film dunia.
Pesona Jackie Chan di layar sinema tidak pernah memudar. Aktor laga legendaris asal Hong Kong ini seakan punya tempat tersendiri di hati penggemarnya. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga penikmatDi usianya yang sudah menyentuh angka 70 tahun, sineas serba bisa ini tetap bisa menyuguhkan penampilan terbaik untuk para penontonnya. Terbaru, ia menyapa penonton lewat peran gandanya dalam film petualangan terbaru berjudul "A Legend".
Ketika Jackie Chan 'dimudakan' oleh teknologi AI
A Legend menyoroti seorang arkeolog, Profesor Fang (Jackie Chan), bersama timnya yang menemukan liontin giok dalam sebuah ekspedisi. Setelah penemuan itu, Fang seringkali bermimpi yang kisahnya ia duga ada hubungannya dengan liontin tersebut.
Penasaran dengan cerita yang hadir ke mimpinya, Fang berusaha mencari tahu rahasia di balik liontin tersebut yang bermuara pada sejarah China di masa lalu.
Bicara soal sejarah masa lalu yang hadir, A Legend mengambil latar kala China masih menjadi kerajaan di era Dinasti Han (2016 SM-9M).
Saat itu, Dinasti Han tengah berkonflik dengan suku Hun gegara persoalan cinta segitiga. Salah satu putra sang Raja suku Hun pengin mempersunting gadis Han, Putri Mengyun (Gulnazar Bextiyar).
Sayangnya, cinta putra Hun tidak berbalas. Mengyun memilih kabur dan membuat putra Hun marah besar. Dalam aksi pengejaran, Mengyun ditolong oleh dua jenderal dari bangsa Han, salah satunya adalah jenderal muda Zhao Zhan yang diperankan juga oleh Jackie Chan.
Lha kok bisa Chan berperan ganda dan memerankan karakter yang jarak usianya selisih jauh dari usia aslinya?
Karakter Jenderal Zhao Zhan digambarkan sebagai jenderal muda yang usianya early 30-an. Wajah Jackie Chan disulap dengan teknologi AI (kecerdasan buatan) agar mencapai tingkat kesempurnaan sesuai dengan karakter yang diinginkan film.
Hasilnya, Jackie Chan memang tampak lebih muda sebagai Zhao Zhan. Sekaligus juga tampak tidak natural. Di karakternya yang dimudakan ini, Zhao Zhan nggak banyak diberi dialog. Mungkin kesulitan mengubah wajah jika harus disertai dengan dialog.
Akibatnya, karakter Zhao Zhan terasa tidak lepas. Emosinya tidak bisa ter-deliver dengan baik. Kecuali saat adegan berperang atau adegan yang lebih membutuhkan kekuatan fisik.Â
Ya, bagaimanapun juga kemudahan teknologi tetap memiliki kekurangan. Secanggih-canggihnya teknologi tetap belum bisa menciptakan emosi dan ekspresi di wajah sebagaimana manusia melakukannya secara alami.
Saya jadi teringat dengan film Habibie & Ainun 3 yang melakukan treatment serupa pada Reza Rahadian. Saking kesulitannya mencari aktor muda dengan kesesuaian peran setara Reza Rahadian di dua film Habibie sebelumnya, produser Manoj Punjabi memilih 'memudakan' wajah Reza dengan teknologi.
Padahal untuk peran Ainun muda yang semula dipegang oleh Bunga Citra Lestari, masih bisa dibawakan dengan baik oleh Maudy Ayunda.
Tentunya keputusan seperti ini sudah dipertimbangkan dengan matang oleh produser, terutama untuk film-film yang memang menjadikan tokoh sebagai jualan utamanya.Â
Sama halnya seperti A Legend, saya tidak menemukan esensi yang kuat mengapa Jackie Chan harus bereksperimen dengan wajahnya selain karena jualan utama A Legend memang ada pada sang aktor.
Tapi tetap menyenangkan dan seru untuk ditonton
Salah satu keunggulan film-film Jackie Chan terletak pada koreografi laga dan aksi lucunya. A Legend tetap menawarkan itu, dan membuat perbedaan di antaranya kedua.
Di masa lalu, koreografi A Legend dihadirkan dalam mode laga yang serius. Mulai dari suasana peperangannya, aksi berkuda, hingga aksi pembunuhan, menjadi sajian yang khas dan menyenangkan. Meskipun adegan yang mengandung pertumpahan darah disamarkan dengan efek visual.
Sementara di masa kini, terutama di 15 menit terakhir film, koreografi dihadirkan dengan santai dan kocak sebagaimana aksi Jackie Chan biasanya. Dan bagian ini yang menjadi titik klimaks yang seru setelah sebelumnya terasa membosankan ketika film banyak menceritakan kerajaan di masa lalu.
Hal tersebut dikarenakan pembagian porsi cerita antara masa kini dan masa lalu tidak seimbang.
Sutradara Stanley Tong lebih banyak menggambarkan soal sejarah China di masa lalu yang mampir di mimpi Fang. Hingga kadang saya merasa, A Legend seperti film kolosal yang fokus ceritanya dipegang karakter di masa lalu, ketimbang oleh Profesor Fang di masa kini.
Atau boleh jadi komunikasi sang sutradara dengan editor yang 'tidak nyambung'. Boleh jadi sang editor memang kurang memahami visi sang sutradara dalam hal penyajian kisahnya.Â
Bagaimanapun juga Profesor Fang adalah protagonis utama dalam A Legend, bukan Jenderal Zhao Zhan. Karakter Zhao Zhan hanya akan muncul jika dan hanya jika ada cerita dari Profesor Fang.
Tapi sayangnya, beberapa kali cerita soal Zhao Zhan bergerak sendiri dan berjalan terlalu lama. Dan kadang melupakan bahwa latar utama film ini tetaplah di masa kini.
Saking lebih banyak fokus di masa lalu, A Legend juga banyak melupakan backstory dan build up karakter di masa kini. Padahal mereka sangat membutuhkannya.
Semisal kita tiba-tiba saja diperlihatkan dengan salah satu karakter yang menjadi pengkhianat, tanpa pernah karakter tersebut mendapat sorotan sebelumnya. Semuanya terjadi begitu cepat dan begitu saja, membuat saya sulit menginvestasikan emosi pada masing-masing karakter utama di film ini.
A Legend juga nampaknya tidak terlalu mempedulikan pembeda artistik antara masa kini dan masa lalu. Visualnya tampak cerah dengan warna yang senada. Memang warna-warna yang cerah menjadi khas film-film China. Tapi ketika menggambarkan latar waktu dan tempat yang berbeda, seenggaknya harus dibedakan entah itu dari warna, properti, kostum, maupun bangunan suasananya.
Terlepas dari soal porsi yang tidak seimbang antara cerita masa lalu dan masa kini, A Legend tetap menarik untuk ditonton terutama bagi penggemar berat Jackie Chan. Aksi laga dan celetukannya bisa bikin nostalgia dan senyum-senyum sendiri.
Satu catatan penting dari saya adalah kisah cinta para jenderal di masa lalu, ternyata bisa semenyentuh itu. Dan ini bagian terbaik yang dipunya oleh A Legend.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H