Hal ini membuat tim kami berseloroh, 'Oh, mungkin kalau di televisi lokal, honornya kecil, dan nggak akan bisa populer'. Dan sekarang ustad ini memang dikenal dan populer sebagai ustad muda gaul nan kekinian, meski beberapa kali tersandung kontroversi karena sering kepleset lidah dalam ceramahnya.
Udah, udah! Jangan nebak-nebak siapa ustadnya!
Saya kembali diingatkan akan pengalaman kecil ini, ketika menonton film 99 Nama Cinta (2019). Diceritakan Thalia (diperankan Acha Septriasa), presenter gosip dengan rating program yang sukses, dipindahkan ke program dakwah subuh yang ratingnya kecil. Diharapkan, dengan dipindahkannya Thalia bisa menaikkan rating program subuh tersebut.
Caranya? Persis dengan apa yang pernah saya lakukan. Poin utamanya adalah menciptakan persona sang ustad yang unik. Demi rating inilah, terkesan persona ustad lebih penting daripada kelilmuannya.
Dan inilah yang terjadi di televisi kita. Kita sebagai penonton lebih disuguhkan karakteristik ustad televisi yang berbeda-beda. Setiap televisi punya ustad andalan masing-masing. Tak jarang jika kontrak mereka habis, bisa pindah ke stasiun televisi lain.
Akibatnya apa? Di tataran jamaah akar rumput, kita jadi lebih senang membicarakan persona pendakwah daripada apa yang mereka sampaikan. Mungkin teman-teman pernah mendengar percakapan ini, atau malah kita sendiri terlibat di dalamnya.
"Ah, aku nggak suka ustad itu, terlalu gemulai. Ustad kok gitu sih"
"Tapi lucu tau, apalagi pas ustad itu mainin sorban, sambil cosplay jadi karakter-karakter ikonik"
"Aku sih lebih suka mamah 'heu heu heu heu' ya, dia mah to the point, blak-blakan"
"Hm.., tapi si mamah mah suka motong pertanyaan jamaah, kan bisa saja kesinggung jamaahnya"
"Mending yang ganteng-ganteng sih, atletis, adem saja lihatnya"