Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Fenomena Komeng, Bukti Nyata Pemilih Malas Melakukan Background Checking?

18 Februari 2024   10:37 Diperbarui: 19 Februari 2024   10:46 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudah 1,5 juta suara yang diraih Komeng (sumber: Kompa.com)

Nama komedian senior Komeng mendadak banyak dibicarakan di hari Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bahkan namanya trending di media sosial X dan bertahan hingga berhari-hari. Pembicaraan utamanya dipicu oleh para pemilih di Jawa Barat yang kaget ketika membuka surat suara DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI.

Mereka nggak nyangka ada Komeng di antara puluhan calon DPD RI yang tidak mereka kenal. Mereka pun akhirnya tanpa ragu mencoblos Komeng sebagai pilihan mereka. Apalagi foto Komeng yang unik dan berbeda di antara calon lainnya yang berfoto formal, menjadi daya tarik tersendiri bagi pemilih.

Sebetulnya kalau kita lebih banyak ngobrol di grassroot, foto Komeng yang 'memiringkan kepala' sudah jadi bahan pembicaraan sebelum pemilihan berlangsung.

Hal ini terjadi ketika saya pulang kampung demi Pemilu 2024, dan ngobrol dengan para tetangga, nyaris mereka semua kebingungan untuk memilih DPD RI. Dan karena mereka tidak kenal calon-calonnya, akhirnya mereka hanya fokus pada foto Komeng, sebagian lagi ngobrolin Jihan Fahira.

Saat sosialisasi, mereka diberitahu kalau jalur DPD itu dari daerah alias tidak melalui kepartaian. Ibu saya sendiri bertanya kepada saya, "Emang DPD nggak ada partainya ya?".

Pertanyaan ini muncul sebetulnya karena jika pemilih tidak mengetahui latar belakang atau mengenal sang calon, ya mereka akan memilih partainya saja.      

Nah, balik ke soal foto Komeng yang jadi pembicaraan di tetangga, ibu saya justru punya pembacaan yang berbeda. Ia malah malas memilih Komeng justru karena fotonya yang nyeleneh itu. Ibu saya berpikir bahwa dia tidak serius menjadi wakil rakyat. Ya tentu saya tidak membantahnya, karena pemikiran seperti itu ya hak ibu saya sendiri.

Pentingnya melakukan background checking

Saya suka heran dengan pemilih yang berlama-lama di bilik suara karena bingung mau pilih siapa. Padahal kita punya waktu yang cukup untuk melakukan background checking jauh-jauh hari sebelum pemilihan digelar.

Sederhananya background checking adalah serangkaian proses mencermati para calon dari rekam jejaknya, visi-misinya, program kerjanya, dan hal lainnya yang bisa jadi bahan pertimbangan sebelum akhirnya kita memutuskan satu pilihan.

Memang agak berat bagi pemilih di Jawa Barat untuk melakukan background checking satu per satu pada calon DPD RI yang jumlahnya lebih dari 50 calon. Padahal di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jumlah pemilihnya tergolong banyak juga, calon DPD-nya nggak sebanyak di Jawa Barat.

Tapi sebagai bentuk antusiasme saya mengikuti Pemilu 2024, saya tetap melakukannya. 

Yang pertama saya lakukan adalah memasukkan nama mereka di kolom pencarian google. Hasilnya, nama mereka semuanya ada di google, tapi tidak semuanya berisi rekam jejak. Kebanyakan isinya hanya berita atau informasi bahwa mereka adalah calon DPD RI 2024.

Kedua, saya mengeliminasi calon yang pernah terafiliasi dengan partai politik. Jangan salah, walau DPD itu jalur independen, tapi banyak calon DPD yang sebelumnya jadi Caleg DPR tapi gagal. Di Indonesia ini 'kan unik. Kalah jadi gubernur/walikota saja, masih bisa nyalon untuk legislatif. Bahkan kebanyakan berakhir dengan kemenangan, karena masih mendapat berkah elektoral dari kegagalannya di pemilihan gubernur/walikota.

Ketiga, saya sudah pasti tidak akan memilih Komeng atau Jihan Fahira. Bukan, bukan karena rekam jejak mereka tak bagus. Tapi karena saya sudah prediksi mereka berdua akan mendapat banyak suara karena keartisannya. Dan juga track record mereka di dunia keartisan bisa dibilang cukup baik, nyaris tanpa kontroversi yang negatif dan sensasional.

Singkat cerita, akhirnya saya punya empat calon DPD RI Jawa Barat yang menurut saya betul-betul mewakili kedaerahan, independen, dan juga punya program yang sejalan dengan rekam jejaknya.

Empat calon inilah yang saya diskusikan kembali dengan ibu saya. Saya tidak memaksa ibu saya untuk memilih siapa, dan saya pun tidak tahu akhirnya ibu saya memilih yang mana di bilik suara.

Sementara saya menjatuhkan pilihan pada calon DPD RI penyandang disabilitas. Di surat suara pun ada tanda 'seperti kursi roda' yang menunjukkan calon tersebut adalah penyandang disabilitas.

Saya memilihnya bukan hanya karena semata-mata ingin memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas, tapi rekam jejaknya juga yang membuat saya percaya akan program-programnya.

Ia senantiasa menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas dan lansia, yang selama ini menurutnya belum terpenuhi secara menyeluruh. Sederhana saja saya menilainya. Jika pekerja film menyuarakan hak-hak pekerja terutama soal jam kerja, saya gampang kok buat percaya. Begitu juga dengan calon yang saya pilih ini.

Ketika penyandang disabilitas menyuarakan hak-hak disabilitas, ya tentu saya percaya. Dan pilihan saya ini juga sekaligus komitmen saya mendukung inklusivitas.

Sebetulnya, sebelum akhirnya saya memutuskan memilihnya, ada satu kandidat lain yang juga layak saya perhitungkan. Ia fokus kepada masalah kesehatan masyarakat. Menurutnya, masyarakat bisa mendapat hak lebih tinggi atas kesetaraan pelayanan kesehatan.

Dua calon DPD RI Jawa Barat yang kurang 'uhuy'/doc. promediateknologi
Dua calon DPD RI Jawa Barat yang kurang 'uhuy'/doc. promediateknologi

Berdasarkan perhitungan real count KPU per tanggal 17 Februari 2024, pukul 19:31 WIB, dengan suara masuk 52,31%, dua calon kuat pilihan saya ini kemungkinan besar belum beruntung menjadi senator. Mereka hanya peroleh suara masing-masing 1,57% dan 1,14%. Jauh tertinggal dari Komeng yang memimpin sementara dengan 12,4% dan Jihan Fahira 4,77%.

Tentunya, pilihan siapapun adalah hak semua orang dan itu harus dihormati. Tapi kita tidak bisa menyangkal, seenggaknya dari yang beredar di media sosial, pemilih Komeng adalah pemilih yang baru memutuskan di bilik suara.

Sebaiknya kita sudah membawa pilihan sebelum ke bilik suara. Selain tentunya untuk menghemat waktu dan mempercepat proses antrean pemilih berikutnya. Dan untuk bisa memantapkan pilihan sebelum ke bilik suara, background checking adalah hal yang mutlak.

Jika sudah melakukan background checking dan tetap memilih Komeng, tentunya itu adalah putusan yang baik juga. Setidaknya, kita sudah adil sejak dalam pikiran dan menempatkan semua calon di posisi yang sama pada awalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun