Atau boleh jadi komunikasi sang sutradara dengan editor yang 'tidak nyambung'. Boleh jadi sang editor memang kurang memahami visi sang sutradara dalam hal penyajian kisahnya.Â
Bagaimanapun juga Profesor Fang adalah protagonis utama dalam A Legend, bukan Jenderal Zhao Zhan. Karakter Zhao Zhan hanya akan muncul jika dan hanya jika ada cerita dari Profesor Fang.
Tapi sayangnya, beberapa kali cerita soal Zhao Zhan bergerak sendiri dan berjalan terlalu lama. Dan kadang melupakan bahwa latar utama film ini tetaplah di masa kini.
Saking lebih banyak fokus di masa lalu, A Legend juga banyak melupakan backstory dan build up karakter di masa kini. Padahal mereka sangat membutuhkannya.
Semisal kita tiba-tiba saja diperlihatkan dengan salah satu karakter yang menjadi pengkhianat, tanpa pernah karakter tersebut mendapat sorotan sebelumnya. Semuanya terjadi begitu cepat dan begitu saja, membuat saya sulit menginvestasikan emosi pada masing-masing karakter utama di film ini.
A Legend juga nampaknya tidak terlalu mempedulikan pembeda artistik antara masa kini dan masa lalu. Visualnya tampak cerah dengan warna yang senada. Memang warna-warna yang cerah menjadi khas film-film China. Tapi ketika menggambarkan latar waktu dan tempat yang berbeda, seenggaknya harus dibedakan entah itu dari warna, properti, kostum, maupun bangunan suasananya.
Terlepas dari soal porsi yang tidak seimbang antara cerita masa lalu dan masa kini, A Legend tetap menarik untuk ditonton terutama bagi penggemar berat Jackie Chan. Aksi laga dan celetukannya bisa bikin nostalgia dan senyum-senyum sendiri.
Satu catatan penting dari saya adalah kisah cinta para jenderal di masa lalu, ternyata bisa semenyentuh itu. Dan ini bagian terbaik yang dipunya oleh A Legend.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H