Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengamati Respons Estetik Sebagai Bagian dari Pengalaman Nonton yang Berkesan

11 Juli 2023   15:01 Diperbarui: 12 Juli 2023   10:03 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka dengan mempelajari respons penonton, kita tidak akan mudah men-judge sebuah film itu bagus atau jelek hanya karena kita tidak (belum) mengerti dengan apa yang kita tonton.

Ilustrasi di atas bisa dibilang sebagai respons estetik, tapi tingkatannya baru sebatas pada impresi. Sementara lebih jauh lagi respons estetik adalah bagaimana penonton mereaksi unsur-unsur estetika dalam sebuah film termasuk tapi tidak terbatas pada karakter, tema, alur, latar, bentuk, dan gaya bercerita.

Dan cakupan penonton yang saya maksud di sini adalah penonton yang lebih spesifik lagi. Yaitu mereka yang memiliki kesamaan latar belakang dengan unsur estetika yang ada di dalam sebuah film.

Gampangnya begini. Bagaimana respons pekerja seks komersial (PSK) ketika menonton Kupu Malam, bagaimana seorang pialang menonton The Wolf of Wall Street, atau bagaimana seorang hakim ketika menonton Miracle in Cell No. 7.

Satu yang paling berkesan bagi saya terkait hal ini adalah menonton Perempuan Berkalung Sorban bersama-sama para santri dan jajaran akademik di salah satu pesantren di Suryalaya, Tasikmalaya.

Nonton bareng Perempuan Berkalung Sorban di pesantren

Kegiatan nonton bareng ini diinisasi oleh Forum Film Bandung dengan tujuan memang mencermati respons estetik (yang manfaatnya saya tuliskan di bagian akhir tulisan ini).

Perempuan Berkalung Sorban dirasa film yang pas untuk ditonton bersama-sama di pesantren. Film ini bercerita tentang seorang wanita bernama Annisa yang merasa tidak bebas berada di kehidupan pesantren tradisional. Dan sesuai tujuan kegiatan, akan amat sangat menarik jika film ini ditonton dan dibahas oleh orang-orang pesantren.

Kami menonton di aula kampus dengan dua layar proyektor di sebelah kiri dan kanan depan. Ada lebih dari 100 peserta yang ikut serta dalam kegiatan nonton bareng ini. Sebelum nonton, kami ziarah dulu ke makam leluhur dan pendiri pesantren sebagai bentuk menghargai kultur yang berlaku di sana.

Saya tidak akan membahas banyak tentang filmnya tapi lebih ke respon yang diberikan oleh penonton. Silakan teman-teman cari di layanan streaming legal jika tertarik menontonnya.

Peserta nobar Perempuan Berkalung Sorban/FFB
Peserta nobar Perempuan Berkalung Sorban/FFB

Selepas nonton, saat sesi diskusi dimulai, dengan penuh keyakinan, satu orang santriwati sebut saja Mawar, menyoroti makna kebebasan yang diusung dalam film karya Hanung Bramantyo ini. Dalam satu adegan, ketika Annisa bertemu dengan teman wanitanya dan mereka membahas tentang kebebasan. Yang secara tersirat, teman Annisa mengartikan kebebasan adalah bisa 'wikwik' dengan pacarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun