Alhamdulillah. Jika saya tidak merantau, mungkin saya tak akan tahu apa yang namanya rindu kampung halaman.
Bagi saya, kampung halaman identik dengan kehangatan, kesederhanaan, dan masa kecil. Saya dilahirkan dan dibesarkan di satu kota kecil yang disebut Sukabumi.
Konon katanya, Sukabumi berasal dari dua kata yakni suka dan bhumi yang diambil dari bahasa Sansekerta. Suka bisa berarti kesenangan, kesukaan, dan atau kebahagiaan. Sementara bhumi artinya tanah yang merujuk pada dunia yang kita semua tempati.
Jadi Sukabumi adalah bumi kesukaan orang-orang untuk tinggal dan menetap. Dengan udaranya yang sejuk dan nyaman, orang-orang yang pernah ke Sukabumi akan merasa sulit untuk kembali lagi ke tempat asalnya. Begitulah kabarnya.
Tahun demi tahun hingga saya beranjak dewasa, saya tetap berada di Sukabumi. Hingga akhirnya menjelang kuliah saya merantau ke Bandung. Lalu kemudian menjelajahi berbagai kota. Mulai dari Jakarta, Palembang, Medan, Denpasar, Yogyakarta, Solo, Surabaya, hingga Makassar.
Saya senang bisa punya kesempatan mengenal daerah-daerah lain yang mungkin menjadi kampung halaman bagi orang lain. Tapi hati memang tidak bisa dibohongi. Kampung halaman sendiri selalu memanggil untuk dikunjungi.
Setiap kali selesai bepergian dari tempat-tempat tersebut, hati selalu menuntut untuk pulang ke Sukabumi.
Kenapa Sukabumi selalu dirindukan? Itulah pertanyaan yang selalu menghantui pikiran saya.
Terkadang saya bertanya pada udara, apakah memang keadaan dirimu yang sejuk yang membuat saya kembali. Tapi udara tak memberikan jawaban.
Lalu saya bertanya mochi, apakah karena dirimu yang cantik, saya tak bisa meninggalkanmu. Lagi-lagi mochi hanya membisu.
Lambat laun saya menyadari dan menemukan jawabannya. Rumah, ya rumah. Alasan saya kembali.