film? Apa karena ada artis favoritmu di film tersebut? Atau ceritanya yang menarik? Atau... karena track record sutradaranya?
Apa sih alasan kamu menonton suatuYa, bagi sebagian orang, sutradara merupakan faktor penting sekaligus alasan kenapa mereka menonton suatu film. Sutradara mumpuni bahkan bisa jadi jaminan mutu dari suatu film.
Tapi pernahkah kamu terjebak menonton film yang dibuat sutradara terkenal, ternyata filmnya malah bikin kamu geleng-geleng kepala nggak keruan. Kalau saya sih pernah, tepatnya pas saya nonton 4 film yang diarahkan sutradara berikut ini.
1. Aditya Gumay
Siapa yang nggak kenal dengan Aditya Gumay. Ia adalah sutradara Indonesia yang dikenal lewat acara Lenong Bocah yang tayang di TPI (sekarang MNCTV) pada dekade 90-an. Selain itu ia juga berhasil mendirikan sanggar akting yang diberi nama Sanggar Ananda. Di sanggar itu banyak aktor-aktor handal lahir.
Aditya Gumay memulai bikin film panjang lewat Tina Toon & Lenong Bocah the Movie pada 2004. Namun, namanya mulai berkibar di jagad perbioskopan lewat Emak Ingin Naik Haji (2009). Filmnya itu berhasil memenangkan penghargaan Film Terpuji Festival Film Bandung 2010 sekaligus mengantarkan Gumay meraih anugrah Sutradara Terpuji. Tahun-tahun setelahnya, Gumay rutin membuat film yang layak tonton seperti Rumah Tanpa Jendela (2011) dan Ummi Aminah (2012).
Tapi siapa sangka, Aditya Gumay pernah bikin saya hampir stres gara-gara nonton satu film karyanya. Apakah itu? Tiada lain dan tiada bukan, film tersebut adalah Taman Lawang (2013) yang dibintangi almarhum Olga Syahputra, salah satu anak didiknya yang paling berbakat.
Saat saya menonton film tersebut, rasa kaget bercampur sedih menggelayuti hati saya. "Master Aditya Gumay ternyata bisa membuat film sekonyol ini?" kata saya dalam hati.
2. Ifa Isfansyah
Mungkin kamu bertanya-tanya mengapa peraih Piala Citra Sutradara Terbaik FFI 2011 ada di daftar ini. Mengingat film-filmnya justru banyak menuai pujian dan apresiasi dari berbagai penghargaan di dalam dan luar negeri. Sebut saja Garuda di Dadaku (2009), Sang Penari (2011), Ambilkan Bulan (2011), 9 Summers 10 Autumns (2013) hingga Pendekar Tongkat Emas (2015).
Tapi sebagaimana istilah tiada gading yang tak retak, suami dari Kamila Andini ini pernah membuat film yang bikin saya hampir melempar popcorn ke layar bioskop.
Kalau tak percaya coba ingat-ingat lagi betapa kesalnya kamu ketika nonton Pesantren Impian (2016), karya thriller yang diadaptasi dari novel Asma Nadia tersebut. Sudah ingat? Apa rasanya? Kalau kamu merasa kesal, maka kamu perlu tahu, Ifa Isfansyah-lah sang pembuat film tersebut.
Namun demikian, selepas Pesantren Impian yang diproduksi MD Pictures, Ifa masih aktif membuat karya keren lainnya semisal Hoax dan Koki-Koki Cilik (2018).
3. Guntur Soeharjanto
Memulai karier layar lebar lewat Otomatis Romantis pada 2008, nama Guntur memang belum terlalu dikenal publik. Barulah setelah ia membesut 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Guntur mulai dilirik banyak produser. Kesuksesan 99 Cahaya di Langit Eropa produksi Maxima Pictures membawa Guntur pada film-film romance religi. Assalamualaikum Beijing, Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea, dan Cinta Laki-Laki Biasa adalah contohnya.
Predikat sutradara spesialis film religi lantas melekat pada nama Guntur. Maka tak heran, sekuel Ayat-ayat Cinta yang semula digarap Hanung Bramantyo diserahkan padanya. Yang menarik, ia justru terpeleset di film tersebut. Ayat-ayat Cinta 2 (2017) telah membawa kariernya terjun bebas, sekaligus bikin saya pusing seribu keliling.
Bagaimana tidak, sosok Fahri yang digambarkan tanpa cela hingga adegan akhir operasi tukar wajah tentu bakal membekas di ingatan para penontonnya.
4. Hanung Bramantyo
Nama Hanung bisa jadi salah satu jaminan mutu bagi sebuah film. Semenjak debut perdananya lewat Brownies (2004), Hanung langsung melesat sebagai sutradara muda dan berbakat. Karya-karya terbaiknya selalu muncul tiap tahun. Ada Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, Lentera Merah, Kamulah Satu-satunya, Get Married, Ayat-ayat Cinta, Doa Yang Mengancam, Perempuan Berkalung Sorban, Sang Pencerah, dan masih banyak lagi judul lainnya yang pernah dihasilkan Hanung.
Di Festival Film Indonesia sendiri, tercatat Hanung sudah dua kali membawa pulang Piala Citra Sutradara Terbaik, yakni pada 2005 (Brownies) dan 2007 (Get Married). Sementara di Festival Film Bandung, Hanung sudah membawa pulang Piala Sutradara Terpuji sebanyak lima kali: pada 2008 (Ayat-Ayat Cinta), 2011 (Sang Pencerah), 2014 (Soekarno: Indonesia Merdeka), 2018 (The Gift), dan 2020 (Bumi Manusia).
Melihat filmografinya, maka ketika publik diminta menyebutkan satu judul film terbaik Hanung, jawabannya akan beragam. Namun akan berbanding terbalik jika ditanya sebaliknya: film apa yang paling mengecewakan yang pernah dibuat Hanung? Jawaban akan mengerucut pada satu judul film: Benyamin Biang Kerok!
Ya, Benyamin Biang Kerok yang diproduksi Falcon Pictures akan selalu kita ingat sebagai film terburuk yang pernah dibuat oleh sutradara sekaliber Hanung. Keputusannya memotong film di tengah-tengah sekuens yang sedang berjalan adalah sejarah yang sulit dilupakan dalam industri perfilman nasional.
Itulah empat sutradara Indonesia yang pernah terperosok pada karya yang mengecewakan setelah sebelumnya sering membuat karya yang menuai penghargaan. Jika ada daftar lain, sila saja kamu tambahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H