Alina Suhita dan Gus Birru dengan memadukan konsep pernikahan Islam dan kultur Jawa, terutama dari sisi properti dan kostum.
Nggak perlu banyak basa-basi, opening Hati Suhita langsung bikin merinding dan mengiris hati. Hati Suhita membuka filmnya dengan adegan pernikahan antaraLalu kamera dengan dinamis memperkecil frame adegan tersebut ke dalam sebuah tv plasma yang berada di luar pelataran area pernikahan. Tiada lain dan tiada bukan, pendekatan seperti ini ditujukan bagi penonton agar mengenal satu karakter lain yakni Rengganis.
Rengganis adalah kekasih Gus Birru sebelum pernikahan itu terjadi. Kini sudut pandang penonton dialihkan pada Rengganis yang menyaksikan pernikahan kekasihnya dari luar gedung.
Kamera juga memfokuskan pada benda kecil berwarna merah yang terdapat di saku jas Gus Birru. Lalu sejurus kemudian beralih pada sosok Rengganis yang juga berpakaian serba merah. Warna merah di adegan ini saya maknai betapa kuatnya ikatan cinta antara Gus Birru dan Rengganis di masa lalu.
Tapi nyatanya, Rengganis tidak sanggup menyaksikan pernikahan kekasihnya itu. Ia berbalik arah dan lari dari sekumpulan warga yang menggunakan pakaian serba putih.
Sungguh suatu kontras yang dramatis.
Dengan iringan sound Salawat Nabi, siapa yang tak bergetar, ketika sejak awal, dalam derap sunyi hati, justru terdengar rintihan yang menggelegar.
Hati Suhita langsung menunjukkan betapa solidnya kinerja kamera, editing, musik, artistik, dan aktor menjadi satu kesatuan adegan yang utuh dan menyeluruh. Â
Perjodohan di kalangan pesantren
Satu statement penting yang perlu dipahami penonton Hati Suhita adalah soal perjodohan di kalangan pesantren.
Gus Birru (Omar Daniel) adalah putra tunggal pemilik pesantren modern di Jawa Timur, harus dijodohkan dengan Alina Suhita (Nadya Arina), putri kyai yang dianggap sekufu (setara) dan bisa meneruskan kepemimpinan pesantren milik orang tuanya Gus.
Rencana penyerahan kepemimpinan pesantren pada Alina, dikarenakan Gus tidak terlalu menyukai pondok pesantren. Ia malah memilih mendirikan cafe bersama teman-temannya. Dan tentu cita-cita dan keinginan Gus ditentang oleh ayahnya yang menganggap sukses itu harus selalu berkaitan dengan pesantren.
Begitu juga ketika ia menerima perjodohannya dengan Alina, karena tidak ingin membuat hati orang tuanya kecewa. Dalam poin ini, sesungguhnya saya sangat berempati pada karakter Gus.
Sebagai laki-laki yang tidak punya kebebasan memilih apa yang terbaik untuk hidupnya sendiri, adalah hal sesuatu yang menyakitkan.
Maka ketika malam pertama, Gus Birru dengan tegas menolak menyentuh Alina Suhita dan mengatakan bahwa ia tidak mencintai Alina. Dan ia masih terjebak dengan masa lalunya bersama Rengganis (Anggika Borsterli).
Sejak saat ini, sudut pandang Alina Suhita yang diperbanyak. Sesuai judulnya, film terasa dominan berpihak pada karakter Suhita. Tapi di sisi yang lain, film juga tidak mampu berbuat banyak menggambarkan Suhita dengan segala kompleksitasnya.
Memang nggak mudah mengadaptasi sebuah novel ke dalam karya audio visual. Perlu kecermatan dalam memilih dan memilah bagian mana saja yang perlu dialihwahanakan sehingga menjadi sebuah tontonan yang enak.
Buat saya, sebuah film hasil ekranisasi novel bisa dibilang gagal, jika untuk memahaminya penonton diharuskan untuk membaca novelnya.
Hati Suhita memang tidak sepenuhnya demikian. Alim Sudio, selaku penulis naskah yang kini sedang laris-larisnya, cukup cermat dan sangat tahu apa kebutuhan audiens penonton di masa sekarang terhadap film-film seperti ini.
Jadi ini hanya soal pilihan. Hati Suhita mengambil kisah-kisah romansa populisnya, yang tentu akan sangat mudah dicintai oleh penontonnya.Â
Buktinya, waktu saya nonton film ini pada hari pertama show pertama, penonton yang didominasi oleh ibu-ibu seringkali memberikan reaksi dan komentar terutama saat layar menampilkan Gus Birru dan Alina.
Kalau digambarkan persis seperti saya sedang menonton sinetron bersama ibu saya, dan ibu saya tak henti-hentinya mengomentari adegan yang dilihatnya.
Tentunya hal ini juga bisa dibaca sebagai salah satu keberhasilan sebuah film.
Dengan durasi yang melenggang lebih dari 2 jam, penonton tidak merasa bosan dengan film ini, dan malah betah mengikuti hingga akhir. Bahkan sebagian dari mereka sudah ready dengan handphone di tangannya, siap-siap merekam adegan terutama bagaimana akhir kisah cinta Alina dan Gus Birru.
Tolong, yang ini jangan ditiru ya. Cukup nikmati saja filmnya di bioskop. Jangan sampai merekam dan membagikannya di media sosial.
Tapi, Hati Suhita bisa tampil lebih dari sekadar romansa
Perebutan Gus Birru memang tidak digambarkan dengan jambak-jambakkan ala FTV 'Ku Menangis'. Rengganis dan Alina sama-sama perempuan intelektual. Keduanya mungkin sama-sama merasakan sakit. Rengganis harus melepaskan Gus Birru, sementara Alina harus berusaha sabar dan menunggu dicintai Gus Birru.
Lantas kenapa Rengganis nggak bisa bersama Gus Birru? Secara kemampuan mengelola pesantren Rengganis sama unggulnya dengan Alina. Tapi, satu hal yang nggak bisa dimiliki Rengganis dari Suhita adalah status putri kyai.Â
Poin ini tidak digambarkan dengan baik, dan hanya disederhanakan dengan dialog Rengganis, "Memang lebih enak manggil Nyai Alina, daripada Nyai Rengganis".
Balik lagi ini soal pilihan kreatif. Hati Suhita memilih untuk meromantisisasi rasa sakit yang diderita para karakter sehingga respon yang dihasilkan oleh penonton adalah keberpihakan terhadap salah satu karakter. Dan Hati Suhita seakan enggan menyelami lebih dalam penyebab rasa sakit yang diderita para karakter yakni soal perjodohan itu sendiri.
Perjodohan dalam Hati Suhita adalah hal yang harus diterima tanpa syarat. Yang penting ikhlas dan sabar, pada ujungnya 'benih' akan didapat. Mungkin film ini memang ingin mengajarkan bahwa perjodohan jika dilandasi dengan kesabaran ujung-ujungnya akan berakhir baik juga buat si perempuan.
Tapi apakah Gus benar-benar mencintai Alina? Jujur saja, saya tidak merasa Gus mencintai Alina. Ia membujuk Alina ya karena habis dimarahi orangtuanya dan masih demi pesantren.
Saya berpikiran seperti ini karena bisa jadi arahan dan interpretasi sutradara Archie Hekagery terhadap ketiga karakter utamanya ini kurang kuat.
Pendekatan pengadeganan yang dilakukan Archie kurang memberikan keleluasaan bagi para aktor untuk unjuk kebolehan. Saya contohkan satu adegan saja.
Ketika Gus meminta maaf pada kedua orangtuanya karena Alina pergi dari rumahnya, adegan didahului oleh suara Gus lalu dirangkai dengan adegan slow-mo dan iringan musik menyayat hati.
Padahal adegan ini seharusnya menjadi golden scene bagi Omar Daniel dan Desy Ratnasari & David Chalik yang berperan sebagai kedua orangtuanya.Â
Gus yang berkarakter keras, seharusnya bisa memperlihatkan bahwa ia bisa bermain emosi dalam rentang yang lain dalam hal ini menjadi lebih halus.
Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Yang semula sampai adegan ini digambarkan sebagai sosok yang riang dan jenaka, harusnya bisa juga menunjukkan rasa kecewa dan marahnya.
Makanya, atas hal ini saya sangat apresiasi kinerja Tya Subiakto selaku penata musik yang mampu membangun dan membangkitkan mood adegan yang sesuai. Yang seharusnya mood ini juga bisa dibangun bersama kolaborasi dari sisi aktornya.
Mungkin saya saja yang berekspektasi terlalu tinggi kalau filmnya bakal memberikan ruang pada ketiga karakter utama untuk sama-sama menyelami kedewasaan, keikhlasan, pengorbanan, dan pilihan hidup dari sisi ketiganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H