Teruntuk kampung halamanku,
Alhamdulillah. Aku buka surat ini dengan ucapan pujian kepada Allah, karena Ia senantiasa memberikan rahmat-Nya. Termasuk kekuatan dan keberanian kepadaku menulis sepucuk surat ini.
Sebuah surat yang mungkin lebih pas dianggap sebagai curahan hati. Yang isinya adalah sesuatu yang belum engkau tahu. Aku tidak berharap banyak dari terkirimnya surat ini kepadamu. Selain hanya ingin berbagi hati.
Masih lekat di ingatan, ketika aku membuat jarak darimu. Engkau bebankan banyak harapan di pundakku. Aku yang masih tidak terlalu mengerti arti beban itu, spontan saja menerimanya.
Lantas aku melangkah dan pergi. Semakin lama semakin menjauh. Hingga engkau tak terlihat lagi. Dan aku pun tak terlihat oleh engkau.
Saat itu aku yakin, doamu selalu bersamaku.
Kumulai menjalani hari yang baru. Hari yang penuh semangat dan mimpi. Seorang anak daerah dengan bekal seadanya, mengundi nasib di ibu kota.
Aku tidak sendiri. Aku menemukan teman-teman baru yang punya mimpi yang sama. Sama-sama berproses dan berjuang. Saling mendukung. Meski ada saja di antara kami yang berselisih hingga berujung perpisahan.
Ketahuilah wahai engkau kampung halamanku. Kupikir mudah saja menjalani hidup jauh denganmu. Baru beberapa purnama saja, rasanya aku ingin kembali kepadamu. Tapi rasanya aku malu.
Aku takut jika aku kembali dalam keadaan yang sama, engkau akan berpikir bahwa doa-doamu tak cukup ampuh. Dan aku hanya akan dianggap sebagai pecundang.
Maka yang aku lakukan hanyalah menghubungimu meminta doa. Tapi sebenarnya itu hanyalah bungkus dari ketidakmampuanku berkeluh kesah.