Lima aktor yang masuk di kategori tersebut adalah Aghniny Haque (Tuhan, Izinkan Aku Berdosa), Anya Geraldine (Gampang Cuan), Laura Basuki (Sleep Call), Marsha Timothy (Monster), dan Nirina Zubir (Jatuh Cinta Seperti di Film-Film).
Sejujurnya saya agak menyayangkan Michelle Ziudith yang berperan apik sebagai Nisa dalam Ipar Adalah Maut luput dari perhatian juri. Jikalau boleh dilakukan penggantian, saya memilih mengeluarkan Anya dan menggantinya dengan Michelle Ziudith.
Saya pernah belajar soal teori penjelmaan karakter berdasarkan Soliloquy Hamlet karya Shakespeare. Ungkapan yang terkenalnya adalah "To Be or Not to Be".Â
Sederhananya, ketika menjalani peran seorang aktor akan dihadapkan pada dua pilihan yakni 'menjadi karakter yang dia mainkan' atau 'tidak menjadi karakter alias pura-pura'.
Itulah kenapa akting itu bukan perkara soal menggerakkan tubuh saja tapi soal menjelma menjadi sesuatu.
Karakter Nisa dalam Ipar Adalah Maut, jelas menjadi satu jelmaan yang utuh dari seorang Michelle Ziudith. Ia menjelma dengan konsisten dari segala hal yang dibutuhkan oleh karakter Nisa. Mulai dari cara berbicara, cara berjalan, cara marah, cara menangani emosi, dan apapun yang dilekatkan pada Nisa.
Sepanjang film saya melihat Nisa bukan lagi Michelle Ziudith. Hal yang sama saya rasakan pada Aghniny Haque di Tuhan, Izinkan Aku Berdosa dan Amanda Rawles di Laura.
Bandingkan dengan Anya Geraldine di Gampang Cuan!
Tentu saya tidak akan bilang bahwa performa Anya buruk, karena pada kenyataannya ia tetap bisa menyuguhkan akting yang juga bagus. Chemistry-nya bersama Vino G. Bastian yang jam terbangnya jauh lebih banyak, berhasil Anya imbangi dengan baik.
Tapi satu hal krusial yang ia tidak bisa eksekusi dengan sempurna adalah soal pelafalan dan logat dia sebagai perempuan Sunda. Di banyak bagian, bukan hanya satu atau dua bagian, performanya sangat canggung dan terasa tidak natural.