Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika NIKI & Rich Brian Disebut Ganjar dalam Debat Capres Ketiga

9 Januari 2024   09:33 Diperbarui: 9 Januari 2024   12:10 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai masyarakat yang punya hak pilih dan antusias terhadap pesta demokrasi, tentu saya tidak melewatkan acara debat capres-cawapres yang diselenggarakan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sejak debat perdana digelar, saya menyediakan waktu untuk menyaksikan bagaimana ketiga pasangan calon ini saling memaparkan visi-misi dan beradu argumen.

Bagi saya sendiri, debat ini bisa memberikan gambaran mengenai karakter ataupun rencana program yang akan dijalankan ketika mereka terpilih. Sekaligus juga meyakinkan siapa yang akan saya pilih atau tidak saya pilih di Pilpres 2024 bulan depan.

Tapi memang saya tidak menuliskan kesimpulan debat dalam sebuah tulisan argumentatif. Saya hanya memberikan reaksi spontan di media sosial X. Hingga pada debat capres ketiga, ketika industri pop culture disinggung oleh para paslon, rasa-rasanya menarik bagi saya untuk memberikan pandangan.

Saya mulai dari Anies Baswedan dengan gagasannya tentang industri film. Pertama kali pembicaraan Anies tentang film, saya ketahui dari potongan video salah satu acara diskusi publik. Anies mempertanyakan kenapa film dunia kalau syuting tropis ke negara Thailand tidak ke Indonesia.

Pembicaraan berlanjut hingga ke grand desain industri perfilman Indonesia agar mendunia yang harus mencontoh Korea Selatan. Anies juga ngomongin soal ketersediaan studio dan fasilitasi kegiatan seni budaya oleh pemerintah.

Gagasan Anies ini sebetulnya sangat substansial karena menyentuh kekuatan produk. Tapi kenapa grand desainnya tidak sampai membuat sineas atau para pelaku budaya tertarik? Setidaknya, terbukti dari sejauh ini masih langkanya public figure/pelaku seni yang mendeklarasikan dukungannya terhadap Anies secara terbuka.

Ya karena apa yang ditawarkan oleh Anies sebetulnya bukan hal yang belum dilakukan oleh para pelaku seni budaya. Baik secara mandiri ataupun bekerjasama dengan pemerintah dan swasta.

Soal studio misalnya. Kita punya Infinite Studios Batam yang sudah dijadikan set film baik produksi lokal ataupun mancanegara. Kita juga punya studio Gamplong di Jogjakarta yang bisa terus dimaksimalkan sebagai lokasi syuting. Apalagi soal set alam, Indonesia nggak perlu membangun lagi karena sudah dikaruniai alam yang begitu mempesona.

Pun juga dengan soal fasilitasi kegiatan seni dan budaya. Anies bilang bahwa industri film Korea Selatan bisa sukses seperti sekarang tidak serta tumbuh begitu saja. Tapi sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu dengan memberikan fasilitas agar masyarakat bisa berkreasi.

Saya sepakat dengan hal ini. Tapi gagasan menarik ini seakan-akan mengatakan bahwa pemerintah tidak/kurang memberikan fasilitas pada pelaku seni dan budaya. Faktanya tidak demikian.

Dalam beberapa tahun terakhir, creative hub tumbuh di berbagai daerah. Sebuah tempat yang bisa menjadi ajang berkreasi, silaturahim, dan latihan para pelaku seni budaya untuk terus menerus mengembangkan bakat dan kemampuannya.

Di bandung misalnya. Ada satu gedung bernama Bandung Creative Hub yang menjadi wadah sub sektor ekonomi kreatif  untuk berkarya. Bahkan dilengkapi dengan auditorium yang fasilitas layar dan audionya setara bioskop. Auditorium ini bisa digunakan untuk memutar film hasil sineas lokal agar bisa bertemu dengan penonton seluas-luasnya.

Grand desain yang disampaikan Anies tidak menyentuh akar utama yang menjadi permasalahan para pelaku budaya di lapangan. Entah itu soal regulasi, birokrasi dan perijinan, jam kerja, keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja. Beberapa hal yang sebetulnya masih menjadi pokok masalah yang perlu dicarikan solusinya.

Soal bagaimana budaya nasional bisa pentas ke internasional ditanggapi Ganjar Pranowo dari sisi marketing. Ganjar menyebut sejumlah musisi yang sudah dikenal di internasional seperti NIKI dan Rich Brian bisa menjadi duta memperkenalkan budaya Indonesia di pentas asing.

Ia menyebut soal viralisme. Saya tidak heran, Ganjar lebih menanggapi grand desain Anies yang fokus pada produk dibalas dengan soal cara memasarkan.  Tapi pemahamannya terhadap viralisme hanya sebatas duta. Sama seperti kejadian artis yang tidak hafal Pancasila malah menjadi duta Pancasila.

Secara teoritik, penerapan viralisme dalam industri pop culture adalah bagaimana isi dari produk yang diciptakan bisa viral. Di luar negeri begitu. Tapi di Indonesia, viral dulu baru kemudian jadi produk pop culture. Sehingga produk pop culture ini tidak memiliki kekuatan dan daya promosi dari dalam produknya itu sendiri.

Contoh sederhananya, apakah kamu tahu makanan sandwich berinisial 'Sw' itu karena produknya terkenal? Atau justru terkenal karena sering muncul dalam film Korea?

Di sisi yang lain, penyebutan NIKI dan Rich Brian bisa membuahkan konsekuensi kesalahan interpretasi dari sisi term 'pelaku budaya Indonesia'. Ada perbedaan mendasar antara pelaku seni budaya asing yang kebetulan orang Indonesia dengan pelaku budaya Indonesia yang berjuang memperkenalkan budayanya di negeri asing.

Kedua musisi ini berkarya di Amerika Serikat. Ya wajar mereka terkenal di negara yang menjadi kiblat industri pop culture dunia tersebut. Soal ini, masyarakat perlu diedukasi. Apalagi jika sudah menyangkut luar negeri, masyarakat kita masih sering overproud.

Dalam kasus film misalnya. Beberapa tahun ke belakang, kita pernah dihebohkan oleh klaim seorang sutradara bernama Livi Zheng yang bilang kalau filmnya bersaing dengan Avengers di Oscar. Berita ini cukup menghebohkan dan mendapat banyak reaksi terutama dari sineas Indonesia.

Klaim Livi tidak sepenuhnya salah. Filmnya memang diproduksi dan diedarkan di Hollywood. Selama memenuhi syarat, secara administrasi filmnya memang eligible untuk didaftarkan ke Oscar. Sama dengan Avengers dan ratusan film lainnya yang tayang di Hollywood juga eligible untuk didaftarkan ke Oscar.

Tapi ketika klaim ini dibawa-bawa ke Indonesia dengan narasi bombastis ada film hasil karya sutradara Indonesia yang masuk seleksi nominasi Oscar, ya jadi menimbulkan banyak kesalahpahaman. Kasarnya, ngapain bikin film di luar negeri, diedarkan di luar negeri, tapi bawa-bawa Indonesia untuk pengakuan. Karena secara logika siapapun yang berkarya di Hollywood, ya punya kesempatan untuk mendaftar Oscar. 

Justru yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah, apakah mereka betul-betul membawa narasi budaya Indonesia dalam karya-karyanya?

Kalaulah Ganjar memahami sisi lain dari viralisme, ia bisa saja menyebut sang legenda Rhoma Irama yang berhasil membawa dangdut ke pentas dunia. Karyanya banyak diteliti dan dijadikan referensi pop culture masa kini. Dangdut adalah produk pop culture asli Indonesia yang secara materi sudah memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri. Barulah setelah itu kita bicara pemasaran.

Kesimpulannya, gagasan dan grand desain Anies Baswedan dengan tagline perubahan hanya akan membawa industri ini seperti starting from zero, padahal industri ini sudah cukup berkembang. Dan itu bukan permasalahan utama yang dihadapi industri pop culture saat ini. Sementara Ganjar, harus bisa melihat produk pop culture bukan soal dari cara memasarkannya saja, tapi juga dari sisi penguatan produk.

Menurut hemat saya, gagasan keduanya tentang industri pop culture (dalam hal ini saya fokuskan pada film, musik, dan media lainnya), masih menyentuh permukaan saja. Belum menyeluruh sebagai sebuah ekosistem. Kalau meminjam istilah Prabowo, ya masih 'omon-omon' saja.

Sebaiknya para paslon ini lebih banyak diskusi dan mendengar suara atau keluhan dari para pelaku seni budaya di daerah-daerah. Agar ketika terpilih nantinya, bisa merumuskan gagasan yang bisa menjadi solusi atas permasalahan real yang sedang dihadapi.

Dan juga bisa menempatkan dan mengkolaborasikan dengan cermat pop culture sebagai produk budaya, produk kreatif, dan produk industri yang manfaat jangka panjangnya bisa menjadi soft power bagi pertahanan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun