Dalam penerbangan, aku membuat banyak percakapan di pesawat kecil ini. Ada jiwa di dalam suatu hal. Aku rasa disitulah kita meletakkan jiwa kita. Tidak banyak pilot yang mengatakan soal ini, tapi mereka memikirkan hal ini dalam sebuah penerbangan malam yang gelap -Â Richard Bach
Beberapa tahun yang lalu, sewaktu balik dari Singapura menuju Bandung, pesawat yang saya tumpangi pernah mengalami turbulensi. Saya tidak mengetahui penyebab pastinya, yang saya rasakan hanyalah guncangan yang begitu hebat.
Berbagai macam doa memenuhi ruangan pesawat yang keluar dari mulut penumpang. Saat itu saya hanya bisa pasrah kepada Allah SWT. Apapun yang terjadi ya sudahlah.
But, alhamdulillah atas kuasa Allah SWT lewat kelihaian pilot, semua penumpang bisa mendarat dengan selamat di bandara Bandung. Dan semua penumpang memberikan tepuk tangan sebagai tanda apresiasi dan terima kasih kepada seluruh kru pesawat yang bertugas.
Turbulensi salah satu risiko penerbangan
Seyogyanya memang penumpang sudah paham kalau turbulensi merupakan salah satu risiko ketika melakukan perjalanan udara menggunakan pesawat terbang.
Dalam matriks manajemen risiko, kita mengenal dua faktor yakni frequency (frekuensi) dan impact (dampak). Kecelakaan pesawat bisa dibilang masuk pada matriks low frequency high impact.
Frekuensi kecelakaan berada dalam matriks low, karena jika dibandingkan dengan jumlah penerbangan, frekuensi kecelakaan memang minim. Tapi sekalinya terjadi dampaknya akan sangat hebat. Sangat jarang terjadi penumpang yang selamat dari kecelakaan pesawat. Bahkan beberapa di antaranya, jenazah penumpang pun tidak bisa ditemukan.
Satu film terbaru yang berlatar di pesawat, Plane, langsung mengguncang penonton dengan adegan pesawat yang mengalami turbulensi karena menembus badai. Sebelumnya memang sudah diperingkatkan bahwa sedang terjadi badai, tapi diperkirakan badai akan sudah reda ketika pesawat berada di udara. Nyatanya perkiraan tersebut salah.
Segala usaha dilakukan oleh kapten pilot Brodie Torrance (Gerard Butler) agar penumpang bisa selamat.
Saat menyaksikan adegan ini, saya sangat merasakan ketegangan yang sama dan memori dibawa kembali ketika saya mengalami turbulensi nyata.Â
Sutradara Jean-Franois Richet (One Wild Moment, Blood Father) sangat mampu memberikan bangunan dramatik di awal film yang bakal membuat penonton tertarik dan betah menyaksikan perjalanan Trailblazer 119 dari Singapura ke Tokyo selanjutnya.
Sekaligus juga menyisakan pertanyaan di benak saya. Jika persoalan turbulensi dan guncangan hebat sudah menjadi materi pembuka film, apa yang hendak disajikan Plane sebagai konflik yang lebih besar lagi?
Kejutan utama film ada di sekuens laganya
Pesawat Trailblazer 119 akhirnya berhasil mendarat darurat di sebuah daratan yang antah berantah. Setelah melakukan serangkaian analisis, diperkirakan daratan tersebut berada di kawasan selatan Filipina yang dihuni oleh gerakan separatis.
Berbeda dengan film-film berlatar pesawat yang menghabiskan sebagian durasi dan cerita di dalam pesawat, Plane mengubah haluan menjadi konflik antara kru pesawat dengan penduduk setempat.
Sehingga ancaman sesungguhnya bukan lagi soal badai, tapi bagaimana seluruh kru pesawat dan penumpang bisa selamat dan melarikan diri dari kelompok tersebut.
Terkait hal ini, saya jadi penasaran apakah pulau yang disebut berada di kawasan Filipina tersebut pada kenyataannya memang dihuni oleh gerakan separatis.
Saya pun googling dengan bahasa Indonesia. Lalu menemukan berita kalau pada tahun 2016 ada 10 WNI yang diculik dan dijadikan sandera oleh kelompok yang menghuni pulau ini.
Senada dengan filmnya, kelompok yang dipimpin oleh seorang Datu (ketua) ini menculik seluruh penumpang dan menjadikannya sandera. Fokusnya adalah menyandera warga asing yang memiliki pengaruh di masyarakat.
Dalam suatu dialog dikatakan, jika mereka menyandera rakyat kecil tak ada yang peduli. Tapi jika mereka menyandera orang penting, akan banyak yang datang memberikan tebusan. Ya, tujuan Datu ini memang hanya soal uang.
Pencarian saya berlanjut ketika mendapati fakta kalau pulau ini dihuni oleh mayoritas muslim. Saya sangat berterima kasih kepada Plane karena tidak memberikan identitas keagamaan yang kuat pada kelompok Datu.
Saya pernah kecewa pada film 7500Â (2019) yang menjadikan Islam sebagai teroris tanpa ada narasi penawar sebagai pembanding bagi penonton. Karena menurut saya, Islam dan (mungkin) juga agama lainnya jika dipelajari lebih dalam, mengajarkan kasih sayang dan kedamaian.
Terlepas dari pengubahan haluan konfliknya, aksi-aksi yang disuguhkan Plane selama latar berada di pulau tersebut memang sangat menegangkan.
Pentingnya manajemen krisis dalam situasi darurat
Ancaman dalam Plane bukan lagi soal manajemen risiko yang bisa diukur dan dinilai sebelumnya, tapi sudah masuk dalam tahap manajemen krisis.
Dalam persoalan pesawat yang hilang dan atau jatuh ada beberapa faktor yang dilibatkan dalam manajemen krisis, terutama masalah komunikasi. Pertama bagaimana kru membangun komunikasi dengan kantor pusat, dan juga bagaimana kantor pusat berkomunikasi dengan masyarakat melalui media.
Bagaimana pun juga sebuah penerbangan pesawat komersil yang mengalami masalah akan menjadi breaking news. Di sana ada keluarga penumpang yang harap-harap cemas menanti kejelasan nasib para penumpang. Ada juga reputasi dan kepercayaan publik yang sedang dipertaruhkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Plane memang mencoba menghadirkan perspektif yang lebih luas kepada penonton dibanding film-film berlatar pesawat lainnya. Salah satunya adalah soal perbedaan keputusan yang diambil oleh dua orang pemangku kepentingan di kantor pusat.
Tapi sayangnya, keinginan Plane menghadirkan perspektif yang luas ini justru menjadi titik lemah film. Kita bisa melihat dua orang pemangku kepentingan yang berbeda pendapat memberikan instruksi kepada Kapten Torrance.
Kedua instruksi tersebut sama sekali nggak dihiraukan oleh Kapten Torrance karena secara prerogatif ia menentukan apa yang akan ia lakukan demi menyelamatkan seluruh kru dan penumpangnya. Kalau kapten Torrace bisa berucap seperti Megawati, mungkin ia akan berkata "urusan gue".
Akibatnya perdebatan yang diniatkan sebagai jeda dari sekuens laga terasa semakin sia-sia. Adegan tersebut nggak menambah kekuatan dramatik film. Padahal bisa saja soal konflik perdebatan itu arahnya diberikan antara pemangku kepentingan dan Kapten Torrance.
Hal ini akan lebih terasa powerfull karena penonton tahu pemangku kepentingan mengambil keputusan berdasarkan data dan fakta yang didapat, sementara kapten Torrance mengambil keputusan berdasarkan situasi real yang dia alami. Puncaknya, sebagai cara terakhir menyelamatkan kru dan penumpang, Kapten Torrance boleh jadi punya cara sendiri yang berbeda dengan apa yang diinstruksikan oleh pemangku kepentingan.
Begitulah kiranya jika Plane betul-betul ingin memperlihatkan dan atau memberikan edukasi bagaimana penanganan manajemen krisis menjadi sesuatu yang on the track (sesuai pedoman perusahaan) tapi juga memberikan sentuhan dramatik kepada filmnya.
Ditinjau dari sisi komunikasi perusahaan kepada masyarakat, film hanya mewakilinya dengan karakter Daniela (Haleigh Hekking), putri semata wayangnya kapten Torrance. Sesekali diperlihatkan Daniela yang sedang cemas menunggu kepastian pesawat yang dikemudikan ayahnya.
Sementara untuk penumpang lain, Plane tidak memperlihatkan sudut pandang keluarga mereka. Akibatnya, keinginan Plane menghadirkan ekosistem manajemen krisis yang menyeluruh, saya kira masih setengah matang. Charles Cumming dan J.P. Davis yang menangani naskah sepertinya masih perlu riset lebih dalam bagaimana penerapan manajemen krisis di dunia aviasi.
Satu hal lagi yang paling saya sayangkan dari Plane adalah karakterisasi karakter lainnya yang hanya difungsikan sebagai extras saja. Kecuali si kriminal, semua penumpang tidak punya peran. Tidak ada kepanikan, kecemasan, atau semacam rasa gelisah yang ditunjukkan oleh mereka padahal mereka berada dalam keadaan yang mereka tidak ketahui.
Mungkin saya masih bisa maklum dengan karakterisasi si penumpang yang dibuat begitu. Tapi ketika film ini punya co-pilot dan kepala pramugari yang juga tidak dibuat sebagai karakter kunci, saya lantas bertanya apakah memang hanya pilot saja yang diberi pelatihan manajemen krisis?
Dengan pendekatan karakterisasi yang seperti itu, bagi saya Plane hanyalah glorifikasi seorang Kapten Brodie Torrance. Sebuah pertunjukkan film one man show yang mengabaikan keilmuan dan logika, walau saya tak memungkiri keseruan yang dihadirkan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H