Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Bersenang-senang dengan Laga Jackie Chan dalam "A Legend"

15 Agustus 2024   14:21 Diperbarui: 15 Agustus 2024   15:00 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, bagaimanapun juga kemudahan teknologi tetap memiliki kekurangan. Secanggih-canggihnya teknologi tetap belum bisa menciptakan emosi dan ekspresi di wajah sebagaimana manusia melakukannya secara alami.

Putra Hun, karakter antagonis yang aku suka di A Legend. (Bona Film Group/IMDB)
Putra Hun, karakter antagonis yang aku suka di A Legend. (Bona Film Group/IMDB)

Saya jadi teringat dengan film Habibie & Ainun 3 yang melakukan treatment serupa pada Reza Rahadian. Saking kesulitannya mencari aktor muda dengan kesesuaian peran setara Reza Rahadian di dua film Habibie sebelumnya, produser Manoj Punjabi memilih 'memudakan' wajah Reza dengan teknologi.

Padahal untuk peran Ainun muda yang semula dipegang oleh Bunga Citra Lestari, masih bisa dibawakan dengan baik oleh Maudy Ayunda.

Tentunya keputusan seperti ini sudah dipertimbangkan dengan matang oleh produser, terutama untuk film-film yang memang menjadikan tokoh sebagai jualan utamanya. 

Sama halnya seperti A Legend, saya tidak menemukan esensi yang kuat mengapa Jackie Chan harus bereksperimen dengan wajahnya selain karena jualan utama A Legend memang ada pada sang aktor.

Tapi tetap menyenangkan dan seru untuk ditonton

Salah satu keunggulan film-film Jackie Chan terletak pada koreografi laga dan aksi lucunya. A Legend tetap menawarkan itu, dan membuat perbedaan di antaranya kedua.

Di masa lalu, koreografi A Legend dihadirkan dalam mode laga yang serius. Mulai dari suasana peperangannya, aksi berkuda, hingga aksi pembunuhan, menjadi sajian yang khas dan menyenangkan. Meskipun adegan yang mengandung pertumpahan darah disamarkan dengan efek visual.

Sementara di masa kini, terutama di 15 menit terakhir film, koreografi dihadirkan dengan santai dan kocak sebagaimana aksi Jackie Chan biasanya. Dan bagian ini yang menjadi titik klimaks yang seru setelah sebelumnya terasa membosankan ketika film banyak menceritakan kerajaan di masa lalu.

Hal tersebut dikarenakan pembagian porsi cerita antara masa kini dan masa lalu tidak seimbang.

Sutradara Stanley Tong lebih banyak menggambarkan soal sejarah China di masa lalu yang mampir di mimpi Fang. Hingga kadang saya merasa, A Legend seperti film kolosal yang fokus ceritanya dipegang karakter di masa lalu, ketimbang oleh Profesor Fang di masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun