Di awal film disebutkan kalau Tjoet Nja’ tidak ingin Umar membawa dirinya hidup berdampingan dengan para penjajah. Sementara apa yang dilakukan Pang Laot justru malah membuat keinginan Tjoet Nja’ jauh dari harapan. Maka sangat wajar jika Tjoet Nja’ merasa begitu kecewa dan terluka oleh sikap Pang Laot. Dan memberikannya cap pengkhianat.
Dalam usaha memberikan impresi seperti ini, Eros Djarot yang juga bertindak sebagai sutradara memiliki sensitivitas terhadap seni dan sejarah yang sama besarnya. Film Tjoet Nja’ Dhien dikerjakan dengan sangat baik dalam hal teknis, di sisi yang lain ia juga melakukan penghormatan terhadap sejarah.
Perlu diketahui, sebagian besar latar film ini berada di alam terbuka seperti hutan, gunung, dan perbukitan. Tentu tak mudah membuat film dengan medan seperti itu. Apalagi dibuat pada tahun 80-an ketika teknologi belum secanggih saat ini. Bahkan sebagian film sejarah/biopik masa kini dibuat dengan set buatan manusia. Tapi hal ini justru menjadi pembeda karena Tjoet Nja' Dhien sangat terasa real sekali. Kita yang menonton akan dengan sangat mudah terkoneksi emosinya dengan apa yang terjadi di layar.
Sensitivitas Eros Djarot terhadap seni juga ditunjukan di bagian akhir film ini. Hutan dan perbukitan yang sebelumnya cerah dan hanya gelap saat malam, tiba-tiba turun hujan. Hujan ini membuat kita betul-betul merasakan bagaimana emosi puncak dari perjuangan Tjoet Nja’. Bolehlah saya sebut kalau Eros piawai melakukan pembabakan adegan secara dramatik tanpa harus didramatisir.
Selain sensitivitas seni yang begitu estetik, Eros juga punya sensitivitas yang tinggi terhadap sejarah. Tjoet Nja’ Dhien tidaklah melakukan glorifikasi terhadap tokoh Tjoet Nja’ secara berlebihan, pun tidak menjadikan Belanda sebagai antagonis yang buruk.
Film yang meraih 8 piala citra FFI 1988 (termasuk Film Terbaik) ini, berkali-kali menegaskan kalau pasukan Belanda yang menyerangnya hanyalah perwira yang hanya taat pada pimpinannya. Di satu adegan Tjoet Nja' justru membiarkan pergi perwira muda yang hendak menangkapnya.Â
Pihak Tjoet Nja’ sangat gigih memperjuangkan haknya, di sisi lain perwira Belanda pun hanya melaksanakan perintah pimpinannya. Dua hal yang mungkin sulit menemukan titik temu jika diselesaikan oleh perundingan/kompromi. Karena kedua pihak sama-sama melakukan apa yang menurut mereka benar. Dan di bagian akhir film ini, kedua hal ini bisa bertemu.
Tapi ketika keduanya bertemu, kita akan merasa begitu tersentuh karena film ini begitu menghormati sejarah. Ada rasa hormat setinggi-tingginya akan makna perjuangan dan ketaatan di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H