Rasanya dunia seakan runtuh, ketika tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang percaya kepada kita.
Sebuah kejujuran akan menghasilkan kepercayaan. Sedari kecil kita senantiasa diajarkan lebih dulu untuk berbuat baik daripada menjadi pintar. Pepatah mengatakan pentingnya adab di atas ilmu.Â
Dengan adab yang baik, kita akan mudah diterima di masyarakat. Bahkan bisa dikatakan adab yang baik adalah sebaik-baiknya teman.Â
Bicara film, satu hal yang saya suka dari film China karena film tersebut senantiasa mengagungkan adab berdasarkan ajaran yang mereka percayai dalam film-filmnya.
Termasuk Sakra, film China terbaru yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai welas asih.
Berawal dari fitnah
Mengambil latar pada kekuasaan Dinasti Song yang memerintah antara tahun 960 hingga 1279, Sakra berfokus pada satu karakter bernama Qiao Feng (Donnie Yen). Feng begitu orang menyebutnya, adalah seorang pemimpin dari Sekte Pengemis yang sangat dihormati di dunia seni bela diri.
Lebih sering orang menyebutnya sebagai Pahlawan Feng karena ia adalah seorang yang baik hati dan senantiasa menolong sesamanya.
Namun dalam suatu kesempatan pertemuan bersama anggota gengnya, ia dituduh sebagai seorang yang berasal dari bangsa Khitan. Tuduhan ini malah membuat ia dikucilkan oleh teman - teman dan pengikutnya.
Selain tuduhan terhadap asal-usulnya, ia juga difitnah telah membunuh tetua Sekte Pengemis, kedua orang tua angkatnya, dan guru spiritualnya.
Dan tidak ada satu pun dari anggota Sekte Pengemis yang percaya pada dirinya.
Ada dua poin penting yang bisa kita gali dari premis awal Sakra ini. Pertama persoalan hubungan bangsa Khitan dengan Sekte Pengemis. Kedua tentang motivasi dalang utama yang memfitnah Feng dengan tuduhan yang keji.
Terkait persoalan pertama, saya tidak terlalu bisa menangkap kenapa ketika seseorang dicurigai sebagai bangsa Khitan ia dicap sebagai pengkhianat dan halal untuk dibunuh.Â
Sakra yang dalam judul aslinya Tin lung baat bou, kurang memberikan gambaran apa dan bagaimana sesungguhnya hubungan antara Sekte Pengemis dan bangsa Khitan.
Apakah persoalan aturan tentang kepemimpinan Sekte Pengemis yang mengharuskan keturunan asli dari geng tersebut yang menjadi pemimpin. Atau memang ada alasan lain yang membuat Feng layak untuk dikucilkan.
Sementara terkait tuduhan keji yang dialamatkan pada Feng, saya tidak menemukan alasan yang kuat kenapa mereka melemparkan tuduhan keji tersebut. Selain apa yang ditunjukkan di akhir film kalau mereka yang memfitnah Feng hanyalah mengikuti instruksi seseorang yang lebih berkuasa dari pada mereka.
Setelah credit title, Sakra memberikan jawaban dan kesimpulan atas apa-apa yang bolong selama penceritaannya. Termasuk menampilkan sosok yang paling berkuasa yang menjadi dalang utama fitnah terhadap Feng.
Dengan montase editing yang menumpuk di akhir film, alih-alih menuntaskan cerita yang sudah dimulai, Sakra malah berujung pada intrik konspirasi politik yang berbelit-belit. Dan sungguh sulit sekali dicerna rangkaian ceritanya.
Koreografi laga yang menawan
Bagian menarik dari satu film laga China adalah soal seni bela dirinya. Sakra memang memenuhi durasi filmnya yang lebih dari dua jam dengan adegan-adegan laga yang menyegarkan dan menyenangkan.
Ketika film-film China berlatar klasik sudah jarang sekali masuk bioskop Indonesia, kehadiran Sakra (apalagi di momen Imlek) memang bisa jadi oase atau pengobat rindu tersendiri bagi para penggemar film seperti ini.
Tentunya saya nggak perlu banyak komentar mengenai laganya. Karena seni bela diri China yang lebih dikenal dengan Kungfu, menurut hemat saya salah satu seni bela diri yang unik dan memiliki identitas budaya.
Film China termasuk salah satu produk kreatif yang bisa melanggengkan budayanya melalui seni bela diri. Kita yang menonton pun akan mudah mengenali identitas dari mana film ini berasal, hanya dari gerak dan koreografi laganya.
Tapi permasalahan muncul dari struktur dramatik dalam menghadirkan adegan laga tersebut. Sakra nggak menopangnya dengan penceritaan yang baik. Ia hanya jadi ajang unjuk gigi adegan laga saja.
Selain dari penceritaan, film yang juga disutradarai oleh Donnie Yen bersama Ka-Wai Kam ini, punya masalah dari sisi sinematografi.Â
Film ini memiliki tone yang didominasi oleh warna cokelat. Saya menduga penggunaan tone tersebut digunakan karena ingin menghadirkan suasana klasik.
Tapi justru penggunaan tone seperti itu sepanjang film, malah membuat saya sedikit bingung. Saya sulit membedakan mana bangsa Khitan, mana Sekte Pengemis, dan mana bangsa lainnya. Karena kostum, properti, penataan tempat, hampir tertutupi oleh colour grading yang sama.
Sebagai contoh dalam laga Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), walau sama-sama mengangkat latar klasik, kita bisa dengan mudah membedakan antara latar desa tempat ibunya Shang-Chi dengan latar kerajaan tempat ayahnya.
Karena kedua latar tersebut dibedakan dari warna, properti, dan juga suasana tempatnya.
Ajarkan berperilaku welas asih kepada sesama manusia
Dalam beberapa dialog yang dilontarkan, kiranya Sakra hendak memperlihatkan bahwa perilaku welas asih berada di atas segalanya. Tak peduli dari bangsa mana, sikap welas asih adalah persoalan kemanusiaan.
Maksud inilah yang film sematkan pada karakter Feng.
Tapi, lagi dan lagi Sakra menemukan kendala dalam penuturannya. Di awal film kita diperlihatkan Feng yang berkorban menusuk tubuhnya sendiri daripada membiarkan Sekte Pengemis membunuhnya. Karena saking welas asihnya, ia nggak mau membuat Sekte Pengemis memiliki dosa membunuh.
Tapi persoalan ini berubah haluan menjadi balas dendam seorang Feng. Sifat welas asihnya hilang seketika.
Saya tidak mempermasalahkan ketika orang berubah menjadi jahat karena tidak ada lagi rasa kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dengan kata lain, perubahan perilaku tersebut memiliki motivasi. Tapi seyogyanya dalam peralihannya, perubahan perilaku tersebut harus digambarkan dengan baik.
Saya tidak melihat seorang Feng sebagai orang yang baik yang terzalimi. Tidak ada ekspresi kebimbangan pada Feng ketika dirinya memutuskan untuk balas dendam dan membunuh orang-orang yang memfitnahnya. Atau tidak ada juga adegan lain yang bisa menguatkan keputusannya.
Semisal dalam film kolosal Sultan Agung (2018). Ketika Sultan Agung memutuskan menyerang Batavia (dan tentunya akan mengorbankan rakyatnya) didahului adegan ia curhat kepada ibunya atas keresahan keputusannya.
Feng tidak demikian. Hubungan dengan orang tua angkatnya atau dengan gurunya pun hanya disinggung sekilas saja. Sakra bisa saja menyiasatinya dengan kilas balik yang mengaitkannya kepada ajaran orang tuanya di masa kecil. Tarung Sarung saja melakukannya kok.
Saya sangat menyayangkan kurangnya penggalian karakter Feng malah jadi menihilkan pesan yang hendak disampaikan.
Donnie Yen yang bisa dibilang aktor sukses di perfilman China, bisa saya bilang ia di sini gagal mengemban tugas tersebut.
Mungkin kita sering mendengar kampanye sebuah promo film 'lihat pesan dari filmnya'. Sebagai contoh film remaja Argantara yang dituding sebagai romantisisasi nikah muda, produser langsung menanggapinya dengan berkata bahwa filmnya tidak bermaksud demikian.
Kenapa 'wrong message' ini bisa terjadi? Ya, salah satunya karena cara bertutur film itu sendiri.
Itulah yang terjadi pada Sakra. Ketika cerita Feng dijadikan alegori akan bahaya fitnah yang malah bisa menyebabkan hilangnya nyawa puluhan orang, tapi karakterisasi Feng-nya sendiri nggak dibuat dengan sangat kuat dan detail.
Sorry to say, Sakra gagal dalam hal menampilkan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang sering saya temukan dalam film serupa.
Ia tak lebih hanya film tentang balas dendam yang dipenuhi dengan sekuens laga menawan, tanpa peduli bagaimana cara menuturkan kisahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI