Gambar-gambar yang dihasilkan Mantra Surugana punya komposisi warna yang menarik. Bisa membangkitkan rasa seram dan merinding. Apalagi ketika adegan melafal mantra.
Saya yang terbiasa dengan bahasa Sunda merasa lebih connect saja ketika mendengar mantra tersebut. Tentunya jika dibandingkan dengan film horor lain yang menggunakan bahasa daerah yang kurang saya mengerti.
Belum lagi, visualisasi iblis Surugana yang dibuat seperti iblis dalam The Invisible Man, termasuk satu kreasi yang jarang saya lihat dalam film horor Indonesia.
Tapi ya balik lagi. Seperti kata sutradara kondang negeri ini kalau naskah adalah tulang punggung sebuah film, maka Mantra Surugana sudah kehilangan tulang punggungnya. Atau lebih kejamnya, tidak memiliki tulang punggung.
Sang sutradara yang menulis naskah ditemani tiga rekannya yakni Budhita Arini, Ervina Isleyen, dan Raditya, seakan hanya saling mengumpulkan ide masing-masing yang ada di kepalanya. Tanpa mereka berkompromi selanjutnya, bagaimana cerita ini bisa dijahit dengan rapi dan punya benang merah atau visi yang hendak disampaikan.
Apalagi kalau kita berharap film bakal menceritakan asal-usul tentang mantra surugana itu sendiri. Dijamin harapan kita takkan terpenuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H