Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika NIKI & Rich Brian Disebut Ganjar dalam Debat Capres Ketiga

9 Januari 2024   09:33 Diperbarui: 9 Januari 2024   12:10 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Klaim Livi tidak sepenuhnya salah. Filmnya memang diproduksi dan diedarkan di Hollywood. Selama memenuhi syarat, secara administrasi filmnya memang eligible untuk didaftarkan ke Oscar. Sama dengan Avengers dan ratusan film lainnya yang tayang di Hollywood juga eligible untuk didaftarkan ke Oscar.

Tapi ketika klaim ini dibawa-bawa ke Indonesia dengan narasi bombastis ada film hasil karya sutradara Indonesia yang masuk seleksi nominasi Oscar, ya jadi menimbulkan banyak kesalahpahaman. Kasarnya, ngapain bikin film di luar negeri, diedarkan di luar negeri, tapi bawa-bawa Indonesia untuk pengakuan. Karena secara logika siapapun yang berkarya di Hollywood, ya punya kesempatan untuk mendaftar Oscar. 

Justru yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah, apakah mereka betul-betul membawa narasi budaya Indonesia dalam karya-karyanya?

Kalaulah Ganjar memahami sisi lain dari viralisme, ia bisa saja menyebut sang legenda Rhoma Irama yang berhasil membawa dangdut ke pentas dunia. Karyanya banyak diteliti dan dijadikan referensi pop culture masa kini. Dangdut adalah produk pop culture asli Indonesia yang secara materi sudah memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri. Barulah setelah itu kita bicara pemasaran.

Kesimpulannya, gagasan dan grand desain Anies Baswedan dengan tagline perubahan hanya akan membawa industri ini seperti starting from zero, padahal industri ini sudah cukup berkembang. Dan itu bukan permasalahan utama yang dihadapi industri pop culture saat ini. Sementara Ganjar, harus bisa melihat produk pop culture bukan soal dari cara memasarkannya saja, tapi juga dari sisi penguatan produk.

Menurut hemat saya, gagasan keduanya tentang industri pop culture (dalam hal ini saya fokuskan pada film, musik, dan media lainnya), masih menyentuh permukaan saja. Belum menyeluruh sebagai sebuah ekosistem. Kalau meminjam istilah Prabowo, ya masih 'omon-omon' saja.

Sebaiknya para paslon ini lebih banyak diskusi dan mendengar suara atau keluhan dari para pelaku seni budaya di daerah-daerah. Agar ketika terpilih nantinya, bisa merumuskan gagasan yang bisa menjadi solusi atas permasalahan real yang sedang dihadapi.

Dan juga bisa menempatkan dan mengkolaborasikan dengan cermat pop culture sebagai produk budaya, produk kreatif, dan produk industri yang manfaat jangka panjangnya bisa menjadi soft power bagi pertahanan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun