Mungkin kita sering mendengar kata toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Sejak zaman dulu di sekolah dasar, hingga di media sosial saat ini, kata toleransi ini termasuk salah satu kata yang paling populer. Kenapa bisa populer?
Toleransi ini sederhananya bisa diartikan menghargai perbedaan. Dan kita hidup dalam banyak perbedaan di dunia ini. Entah itu perbedaan suku, warna kulit, ras, agama, dan lain-lain. Bahkan contoh perbedaan yang saya sebutkan sebelumnya, memang merupakan anugerah dari Tuhan.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Artinya sebuah perbedaan itu Tuhan ciptakan agar manusia justru saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bercerai berai. Maka di sinilah pentingnya peranan toleransi untuk menyeimbangkan tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat.
Toleransi beragama
Saling menghargai perbedaan, pada prinsipnya berlaku terhadap semua hal yang berbeda. Sesederhana persoalan cara menikmati bubur saja antar dua makhluk bisa berbeda. Ada yang diaduk ada yang tidak. Kamu tim yang mana nih?
Namun jikalau berbicara toleransi, kata ini erat kaitannya dengan kehidupan beragama. Dalam kehidupan beragama, setidaknya kita mengenal dua jenis toleransi yakni toleransi antar umat seagama dan toleransi antar umat beragama.
Pengertian toleransi antar umat seagama adalah saling menghargai pendapat/keyakinan yang berbeda dalam satu agama. Misalnya dalam Islam ada perbedaan mengenai pelaksanaan doa Qunut di waktu salat Subuh. Ada yang membaca doa tersebut setelah bangun dari ruku' di rakaat kedua, ada pula yang tidak membacanya.
Nah, persoalan 'qunut' atau 'tidak qunut' ini adalah salah satu contoh hal yang perlu kita toleransi alias tidak perlu diperdebatkan. Perbedaan-perbedaan semacam ini masih banyak dalam Islam, terutama terkait masalah fiqih (tata cara ibadah).
Sementara toleransi antar umat beragama, adalah saling menghargai keyakinan antar umat beragama yang ada di Indonesia. Dilansir dari laman indonesia.go.id, ada enam agama yang diakui di Indonesia yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Setiap agama memiliki keyakinan masing-masing. Maka, toleransi antar umat beragama menjadi penting salah satunya dengan tidak memaksakan kehendak kepada agama lain dan turut serta menghormati tata cara peribadatannya.
Namun, penting untuk dicatat, toleransi antar umat beragama ini bukan berarti saling melebur akidah/keyakinan karena keyakinan itu bersifat prinsipil. Tapi toleransi antar umat beragama ini lebih kepada hal muamalah atau hubungan sesama manusia.
Beberapa di antara kita mengolok-olok saudaranya sendiri hanya karena berbeda pandangan.
Jika kau yakin tidak haram, ucapkanlah! Tapi jangan menganggap yang berbeda menjadi intoleran.
Percayalah, toleransi itu menghargai bukan campur aduk akidah.--- IG: RAJALUBIS_ (@rajalubis_) December 25, 2019
Saya akan berikan beberapa contoh yang saya alami ketika berhubungan dan berkegiatan dengan teman yang berbeda agama. Namun sebelum itu, saya akan mengajak teman-teman memaknai lebih dalam toleransi antar umat beragama lewat film Tanda Tanya (?) karya Hanung Bramantyo yang rilis pada 2011.
Hakikat toleransi di film Tanda Tanya
Film ini sempat menuai kontroversi dari berbagai kalangan karena dianggap menyebarkan paham toleransi yang sesat menurut mereka. Bahkan, ketika film ini akan ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, kantor stasiun televisi itu didemo dan diancam akan dibakar.
Lupakan dulu kontroversinya, kita kenalan dengan para karakter yang ada di film ini.
Ada banyak karakter yang bisa banget dibahas dari film ini karena setiap karakter punya pendalaman dan hubungan dengan karakter lain yang sangat erat. Apalagi karakter dan peristiwa yang digambarkan dalam Tanda Tanya berasal dari kisah dan kehidupan nyata.
Namun, saya akan highlight beberapa karakter saja. Yang pertama adalah Menuk (diperankan Revalina S. Temat), seorang perempuan muslim yang taat yang 'terpaksa' bekerja di sebuah restoran Cina yang menjual makanan non halal. Hal ini ia lakukan karena suaminya Soleh (Reza Rahadian) tidak memiliki pekerjaan yang layak.
Meski berada di lingkungan keluarga Cina, Menuk mendapat perlakuan yang baik. Tan Kat Sun (Hengky Solaeman), pemilik restoran Cina tersebut memperbolehkan Menuk untuk melakukan salat di sela-sela pekerjaannya.
Kisah kedua adalah tentang Rika (Endhita), seorang janda beranak satu yang ditinggal suaminya menikah lagi. Ia pun memutuskan untuk pindah agama. Keputusannya mendapat pertentangan dari keluarga besarnya, termasuk anak laki-laki kecilnya, Abi. Sebagai bentuk protes terhadap keputusan ibunya, Abi jadi mendiamkan ibunya.
Melihat sikap Abi, sebagai seorang ibu tentu tidak tahan 'didiamkan' oleh anaknya sendiri. Apalagi, hanya dia yang ada bersamanya saat ini. Masalah ini, diselesaikan dengan brilian oleh Hanung Bramantyo dari sudut pandang Abi yang seorang anak kecil.
Abi yang sedari kecil sering mendapat pengajaran Islam mengingat satu hal. Bahwasanya dalam Islam, kita tidak boleh marah terhadap orang lain lebih dari tiga hari. Maka, Abi dan ibunya berdamai.
Kisah ketiga adalah tentang Surya (Agus Kuncoro), seorang aktor yang hanya kebagian peran-peran kecil saja. Ia pun sama lelahnya dengan Dom di Jakarta vs Everybody, yang sulit mendapat peran utama.
Namun pertemuannya dengan Rika, membuat Surya mendapat kesempatan untuk menjadi pemeran utama di sebuah pertunjukan. Sayangnya, peran yang ia dapat justru bertabrakan dengan keyakinannya saat ini. Surya pun bimbang.
Karakter-karakter yang ada di film Tanda Tanya adalah potret 'biasa' yang mungkin ada di sekitar kita. Maka film ini sejatinya bukanlah jawaban atas pertanyaan 'agama apa yang paling benar?'. Tapi sesuai judulnya, film ini pun adalah sebuah pertanyaan, apa sesungguhnya hakikat toleransi itu.
Baca Juga: Ketika Sineas Bicara Keberagaman Indonesia
Toleransi antar umat beragama di sekitar saya
Ayah saya berasal dari Batak Mandailing Natal, bermarga Lubis. Oleh karena itu, ada marga 'Lubis' di belakang nama saya karena diturunkan dari ayah saya. Setiap bulan orang-orang Batak di perantauan itu mengadakan perkumpulan. Saya agak-agak lupa nama perkumpulannya apa karena menggunakan bahasa Batak. Intinya ya semacam arisan lah ya.
Yang menjadi tuan rumah pertemuan tersebut dipilih secara bergiliran. Tiba saatnya yang menjadi tuan rumah adalah teman ayah yang berbeda agama. Di rumahnya sudah disuguhkan berbagai macam masakan baik yang halal ataupun yang tidak bisa dimakan oleh muslim.
Nah, tuan rumah dengan bijak sudah memisahkan masakan tersebut sehingga tamu muslim yang hadir, bisa menikmati masakan yang halal. Dan tuan rumah pun menjelaskan, kalau ia hanya memasak masakan non halal, sementara yang halal dibeli dari resto luar.
Informasi sederhana ini, menurut saya adalah salah satu bentuk toleransi antar umat beragama yang dilakukan tuan rumah kepada tamunya yang berbeda keyakinan. Ini adalah pelajaran pertama tentang toleransi yang saya dapat saat saya kecil dan membekas sampai saat ini.
---
Kisah lain bergulir ketika saya dewasa. Sebagai orang yang senang berkomunitas terutama komunitas film, saya banyak bergaul dengan teman-teman sehobi. Dari teman sehobi, tentunya ada yang berbeda agamanya dengan saya. Sebut saja salah satunya adalah Bang A.
Bentuk toleransi sederhana yang kami lakukan adalah tentang pengaturan jadwal nonton bareng. Bang A ini penyuka film impor. Sebagaimana kita tahu, film impor itu tayang perdana di bioskop Indonesia biasanya pada Rabu dan Jumat. Kami adalah penganut aliran kalau menonton film harus hari pertama dan show pertama.
Nah, sebagai bentuk toleransi Bang A, ia rela menonton pada show kedua di hari Jumat, agar kami sama-sama bisa menonton. Ya, karena kalau show pertama itu bentrok dengan Jumatan. Begitu pun juga kalau saya mengadakan nobar tidak pernah di hari Minggu, karena A sedang ibadah. Karena saya ingin A tetap ikut nobar tanpa mengganggu ibadahnya.
Mungkin cerita saya tentang toleransi antar umat beragama tidak terlalu banyak. Dua contoh kecil di atas saya rasa cukup untuk menggambarkan bahwa prinsip dasar toleransi beragama adalah saling menghargai perbedaan keyakinan masing-masing.
Kalau teman-teman punya cerita toleransi di lingkungan sekitar teman-teman, jangan sungkan untuk berbagi di komentar ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H