Nuansa film saat menceritakan Jeng Yah terkesan sangat kelam, apalagi dengan tambahan latar peristiwa komunis tahun 1965. Kemudian hal tersebut dikontraskan dengan karakter Lebas, yang dalam upaya pencariannya dibantu oleh Arum Cengkeh (Putri Marino), dibuat lebih riang dan jenaka.
Itulah salah satu kekuatan film. Bisa memberikan variasi mood lewat karakter, akting, gaya penceritaan, yang ditopang dengan berbagai elemen teknis seperti editing, artistik, kamera, hingga musik.
Tapi, memang materi aslinya "Gadis Kretek" juga punya kekuatan tersendiri. Meski kesan yang muncul di benak saya tidak sekelam filmnya, novelnya memiliki dinamika antar karakter dan transformasi karakter yang sangat jelas.
Apalagi dengan dengan latar waktu dan tempat yang solid, membuktikan tips soal riset yang disampaikan Ratih memang terarah dan efektif. Penggambaran latarnya sangat detail sehingga imajinasi saya terangsang untuk menghidupkan latar dalam pikiran ketika membacanya.Â
Ya, ketika kita membaca buku, kita berimajinasi dengan pikiran kita sendiri atas hasil karya seorang penulis. Sementara ketika kita menonton film, kita disuguhkan hasil interpretasi sutradara atas imajinasinya terhadap karya tulis tersebut.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI