Tapi permasalahan muncul dari struktur dramatik dalam menghadirkan adegan laga tersebut. Sakra nggak menopangnya dengan penceritaan yang baik. Ia hanya jadi ajang unjuk gigi adegan laga saja.
Selain dari penceritaan, film yang juga disutradarai oleh Donnie Yen bersama Ka-Wai Kam ini, punya masalah dari sisi sinematografi.Â
Film ini memiliki tone yang didominasi oleh warna cokelat. Saya menduga penggunaan tone tersebut digunakan karena ingin menghadirkan suasana klasik.
Tapi justru penggunaan tone seperti itu sepanjang film, malah membuat saya sedikit bingung. Saya sulit membedakan mana bangsa Khitan, mana Sekte Pengemis, dan mana bangsa lainnya. Karena kostum, properti, penataan tempat, hampir tertutupi oleh colour grading yang sama.
Sebagai contoh dalam laga Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021), walau sama-sama mengangkat latar klasik, kita bisa dengan mudah membedakan antara latar desa tempat ibunya Shang-Chi dengan latar kerajaan tempat ayahnya.
Karena kedua latar tersebut dibedakan dari warna, properti, dan juga suasana tempatnya.
Ajarkan berperilaku welas asih kepada sesama manusia
Dalam beberapa dialog yang dilontarkan, kiranya Sakra hendak memperlihatkan bahwa perilaku welas asih berada di atas segalanya. Tak peduli dari bangsa mana, sikap welas asih adalah persoalan kemanusiaan.
Maksud inilah yang film sematkan pada karakter Feng.
Tapi, lagi dan lagi Sakra menemukan kendala dalam penuturannya. Di awal film kita diperlihatkan Feng yang berkorban menusuk tubuhnya sendiri daripada membiarkan Sekte Pengemis membunuhnya. Karena saking welas asihnya, ia nggak mau membuat Sekte Pengemis memiliki dosa membunuh.
Tapi persoalan ini berubah haluan menjadi balas dendam seorang Feng. Sifat welas asihnya hilang seketika.
Saya tidak mempermasalahkan ketika orang berubah menjadi jahat karena tidak ada lagi rasa kepercayaan yang diberikan kepadanya.