Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kompasianival 2024, Gadis Kretek di Antara Buku dan Film

13 November 2024   10:19 Diperbarui: 13 November 2024   14:59 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Swafoto bersama Ratih Kumala di Kompasianival 2024/dokumentasi pribadi Raja Lubis

Ratih Kumala mencontohkan apabila penulis mengambil tahun 1998 sebagai latar waktu dalam karyanya, maka ia harus bisa memasukkan kondisi dan situasi pada waktu itu dengan cakap. 

Risetnya tentu tidak hanya berdasarkan googling saja, tapi bisa dengan mengumpulkan dan membaca arsip-arsip zaman tersebut, membaca pustaka, atau dengan melakukan interview kepada legenda hidup yang merasakan peristiwa di tahun tersebut.

Setelah soal ide dasar, pemilihan genre dan tema, serta kekuatan riset, Ratih Kumala juga memaparkan pentingnya membuat kerangka karangan ketika menulis fiksi. Hal tersebut bisa membantu penulis agar tetap fokus, dan mampu menghalau ide-ide liar yang mungkin muncul saat proses menulis.

Ratih Kumala memaparkan contoh 'kerangka karangan' sebagai bagian dari menulis fiksi/dokumentasi pribadi Raja Lubis
Ratih Kumala memaparkan contoh 'kerangka karangan' sebagai bagian dari menulis fiksi/dokumentasi pribadi Raja Lubis

Gadis Kretek, di antara buku dan film

"Saya penulis skenarionya, jadi bebas mau lebih suka film atau bukunya", jawab Ratih Kumala atas pertanyaan yang saya ajukan.

Sebetulnya bukan itu jawaban yang saya harapkan dari Ratih Kumala. Pertanyaan saya soal bagaimana seorang penulis melihat hasil karyanya dalam audio visual seringkali saya tanyakan pada penulis lainnya.

Semisal Habiburahman El-Shirazy (Kang Abik) yang kurang menyukai Ayat-Ayat Cinta versi Hanung Bramantyo, atau Eddy D. Iskandar yang memberikan pandangannya soal perbedaan Gita Cinta dari SMA versi 1979 dengan versi 2023 atau bahkan dengan Galih & Ratna (2017).

Saya hanya ingin mengelaborasi pandangan para penulis terhadap karya film hasil ekranisasi tulisan mereka. Karena saya masih berpendapat bahwa buku dan film tidak bisa dibandingkan. Keduanya adalah media yang berbeda dan dinikmati dengan cara yang berbeda pula.

Jujur saja, saya membaca novel "Gadis Kretek" setelah menamatkan 5 episode serialnya. Saya cukup penasaran, apakah gaya penceritaan dan materi aslinya semenarik yang dihadirkan dalam karya audio visual.

Bicara soal serial, kekuatan Gadis Kretek memang ada pada penyutradaraan Ifa Isfansyah & Kamila Andini yang mampu menjadikan karakter Lebas (diperankan Arya Saloka) sebagai pemantik kisah.

Lebas adalah karakter di masa kini, anak dari Soeradja, pemilik pabrik kretek Djagad Raya yang sedang sekarat. Dalam kesakitannya, Soeradja meminta Lebas mencari seorang perempuan bernama Jeng Yah. Nah, dalam upaya pencarian Jeng Yah inilah, penonton dihadapkan pada kisah masa lalu antara Soeradja dan Jeng Yah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun