipun itu guru, dosen atau siapapun itu. Ketika ada ketidakadilan maka kita harus melawannya!

Dalam perjalanan ini aku mencoba melawan diriku sendiri, aku bergelut dengan pemikiranku, aku pukul ketakutan dalam diriku. Aku melawan, dan terus melawan. Hingga langkah ini sampai disini, di sebuah hamparan sawah. Hari sudah memasuki senja, aku beristirahat sebentar pada sebuah sebuah batu besar diujung petak sebuah sawah. Aku mencoba menikmati sejenak suasana itu, senja yang indah ini membuat rasa lelahku sedikit berkurang dan semangatku menuju puncak semakin kuat. Aku minum beberapa tenggak dari botol yang telah kuisi air di perjalanan tadi. Lalu aku mulai kembali perjalanan ini..

Bersambung..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun