Tapi ketakutan ini pun bisa dibaca sebagai sebuah satire. Bahwasanya ketika manusia tidak bisa mengendalikan olahan teknologi yang diciptakannya, sesungguhnya ia tidak benar-benar berada dalam keadaan yang pintar.
Sebaliknya ketika olahan teknologi yang diciptakannya bisa mengendalikan si pencipta, maka ia berada dalam keadaan yang bodoh.
Kasarnya, bagaimana mungkin seseorang bisa 'mati' oleh benda yang ia buat sendiri?
Tapi pada kenyataannya, teknologi benar-benar membutakan rasa. Coba kita refleksi sejenak, berapa kali frekuensi kita menelepon orangtua? Apakah sering atau jarang, padahal handphone berada di tangan kita hampir seharian?
Berapa banyak dari kita yang lebih memilih asyik sendiri bersama gadget ketika berkumpul bersama-sama dengan teman? Atau sebetah apa kita scroll timeline demi menikmati keributan yang terjadi di media sosial?
Teknologi hadir melumpuhkan rasa. Saya bisa saja melihat M3GAN sebagai sebuah komedi. Terlebih adegan final battle yang dimiliki, betul-betul memperlihatkan bahwa hanya rasa yang bisa mengalahkan segala logika dan analisis yang meski telah disusun secara sistematis dan logis.
Maka benar kata Agnes Monica, cinta kadang-kadang tak ada logika. Karena cinta yang hadir dari seorang manusia untuk manusia lainnya adalah sebuah rasa yang memang Tuhan ciptakan hanya untuk manusia.
Sebagai sebuah film sci-fi horor, M3GAN berhasil tampil baik menggabungkan keduanya. Penulisan cerita tentang robotikanya sangat detail, sekaligus bisa hasilkan adegan menyeramkan dari cerita tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H