Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Jailangkung: Sandekala", Lebih Seru dari Seri Sebelumnya, tapi Lemah di Penceritaan

25 September 2022   09:51 Diperbarui: 26 September 2022   22:17 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jailangkung jailangkung"
"Didieu aya hajatan"
"Hajatan leleutikan"
"Sumping teu diondang"
"Uih teu dianteur"

Serangkaian kalimat di atas adalah mantra untuk memanggil arwah melalui media boneka jailangkung. Yang dalam seri ketiga Jailangkung modern ini ditranslasikan ke dalam bahasa Sunda.

Bertajuk Jailangkung Sandekala, film arahan Kimo Stamboel ini memang tidak secara langsung melanjutkan perjalanan Jailangkung (2017) dan Jailangkung 2 (2018). Tapi film ini masih memiliki koneksi ke kedua film tersebut dengan hadirnya karakter Rama yang diperankan oleh Jefri Nichol.

Bermula dari road trip family

Formula Jailangkung Sandekala hampir tidak jauh berbeda dengan film-film horor kebanyakan yang mengandalkan format bepergian ke suatu tempat lalu mengalami hal -- hal yang aneh. 

Tapi unggulnya, Jailangkung Sandekala punya tujuan yang jelas kenapa mereka bepergian ke suatu tempat. Alias nggak sekadar gaya-gayaan buat nyari hantu semata sebagaimana film-film horor yang diperankan oleh sekelompok anak muda.

Alkisah, seorang ayah bernama Adrian (Dwi Sasono) merencanakan perjalanan dengan tujuan untuk mendamaikan anaknya Niki (Syifa Hadju) dan mama barunya, Sandra (Titi Kamal).

Dari percakapan yang dihadirkan, kita bisa tahu kalau Niki dan Sandra sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Ternyata, walau sudah 10 tahun berjalan, Niki belum bisa menerima keberadaan Sandra sebagai mama barunya.

Selain mereka, kita juga perlu berkenalan dengan adik laki-laki Niki bernama Kinan (Muzakki Ramdan), karena semua kisah akan bermula dari anak ini.

Suatu ketika di dalam perjalanan, mobil yang mereka kendarai mogok di daerah sekitar danau yang jauh dari hingar bingar penduduk. Melihat view alam danau yang indah, Kinan tertarik untuk mengabadikan segala apa yang dilihatnya.

Selayaknya anak kecil yang sulit dikasih tahu untuk tidak main terlalu jauh, Kinan terus menerus berjalan menyusuri danau hingga akhirnya masuk hutan. Saking jauhnya, ia nggak tahu jalan pulang.

Waktu sudah hampir magrib/sore. Dan Kinan pun diculik!

Cerita Jailangkung Sandekala memang bergerak dari peristiwa Kinan diculik. Penonton pun sudah diberitahu kalau yang menculik Kinan bukanlah penjahat tapi 'makhluk'.

Usaha mencari Kinan yang repetitif

Tolong ya nggak usah coba-coba memanggil jailangkung/Sky Media
Tolong ya nggak usah coba-coba memanggil jailangkung/Sky Media
Bagi yang tidak/kurang mengetahui mitos tentang sandekala yakni hantu yang seringkali menculik anak-anak selepas sore, mungkin akan sedikit sulit mencerna maksud dari mitos ini. Karena film tidak banyak menggambarkannya.

Yang saya tangkap, film hanya sekali saja menggambarkannya. Yakni sesaat setelah Kinan diculik, film menunjukkan gambaran penduduk yang memasukkan anak-anaknya ke rumah pada sore hari.

Gambaran ini diposisikan dari sudut pandang mobil yang sedang berjalan. Dari dalam mobil, penonton diperlihatkan pada keadaan rumah penduduk satu per satu seiring laju mobil.

Gambaran yang singkat tentang mitos ini, tidak membuat Jailangkung Sandekala cukup untuk memahamkan bagaimana mitos ini berkembang di masyarakat. Dengan latar Sunda pun, film tidak mampu menggambarkan bagaimana mitos ini begitu dipercayai di masyarakat Sunda.

Kalaulah ingin mendalami mitos - mitos lokal, Jailangkung Sandekala bisa belajar pada Lampor Keranda Terbang (2019) yang saya kira cukup berhasil menjadikan hantu lampor menjadi bagian tak terpisahkan dari 'kearifan lokal' warga Temanggung.

Dari premis mitos yang tidak terkoneksi dengan latar lokalnya, akibatnya film hanya berkutat pada proses pencarian Kinan yang disertai dengan keputusan-keputusan para karakternya yang kurang masuk akal.

Begini! Naskah gubahan Kimo yang dibantu oleh Rinaldy Puspoyo ini membagi pencarian Kinan menjadi tiga kelompok. 

Kelompok pertama adalah pencarian yang dilakukan oleh ayahnya dengan bantuan polisi. Tentunya cara kerja kelompok pertama ini mengikuti prosedur polisi. Sehingga dalam cara kerja seperti ini, dibutuhkan karakter manusia lain yang menjadi kambing hitam, alias yang dituduh sebagai penculik. Mereka 'nggak boleh' percaya makhluk 'kan?

Kelompok kedua adalah pencarian oleh sang ibu. Walau dengan ekspresi Titi Kamal yang datar-datar saja, pencarian di kelompok ini lebih mengandalkan naluri atau intuisi sang ibu yang kehilangan anaknya. 

Sementara kelompok ketiga adalah pencarian oleh Niki yang dibantu cowok lokal. Pencarian mereka lebih ke arah investigasi yang didukung oleh fakta dan data yang mereka temukan.

Perbedaan metode dalam pencarian Kinan ini sesungguhnya berpotensi menjadi hal menarik apabila dikupas lebih dalam. Sayangnya, masing-masing cara ini pun semuanya 'kering' dan nyaris tidak ada pembeda antara satu cara dengan cara lainnya. Juga tidak saling terkoneksi alias berjalan sendiri-sendiri.

Sehingga menjadi wajar, kalau sebagian besar film ini hanya akan diisi oleh teriakan para karakter yang memanggil: "Kinan ... Kinan.... Kinan...".

Saya melihat pola pencarian yang repetitif ini hanya sebatas pembagian screen time antara Titi Kamal, Dwi Sasono, dan Syifa Hadju saja. Mengingat mereka bertiga memang termasuk bintang besar. Kasarnya, yang penting mereka muncul di layar, tak peduli bagaimana Jailangkung Sandekala memancing empati penonton untuk peduli pada kondisi yang mereka alami.

Babak akhir yang seru abis

Pemisahan dua alam yang dibuat sesungguhnya menarik jika dikupas lebih/Sky Media
Pemisahan dua alam yang dibuat sesungguhnya menarik jika dikupas lebih/Sky Media
Di tengah pola pencarian yang repetitif dan cenderung membosankan, beruntung Jailangkung Sandekala bisa mengakhirinya dengan serangkaian adegan yang seru abis.

Sumpah yang tadinya penonton diam-diam saja, bahkan banyak yang mengalihkan perhatiannya dari layar, di babak akhir tiba-tiba bisa jerit-jeritan bareng.

Di babak ini, Kimo seakan sudah nggak tahan untuk 'unjuk gigi' memperlihatkan kemampuannya dalam hal mengolah adegan menegangkan nan brutal.

Dalam kemasan tempo yang sangat cepat, kita bisa merasakan dengan betul bagaimana para karakter utama ketakutan dan berusaha menyelematkan diri dari si dalang teror.

Dan para aktor yang tadinya hambar, bisa menampilkan akting terbaiknya di bagian ini. Bagaimana mereka cemas, takut, gelisah, panik, semua tergambar baik dalam adegan 10 menit terakhir film ini.

Satu hal lagi yang paling saya suka adalah persoalan 'portal jalan' yang ternyata menjadi bagian penting dari film ini. Jadi simak baik-baik portal jalan yang dimunculkan di awal film, menjadi 'juru selamat' para karakter keluar dari teror.

Akhir kata, walau penceritaan cenderung repetitif dan banyak potensi yang disia-siakan (termasuk drama keluarga yang menjadi fondasi film), tapi jika dibandingkan dengan dua seri pendahulunya, Jailangkung Sandekala tampil lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun