Memang antusias saya terhadap Pilkada Serentak 2024 untuk memilih Gubernur dan Walikota, tidak sebesar ketika saya memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tapi, sebagai warga negara yang dijamin haknya dalam Pilkada, saya tetap pengin menggunakan hak pilih saya.
Jawa Barat 2024, kurang menarik perhatian saya.Â
Salah satu alasan kenapa saya kurang antusias terhadap pemilihan kali ini, karena empat pasangan calon Gubernur dan Wakil GubernurDi nomor urut 1 ada pasangan Acep Adang Ruhiyat-Gita KDI yang diusung sendirian oleh PKB. Di nomor urut 2 ada pasangan Jeje Wiradinata-Ronald Surapradja yang juga diusung sendirian oleh PDIP.
Sementara di nomor urut 3 ada pasangan Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie yang diusung oleh PKS, Nasdem, dan PPP. Dan di nomor urut 4 ada pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan yang diusung keroyokan oleh Gerindra, Golkar, Partai Buruh, Gelora, PAN, PBB, Demokrat, PSI, dan Perindo.
Seperti biasa saya selalu meluangkan waktu untuk melakukan background checking semua pasangan calon. Nama Dedi Mulyadi dan Ahmad Syaikhu, adalah dua nama yang tidak asing lagi. Karena sebelumnya mereka pernah ikut kontestasi di Pilgub Jawa Barat (Jabar) 2018, meski sebagai calon Wakil Gubernur.
Pun juga dengan nama Gita KDI dan Ronald yang berangkat dari kalangan selebritas, namanya juga tak asing lagi di pandangan saya. Apalagi Gita sang jawara KDI 2. Saya masih ingat kok, suka kirim SMS untuk mendukung Gita pas kontes dangdut dulu. Hehe.
Tapi soal keterkenalan bukan parameter utama untuk saya menentukan pilihan. Saya tetap harus menyelami visi misi mereka dalam membangun Jabar ke depannya lewat berbagai media. Semisal paparan visi misi secara teks yang juga dipasang di TPS (Tempat Pemungutan Suara), ataupun nonton debat kandidat yang diselenggarakan sebelum pemilihan.
Salah satu yang saya fokuskan adalah bagaimana cara pandang pasangan calon (paslon) terhadap kebudayaan dan ekonomi kreatif khususnya perfilman di Jabar. Sayangnya, keempat paslon kurang menjadikan kebudayaan sebagai bagian strategis dari kemajuan Jabar ke depan.
Pemaparan para paslon dalam debat, kebanyakan masih normatif dan tidak menyentuh ke akar rumput para pelaku kreatif secara lansung. Memang ada satu calon yang lebih menonjol ketika berbicara kebudayaan dan ekonomi kreatif. Tapi yang disentuhnya masihlah persoalan budaya tradisi.
Padahal di era modern dengan perkembangan teknologi digital yang kian berkembang, persoalan budaya bukan semata-mata soal tari tradisional saja misalnya, tapi bagaimana aset kebudayaan yang ada bisa dikolaborasikan menjadi identitas bangsa yang kuat dan kokoh.
Belajar dari pemerintah sebelumnya, yang cukup masif membangun gedung-gedung seni atau katakanlah creative center di berbagai kota dan kabupaten di Jabar, tapi dalam setahun setelah pembangunan gedung tersebut kebanyakan mati suri.
Kenapa? Bisa jadi ada keliru cara pandang. Membangun kebudayaan seakan cukup dengan membangun gedung-gedung seni tanpa disertai bagaimana membangun manusia untuk mengisinya.Â
Nah, dari proses background checking yang saya lakukan, tidak ada paslon yang dirasa cukup serius untuk bersinergi dengan masyarakat/komunitas pelaku seni untuk sama-sama membangun kebudayaan Jawa Barat dari berbagai sisi.
Selain soal fokus pada industri kreatif, saya pun mencatat statement para paslon di ruang publik, yang boleh jadi poin penambah atau pengurang untuk saya menentukan pilihan. Semisal pernyataan salah satu calon yang menyamakan beras dengan skincare, itu jadi poin pengurang di mata saya.
Soal rekam jejak di pemerintahan pun jadi pertimbangan saya. Saya selalu berharap setidaknya calon gubernur itu pernah 'sukses' menjadi walikota/bupati di kota/kabupaten provinsi tempat mereka mencalonkan diri.
Alhamdulillah, dari parameter ini, pertimbangan cukup ketat. Ada Ahmad Syaiku yang pernah menjadi Wakil Walikota Bekasi periode 2013-2018, Dedi Mulyadi bupati Purwakarta 2 periode (2008-2018), dan Jeje Wiradinata bupati Pangandaran periode 2016-2021.
Sayangnya, saya tidak tinggal di tiga kabupaten tersebut. Sehingga sulit menilai efektivitas kebijakan yang mereka buat terhadap masyarakatnya. Dalam lingkup pekerjaan saya sebagai Assistant Area Manager Jawa Barat, saya lebih banyak mengunjungi Pangandaran dibanding Bekasi dan Purwakarta.
Sehingga untuk menilainya, saya hanya mengandalkan googling saja dan juga melakukan perbandingan data.
Hal-hal lain yang saya perhatikan juga dari track record para paslon adalah soal apakah mereka pernah korupsi atau tidak, pernah melakukan tindakan kriminal yang dijatuhi vonis atau tidak, juga pernah terlibat dalam hal kekerasan/pelecehan seksual atau tidak.
Buat saya hal tersebut sangat penting dan bahkan bisa jadi poin pengurang yang cukup besar. Semisal jika ada paslon yang menghina atau melecehkan janda (perempuan), sebagus apapun kinerja mereka sebelumnya, saya tidak akan pernah memilihnya.
Butuh waktu seminggu saya melakukan background checking, hingga akhirnya mantap menentukan satu pilihan. Meski kalau boleh jujur, hasil dari background checking keempatnya kurang membuat saya antusias untuk nyoblos. Tapi ya saya tetap tidak ingin golput.Â
Maka, Selasa sore, 26 November 2024, saya pulang ke kota Sukabumi tempat saya nyoblos. Menempuh waktu 6 jam dari Bandung karena terjebak macet di beberapa titik. Mungkin itu juga yang menyebabkan para paslon jarang ada yang kampanye ke Sukabumi. Aksesnya susah dan terbatas, jalannya pun rusak. Haha.
Hari ini, 27 November 2024, saya mendapat undangan untuk mencoblos di TPS 18 dekat tempat tinggal saya. Direkomendasikan untu datang jam 10, tapi saya lebih memilih datang jam 9 pagi saja. Nggak perlu antre lama-lama, hanya 10 menit sejak pendaftaran saya sudah dipanggil untuk mencoblos di bilik suara.
Bismillah, dengan disertai harapan bahwa pemimpin yang terpilih bisa amanah dan membawa Jabar lebih sejahtera, saya pilih paslon nomor ......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H