Seiring dengan selesainya rangkaian debat yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka usai sudah untuk saya mengumpulkan materi. Kini dengan waktu yang tersisa beberapa hari saja menuju pencoblosan, saatnya mengolah dan mencermati materi-materi tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk semakin memantapkan pilihan.
Ya itu saya. Tapi rasanya di media sosial tetap saja terjadi keriuhan. Walau debat capres kelima berlangsung lebih adem dan substantif, ada saja yang dipermasalahkan sebagai bahan keributan.Â
Ditambah lagi dengan mulai banyaknya selebritis/influencer yang secara terang-terangan memberikan statement, yang malah membuat beberapa pihak merasa kepanasan.
Misalnya ketika aktor Fedi Nuril memberikan pernyataan di akun X pribadinya soal tidak akan memilih pasangan calon (paslon) nomor 02, sampai detik ini cuitannya masih mendapat reaksi dari warganet baik positif maupun negatif.Â
Pun dengan komedian Kiky Saputri yang selama ini dianggap netral, tapi kemudian namanya muncul di daftar influencer yang diduga mendukung paslon 02, juga mendapat reaksi beragam dari warganet.
Sepenting itukah kita bereaksi atas pilihan dan pemikiran orang lain yang hanya akan menyebabkan permusuhan semata? Cukuplah Pemilu 2014 dan 2019 menjadi cermin bagi kita, yakni ketika warganet terkotak-kotakkan seakan hanya terdiri dari 'cebong' dan 'kampret'. Kita tak perlu lagi terpecah belah hanya karena berbeda pandangan politik.
Terkait hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu kita resapi dan sadari bersama dalam kehidupan berpolitik, sehingga tidak perlu terjerumus pada jurang permusuhan. Cekidot!
1. Menghormati pilihan orang lain
Setiap warga negara punya hak suara untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan yang dikehendakinya. Dan ini dijamin oleh Undang-Undang.
Saat ini kita diberikan tiga pilihan paslon yakni pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Kita bebas saja memilih siapa di antara mereka yang dirasa paling pas menjadi pemimpin Indonesia dalam 5 tahun ke depan.
Tentunya masing-masing dari kita punya alasan. Entah itu karena visi-misinya, kelihaiannya berkomunikasi dengan rakyat, program-program gratisnya, joged gemoynya, rambut putihnya, ataupun alasan lain.
To be fair, negara tidak pernah mempersoalkan alasan dari setiap pilihan masyarakat, karena yang dijamin adalah haknya untuk memberikan suara. Dengan kata lain, biarkan kita yakin dengan pilihan kita sendiri, dan nggak perlu ngeributin pilihan orang lain.
2. Menggunakan masa tenang untuk memantapkan pilihan, bukan untuk fitnah/sebar hoax
Sebelum hari pencoblosan, KPU sudah menetapkan masa tenang kampanye selama tiga hari yakni pada tanggal 11-13 Februari 2024. Di masa tenang ini, para peserta politik tidak boleh melakukan kampanye dalam bentuk apapun.Â
Dan tentunya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) akan melakukan pengawasan terhadap kegiatan kampanye yang dilakukan di masa tenang.
Walau secara khusus subjek yang dimaksud adalah para peserta politik, kita sebagai masyarakat sebaiknya juga menghormati masa tenang ini dengan tidak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemilu.Â
Terutama di media sosial, kita tidak perlu lagi membuat pernyataan-pernyataan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan. Apalagi sampai menyebarkan fitnah dan atau berita bohong.
Sebaiknya masa tenang ini kita gunakan untuk memantapkan pilihan. Nggak ada salahnya untuk memeriksa kembali apakah pilihan kita ini sudah yang paling sesuai nurani atau tidak. Karena ya, soal hati itu mudah sekali berpindah dan berganti. Â
3. Selalu sisakan ruang skeptisisme untuk para capres
Prinsip skeptisisme adalah salah satu prinsip yang selalu saya tanamkan diri ketika memilih presiden dan wakil presiden. Secara umum, skeptisisme bisa diartikan sebagai sikap mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu bersifat tidak pasti.
Tentunya, dalam konteks Pemilu 2024, pengertian mempertanyakan atau mencurigai bukanlah curiga tak berdasar pada personal para paslon yang malah membuat kita memfitnah mereka. Sepenuhnya kita harus menyadari bahwa mereka juga adalah manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jadi sikap skeptisisme ini harus didasarkan pada visi-misi atau program kerja yang ditawarkan oleh para paslon.Â
Contoh sikap skeptisisme terhadap program adalah soal tidak begitu saja menerima program-program tersebut dengan mudah alias 'iya-iya saja'.Â
Saya tidak begitu. Misalnya ketika paslon 03 memberikan program pendidikan gratis '1 Keluarga Miskin 1 Sarjana', saya tetap mempertanyakan beberapa hal.
Beberapa yang saya pertanyakan adalah soal apa yang menjadi dasar sebuah keluarga disebut 'miskin', mengingat bantuan sosial (bansos) pun terkadang menyasar orang-orang yang berkecukupan.Â
Kalau ini muaranya di data, bagaimana proses pemutakhiran data yang akan dilakukan agar program tersebut tepat sasaran. Apakah program tersebut dimulai dari tingkat sarjana, jika iya lantas bagaimana dengan keluarga miskin yang tidak bisa melanjutkan ke SMA.
Atau ketika paslon 01 menjanjikan kemajuan perfilman Indonesia bisa setara Korea Selatan di masa depan. Saya tetap mempertanyakan beberapa hal. Misalnya soal jangka waktu dalam berapa tahun target itu bisa tercapai.Â
Apa strategi jangka pendek dan jangka panjang yang bisa dilakukan demi tercapainya target tersebut. Hingga pada hal yang fundamental, apa yang dimaksud dengan 'setara' pada visi misi tersebut.
Tentunya sikap skeptisisme ini perlu ditumbuhkan bukan untuk menjadi pesimis, tapi untuk meningkatkan daya kritis dan nalar kita sebagai manusia yang diberikan akal oleh Tuhan. Dan itu sangat bagus untuk pembelajaran politik di masyarakat.Â
Masyarakat akan semakin terdidik berdemokrasi dengan baik, tanpa harus menghamba pada sosok yang dianggap sebagai dewa. Tapi masyarakat akan terdidik untuk setia pada nilai yang diusungnya. Nilai-nilai yang tentunya sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Â Â
Tiga hal yang saya paparkan adalah hal yang sangat sederhana. Tapi jika dilakukan, saya teramat yakin kita akan terhindar dari jurang permusuhan. Kan nggak lucu jika ada suami-istri cerai gara-gara beda pilihan capres. Atau tetangga saling gibah di tukang sayur keliling karena beda pilihan presiden.
Toh ngapain kita bermusuhan, kalau ternyata para elit politik yang kita bela mati-matian bisa saja bersatu dan berkoalisi di masa depan. Kita kehilangan kawan, mereka tetap berkawan. Yang bener aje, rugi dong!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H