Begitu juga ketika ia menerima perjodohannya dengan Alina, karena tidak ingin membuat hati orang tuanya kecewa. Dalam poin ini, sesungguhnya saya sangat berempati pada karakter Gus.
Sebagai laki-laki yang tidak punya kebebasan memilih apa yang terbaik untuk hidupnya sendiri, adalah hal sesuatu yang menyakitkan.
Maka ketika malam pertama, Gus Birru dengan tegas menolak menyentuh Alina Suhita dan mengatakan bahwa ia tidak mencintai Alina. Dan ia masih terjebak dengan masa lalunya bersama Rengganis (Anggika Borsterli).
Sejak saat ini, sudut pandang Alina Suhita yang diperbanyak. Sesuai judulnya, film terasa dominan berpihak pada karakter Suhita. Tapi di sisi yang lain, film juga tidak mampu berbuat banyak menggambarkan Suhita dengan segala kompleksitasnya.
Memang nggak mudah mengadaptasi sebuah novel ke dalam karya audio visual. Perlu kecermatan dalam memilih dan memilah bagian mana saja yang perlu dialihwahanakan sehingga menjadi sebuah tontonan yang enak.
Buat saya, sebuah film hasil ekranisasi novel bisa dibilang gagal, jika untuk memahaminya penonton diharuskan untuk membaca novelnya.
Hati Suhita memang tidak sepenuhnya demikian. Alim Sudio, selaku penulis naskah yang kini sedang laris-larisnya, cukup cermat dan sangat tahu apa kebutuhan audiens penonton di masa sekarang terhadap film-film seperti ini.
Jadi ini hanya soal pilihan. Hati Suhita mengambil kisah-kisah romansa populisnya, yang tentu akan sangat mudah dicintai oleh penontonnya.Â
Buktinya, waktu saya nonton film ini pada hari pertama show pertama, penonton yang didominasi oleh ibu-ibu seringkali memberikan reaksi dan komentar terutama saat layar menampilkan Gus Birru dan Alina.
Kalau digambarkan persis seperti saya sedang menonton sinetron bersama ibu saya, dan ibu saya tak henti-hentinya mengomentari adegan yang dilihatnya.
Tentunya hal ini juga bisa dibaca sebagai salah satu keberhasilan sebuah film.