Atas hal tersebut, saya patut puji kinerja editor Akhmad Fesdi Anggoro (Malam Pencabut Nyawa, Abracadabra) yang cukup baik menyunting perkenalan keduanya. Hingga saya mudah memahami bagaimana kisah Wening dan Tirta akan terkoneksi nantinya.
Tapi yang menjadi masalah adalah ketidaksiapan Tebusan Dosa dalam hal menggali lebih dalam karakter kedua protagonis ini. Saya bahas dari sisi Tirta terlebih dahulu.
Semula Tirta hanya butuh cerita Wening agar konten podcast-nya viral. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa kemanusiaan untuk membantu Wening menemukan Nirmala lebih dominan ketimbang keinginannya untuk viral. Dikuatkan dengan adegan layar komputer yang menunjukkan proses menghapus footage soal Wening yang direkam Tirta.
Ini suatu proses atau character development yang baik sebetulnya. Tapi setelah sampai pada akhir perjalanan karakternya, saya merasa karakter Tirta tetap serasa jadi kosong. Pasalnya ia tidak juga menjadi 'penyelamat' konflik utama film ini karena film juga cukup kuat menarasikan cerita dari sisi Wening.
Dua perspektif yang berjalan sama kuatnya, kurang bisa diseimbangkan. Akibatnya, saya kurang bisa engage dengan kisah yang dihadirkan karena bingung harus menyandarkan perspektif cerita kepada siapa.
Gaya horor Anggi Noen yang khas, meski bukan hal yang baru
Urusan teknis, Tebusan Dosa memang tampil well-crafted. Latar di pedesaan yang dibingkai dengan shot dan angle kamera ala Teoh Gay Hian (sinematografer The Science of Fiction), mampu membawa saya seperti berada di waktu dan tempat yang dialami karakter.Â
Ya, walau melihat track record Anggi Noen dan orang-orang yang belakang layar yang bekerja dengannya, hal bagus macam ini bukan menjadi sesuatu yang mengagetkan lagi.
Meninjau Tebusan Dosa yang bergenre misteri-horor, maka penilaian tidak bisa lepas dari bagaimana seorang sutradara memberikan pendekatan yang bisa bikin penonton penasaran sekaligus juga merasa takut.
Film punya penampakan-penampakan setan (terutama berwujud Uti Yah) yang dimunculkan tepat guna dan dalam timing yang tidak terduga. Sayangnya, beberapa kali saya terkaget lebih karena scoring musik yang bombastis sebagaimana yang biasa saya temukan pada film horor kebanyakan.
Padahal, tanpa scoring yang bombastis, Tebusan Dosa masih punya potensi untuk tampil seram karena desain hantunya yang memang sudah menyeramkan. Apalagi kemunculan hantu Uti Yah tersebut bukan semata-mata jumpscare tanpa makna tapi punya filosopi tersendiri yang berkelindan dengan cerita.Â