Saya selalu percaya kalau bencana alam atau musibah memang sudah menjadi takdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi di sisi lain, Tuhan juga memberikan kita ilmu pengetahuan akan bencana itu sendiri.
Dengan kata lain, segala tetek bengek tentang bencana bisa dipelajari. Termasuk di dalamnya soal manajemen risikonya atau biasa dikenal dengan istilah Disaster Risk Management.
Apa tujuan Disaster Risk Management?
Mungkin kita bertanya-tanya, "Kok bencana dikelola, kan kita nggak punya kuasa atas bencana tersebut?".
Ya betul. Kita memang nggak punya kuasa untuk mencegah terjadinya bencana. Tapi dengan pengelolaan yang baik, penerapan Disaster Risk Management bisa mengurangi risiko kerugian yang terjadi akibat bencana. Serta bisa mempercepat proses recovery/pemulihan pascabencana itu terjadi.
Saya pernah bekerja beberapa tahun di Divisi Manajemen Risiko di salah satu kantor pusat perusahaan nasional. Salah satu tugas saya adalah membuat panduan bagi seluruh pegawai dan direksi kantor ketika terjadi bencana. Dan bagaimana menjaga keberlangsungan bisnis ketika terjadi bencana.
Secara teknis dokumen panduan tersebut disebut Business Continuity Management (BCM) yang merupakan panduan umum. Dan penerapannya bisa dirincikan dalam Business Continuity Plan (BCP) untuk masing-masing kantor cabang (dalam lingkup lebih kecil).
Karena setiap kantor cabang memiliki profil, peta, dan ancaman risiko yang berbeda-beda. Sehingga penanganannya pun boleh jadi berbeda antar setiap kantor cabang. Meski tetap secara garis besar merujuk pada dokumen BCM.
Fokus pada bencana angin puting beliung
Bencana alam sendiri banyak contohnya. Seperti gempa bumi, tsunami, banjir, angin topan/puting beliung, tanah longsor, dan lain-lain.
Khusus tulisan ini, saya akan fokus pada bencana angin topan/puting beliung karena beberapa hari yang lalu saya sempat menonton film impor 13 Minutes.
Dan jujur saja saya sangat geregetan sekali nontonnya. Kenapa? Yuk terus simak kelanjutannya.