Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"13 Minutes" dan Pentingnya Manajemen Risiko Bencana

18 Oktober 2022   12:43 Diperbarui: 21 Oktober 2022   13:31 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya selalu percaya kalau bencana alam atau musibah memang sudah menjadi takdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi di sisi lain, Tuhan juga memberikan kita ilmu pengetahuan akan bencana itu sendiri.

Dengan kata lain, segala tetek bengek tentang bencana bisa dipelajari. Termasuk di dalamnya soal manajemen risikonya atau biasa dikenal dengan istilah Disaster Risk Management.

Apa tujuan Disaster Risk Management?

Mungkin kita bertanya-tanya, "Kok bencana dikelola, kan kita nggak punya kuasa atas bencana tersebut?".

Ya betul. Kita memang nggak punya kuasa untuk mencegah terjadinya bencana. Tapi dengan pengelolaan yang baik, penerapan Disaster Risk Management bisa mengurangi risiko kerugian yang terjadi akibat bencana. Serta bisa mempercepat proses recovery/pemulihan pascabencana itu terjadi.

Saya pernah bekerja beberapa tahun di Divisi Manajemen Risiko di salah satu kantor pusat perusahaan nasional. Salah satu tugas saya adalah membuat panduan bagi seluruh pegawai dan direksi kantor ketika terjadi bencana. Dan bagaimana menjaga keberlangsungan bisnis ketika terjadi bencana.

Secara teknis dokumen panduan tersebut disebut Business Continuity Management (BCM) yang merupakan panduan umum. Dan penerapannya bisa dirincikan dalam Business Continuity Plan (BCP) untuk masing-masing kantor cabang (dalam lingkup lebih kecil).

Karena setiap kantor cabang memiliki profil, peta, dan ancaman risiko yang berbeda-beda. Sehingga penanganannya pun boleh jadi berbeda antar setiap kantor cabang. Meski tetap secara garis besar merujuk pada dokumen BCM.

Fokus pada bencana angin puting beliung

Bencana alam sendiri banyak contohnya. Seperti gempa bumi, tsunami, banjir, angin topan/puting beliung, tanah longsor, dan lain-lain.

Khusus tulisan ini, saya akan fokus pada bencana angin topan/puting beliung karena beberapa hari yang lalu saya sempat menonton film impor 13 Minutes.

Dan jujur saja saya sangat geregetan sekali nontonnya. Kenapa? Yuk terus simak kelanjutannya.

Padahal film ini punya karakter yang potensial untuk dikembangkan lebih/pikiranrakyat.com
Padahal film ini punya karakter yang potensial untuk dikembangkan lebih/pikiranrakyat.com
Secara garis besar, 13 Minutes bercerita tentang penduduk kota Heartland yang dihantam badai tornado besar. Dalam substitle-nya, bencana tornado ini diterjemahkan dengan angin puting beliung. Jadi saya akan menggunakan istilah angin puting beliung untuk membahas bencana dalam film ini.

Agar cerita bisa lebih fokus, sutradara Lindsay Gossling memfokuskan cerita pada empat keluarga sebagai perwakilan penduduk kota Heartland.

Keluarga pertama adalah Luke (Will Peltz), seorang pemuda yang tinggal bersama orangtuanya. Mereka memiliki komplek pertanian yang luas dan memperkerjakan banyak orang.

Salah satu yang bekerja di pertanian mereka adalah Carlos (Yancey Arias), seorang imigran gelap yang mencoba mengadu nasib di Heartland bersama kekasihnya. Maka sebutlah Carlos dan kekasihnya ini sebagai keluarga kedua.

Sementara keluarga ketiga diwakili oleh seorang anak tuli bernama Payton (Shaylee Mansfield). Ia lebih banyak diurus oleh pengasuhnya karena kedua orangtuanya sibuk bekerja. Sang ayah bekerja sebagai news presenter, sementara sang ibu bekerja di perusahaan semacam BKMG (kalau di Indonesia).

Nah, pengasuh Payton yang bernama Maddy (Sofia Vassilieva) boleh lah kita bilang sebagai keluarga keempat. Karena ia punya kehidupan sendiri bersama suami orang.

Buruknya pengelolaan risiko bencana

Lebih dari 1 jam pertama, 13 Minutes hanya menggambarkan kehidupan empat keluarga tersebut. Bagaimana aktivitasnya serta konflik apa yang menyertai mereka sebelum terjadi bencana. Sesekali diiringi oleh sound peringatan kalau badai akan segera menghantam kota.

Tapi peringatan itu agak diabaikan oleh beberapa orang, termasuk bapaknya Luke. Dalam dialognya ia mengaku seperti di-prank oleh peringatan tersebut karena dari peringatan yang sudah-sudah, bencana besar angin puting beliung tidak terjadi.

Ada satu hal yang menarik terkait sikap dari bapaknya Luke yakni persoalan risk awareness. Dalam manajemen risiko, pada prinsipnya risiko itu melekat pada setiap individu. Jadi, setiap orang harus perhatian dan aware terhadap ancaman risiko yang bisa saja terjadi padanya.

Contoh kecil saja di kehidupan kita sehari-hari. Sering kita temukan orang-orang tidak menggunakan helm ketika pergi dari rumah menuju minimarket. Alasannya "ah dekat ini". Kalaupun mereka bepergian jauh menggunakan helm, sebagian berpikir hanya untuk memenuhi aturan bukan pada penggunaan helm bisa mengurangi risiko ketika terjadi kecelakaan.

Sikap bapak Luke yang kurang paham risk awareness, turut juga diikuti oleh ibunya Luke.

Saya agak heran, ketika angin puting beliung mulai menghantam kota, orangtua Luke nggak mau memenuhi ajakan anaknya untuk berlindung di rubanah. Sang ibu malah dengan pede-nya berada di lantai atas rumah seakan menantang angin tersebut.

Film memang memberikan alasan kenapa orangtua Luke berlaku demikian. Sesaat sebelum angin menghantam, Luke membuat pengakuan kalau ia seorang gay. Pengakuan ini membuat kedua orangtuanya kecewa.

Tapi apakah hanya karena hal ini, lantas mereka lebih memilih dihantam angin puting beliung daripada berlindung bersama anaknya di rubanah? Terlebih setelah bencana selesai pun, tidak ada rekonsiliasi hubungan di antara mereka.

Korban semua selamat, hehe./tulsaworld.com
Korban semua selamat, hehe./tulsaworld.com

Persoalan lain dari buruknya manejemen risiko di film ini adalah persoalan tempat berlindung.

Luke dan kawan-kawannya yang berlindung di rubanah boleh jadi selamat. Karena posisi rubanah yang berada di bawah tanah memang tidak terkena sapuan angin puting beliung.

Tapi kisah selamat lain yang terasa lebih konyol datang dari karakter kekasih Carlos, seorang pegawai hotel. Saat terjadi bencana, ia mengumpulkan semua tamu dan pegawai hotel ke dalam satu ruangan. Dan setelah bencana selesai, dengan gampangnya mereka keluar dari ruangan tersebut di antara puing-puing bangunan yang runtuh dan meluluhlantakkan seluruh kota.

Bagaimana bisa ruangan tersebut tidak rusak sedikit pun? Toh, dari yang digambarkan film, kita bisa tahu kalau ruangan tersebut bukanlah semacam kapsul tahan gempa. Bahkan di salah satu adegan diperlihatkan untuk mengunci ruangan tersebut saja hanya menggunakan semacam tali rafia.

Dari sisi pemerintah atau lembaga yang berwenang pun nggak kalah lucunya. Dari dialog, penonton bisa tahu kalau bencana angin puting beliung ini bukan kali pertama terjadi. Bahkan pernah terjadi di tahun 1960-an dengan intensitas yang sama besarnya.

Lantas manajemen risiko apa yang sudah dilakukan untuk mencegah kerugian yang lebih besar di bencana yang akan terjadi selanjutnya?

Lewat karakter Payton, setidaknya kita bisa tahu kalau lembaga yang berwenang pernah melakukan edukasi. Film memperlihatkan bagaimana si anak ini mengetahui langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan ketika terjadi bencana angin puting beliung.

Tapi permasalahannya, karena si anak ini tuli ia nggak bisa mendengar suara angin puting beliung. Bahkan dengan santainya ia malah keluar rumah melihat angin yang berputar-putar yang siap menghantam dirinya dalam beberapa detik kemudian.

Artinya, film nggak secara menyeluruh memberikan edukasi mitigasi bencana kepada seluruh penduduk kota.

Hanya adegan ini yang benar dalam penerapan manajemen risiko/instagram.com/@13minutesmovie
Hanya adegan ini yang benar dalam penerapan manajemen risiko/instagram.com/@13minutesmovie
Persoalan lain yang luput adalah tentang risk assessment. Secara sederhana risk asssement bisa diartikan sebagai sebuah metode untuk menilai risiko. Dengan risk assesment yang baik, tujuan dari Disaster Risk Management untuk mengurangi dampak kerugian bisa dimaksimalkan.

Dalam hal ini, 13 Minutes luput menjelaskan seberapa luas wilayah kotanya dan bagaimana peta kota tersebut. Serta bagian mana yang akan menjadi tempat recovery pemulihan bagi para korban. Penonton nggak pernah diberi tahu seberapa jarak dari lokasi satu ke lokasi yang lain. Seketika ketika bencana selesai, terasa semua lokasi berdekatan. 

Secara mendadak, tiba-tiba saja sudah ada tenda pengungsian yang berdiri. Dan seketika penduduk kota berdatangan, bukan lagi tentang empat keluarga itu.

Nggak hanya di sini saja, persoalan lain muncul dari kesiapan tas siaga bencana.

Saya masih heran kenapa penduduk tidak menyiapkan tas siaga bencana sebelum berlindung. Padahal masih ada waktu yang cukup untuk mempersiapkannya sekalipun tas tersebut belum dipersiapkan sebelumnya.

Tas siaga bencana sendiri sangat membantu mempercepat pemulihan setelah bencana. Sesederhana dengan adanya P3K (peralatan medis) di tas siaga bencana, penduduk bisa mengobati sendiri jika terdapat luka kecil. Bakal meringankan kinerja di pengungsian bukan?

Bencana angin puting beliung di film ini sebetulnya sudah bisa diprediksikan, tapi kenapa semua pihak seakan-akan pasrah dan nggak ada usaha untuk menimimalkan kerugian yang timbul. Apa sebetulnya yang hendak disampaikan oleh 13 Minutes?

Apalagi di akhir film, ada penjelasan kalau film yang naskahnya ditulis oleh sang sutradara bersama Travis Farncombe ini dipersembahkan untuk mereka yang mengalami cuaca ekstrem.

Bagaimana bisa 13 Minutes disebut sebagai persembahan terhadap korban bencana jika cerita filmnya pun sangat minim riset akan manajemen risiko bencana?

Sebagai film yang mengusung tema bencana, 13 Minutes adalah contoh gagal dalam penerapan manajemen risiko bencana. Padahal sebelum ini sudah banyak film serupa yang berbicara hal yang sama. 

Masa iya, nggak bisa mencontoh film-film lain yang sudah ada sebelumnya yang memang betul-betul memerhatikan risk management. Huft!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun