Walau begitu, intensitas ketegangan film tidak menurun. Aksi kucing-kucingan antara Cooper dan FBI tetap menjadi suguhan yang seru dan menegangkan. Terlebih ketika film secara perlahan-lahan menguak motivasi aksi pembunuhan Cooper, terutama saat dialog dengan istrinya.
Kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa Trap tidak sedang menghadapkan penonton pada pilihan untuk menilai apakah perilaku Cooper itu benar atau salah. Ia tidak menjebak kita untuk membela atau menghakimi, tapi mengamati lebih jauh bahwa sejatinya manusia memang memiliki sisi malaikat dan sisi monsternya masing-masing.
Toh, Cooper pun tidak sembarangan dalam memilih korban. Ia hanya memilih korban yang merasa dirinya 'utuh', untuk menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang benar-benar utuh di dunia ini. Sama seperti dirinya yang juga tidak utuh.
Sekali lagi sebuah pesan yang subtil, bahwa yang dibutuhkan manusia terkadang bukanlah puja-puji, tapi cukup sekadar penerimaan diri.
Pada akhirnya Trap bukanlah soal seorang serial killer dengan aksi sadisnya, tapi tentang seorang ayah yang ingin berhasil membangun keluarganya sekalipun ia terjebak dalam dualisme peran yang ia perangkap sendiri. A very fun movie!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H