Bhinneka Tunggal Ika -- Berbeda-beda tetapi satu jua.
   Coba tunjuk negara mana yang Tuhan ciptakan dengan aneka ragam suku, budaya dan ras? Saya yakin Indonesia akan masuk dalam list jawaban pertanyaan tersebut. Membentang luas dari Sabang hingga Merauke dengan belasan ribu pulau di dalamnya. Jika kita bisa singgah di satu pulau setiap harinya maka dibutuhkan waktu 17.508 hari (kurang lebih 48 tahun) untuk mengelilingi Indonesia. Sanggupkah kita berkeliling selama itu dan menyelami segala apa yang kita temui? Saya ragu saya bisa melakukannya.
   Sebagai alternatif, kita bisa mengenal Indonesia dan coraknya dalam sebuah film. Mempelajari dan memahami hal lain dan baru adalah salah satu alasan saya mengapa tertarik untuk menonton sebuah film. Sebelum berpanjang lebar, saya ucapkan terimakasih kepada seluruh sineas dan tim produksi yang konsisten menyajikan "Indonesia" dalam film Indonesia, karena memang sejatinya Film Indonesia harusnya berbicara tentang "Indonesia" dan segala unsur sosial budaya di dalamnya.
Lalu keberagaman apa saja yang sineas Indonesia tawarkan dalam karyanya?
   Pesona alam Indonesia tak usah diragukan lagi. Laut, gunung, bukit, hutan, pantai adalah Mahakarya Tuhan yang tak terbantahkan indahnya. Rizal Mantovani pernah mengajak kita berpetualang mendaki Gunung Semeru dalam 5 CM (2012). Betapa luar biasanya efek film ini yang membuat Semeru seketika banyak dikunjungi. Terlebih 5 CM bukanlah sekedar pendakian biasa, perjalanan para tokohnya adalah proses pencarian jati diri sebagai manusia seutuhnya. Menjadi wajar jika 5 CM berhasil meraih piala Film Terpuji Festival Film Bandung 2013.
   5 CM adalah salah satu contoh bagaimana sineas memotret keberagaman wisata alam yang dimiliki Indonesia. Sebelum 5 CM, ada Denias Senandung di atas Awan (2006) yang menggambarkan pegunungan Wamena dan rumah-rumah unik di sekitarnya, Heart (2006) yang membuat saya ingin berlari-lari kecil di antara kebun teh dan Kawah Putih Bandung, atau yang tak kalah fenomenalnya adalah Pulau Belitung yang menjadi lebih menarik paska suksesnya Laskar Pelangi (2008). Film-film lain seperti Pendekar Tongkat Emas, Salawaku dan The Mirror Never Lies tak kalah eloknya dalam menampilkan kekayaan alam Indonesia.
   Dari keberagaman tempat di Indonesia itulah secara tidak langsung muncul juga keragaman budaya karena di setiap tempat berbeda budaya dan pola perilakunya. Beberapa film bahkan memotret secara utuh pengalaman perjalanan dengan frame sosiokultural setempat yang biasa dikenal dengan istilah road movie. 3 Hari untuk Selamanya (2007) dan Rayya Cahaya di Atas Cahaya (2012) adalah salah dua yang terbaik dari genre road movie. Â
   Keragaman sosiokultural di Indonesia semakin banyak ditemukan tatkala semakin berkembangnya sineas -- sineas lokal atau pun yang membuat film penuh dengan lokalitas, sineas Makassar misalnya. Film Uang Panai' = Maha(r)l (2016) ditengarai menjadi pembuka jalan bagi sineas Makassar untuk tembus industri setelah filmnya ditonton lebih dari 500.000 penonton. Meski sebelum ini sudah ada film Bombe (2014) dan Sumiati (2015), Uang Panai bisa dibilang menginspirasi lahirnya film -- film lain seperti Suhu Beku, Parakang: Manusia Jadi-jadian, Gunung Bawakaraeng dan Silariang: Menggapai Keabadian Cinta yang semuanya tayang pada tahun 2017.
   Kesuksesan Uang Panai di industri film nasional salah satunya karena film tersebut berani memotret sekaligus mengkritisi adat tentang Uang Panai yakni sejumlah uang yang harus dibayarkan calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan. Ketidaksanggupan pihak laki-laki dalam membayar menjadi salah satu penyebab fenomena Silariang (kawin lari). Dalam film ini, fenomena ini dibenturkan dengan ungkapan dalam Islam yang kurang lebih berbunyi "Sebaik-baiknya perempuan adalah yang paling ringan maharnya". Keberanian inilah lantas membuat Uang Panai masuk nomine Penulis Skenario Terpuji Festival Film Bandung 2017.
   Terbaru saya diajak menyelami budaya Bali dalam Sekala Niskala (2018) karya Kamila Andini. Premis yang sederhana mengenai fenomena bayi kembar buncing (laki-laki dan perempuan) justru membawa saya pada pengalaman kultural yang menarik. Simbol-simbol seperti pura, kera, bulan yang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Bali bisa dinikmati oleh masyarakat luar Bali.
   Bergeser dari Bali sedikit, saya akan menyebrang ke Pulau Jawa tepatnya Jawa Timur lebih tepatnya lagi kota Malang. Belajar bahasa Jawa dengan latar Malang saya dapatkan dari film YoWis Ben (2018). Tidak melulu harus bicara arthouse, pengenalan keragaman juga bisa dituturkan dalam film bernuansa pop. YoWis Ben tidak akan nyaris satu juta penonton andaikata tidak menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya.
   Berbeda tempat, berbeda budaya berbeda pula bahasanya. Setidaknya itulah gambaran fisik dari 3 film yang saya contohkan di atas. Yang tak kalah menarik dan selalu menjadi isu yang komersil di Indonesia adalah keragaman agama dan keyakinan.
   Menengok kasus "puisi" yang sedang ramai diperbincangkan, beberapa pihak menganggap puisi tersebut telah menodai agama Islam karena membandingkan cadar dengan konde & adzan dengan kidung. Mengapa puisi ini bisa begitu menjadi viral?
   Kuncinya ada pada satu kata, Toleransi. Memiliki keyakinan dan merasa benar atas keyakinannya adalah hak setiap orang. Namun hak ini tidak jadi memaksakan keyakinannya pada orang lain yang berbeda keyakinan. Interaksi manusia-manusia yang berbeda keyakinan terlihat lebih rumit karena di antara mereka ada sudut cinta satu lagi yakni Tuhan. Interaksi dari hubungan manusia yang beragam ini, setidaknya pernah dipotret lugas dalam Cin(T)a (2009), 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (2010) dan Cinta Tapi Beda (2012). Betapa dua insan yang berbeda keyakinan namun saling mencintai berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang dijalaninya tidak melanggar keyakinannya.
   Tidak hanya konflik jiwa antar individu saja, persoalan tata cara ibadah pun kerap kali terdapat perbedaan. Dalam Islam sendiri kerap terjadi perbedaan pendapat terutama terkait urusan fiqih (ibadah). Misal Qunut atau tidak Qunut, Maulid atau tidak Maulid hingga persoalan menentukan awal Ramadhan dan jumlah rakaat salat Tarawih. Dalam Mencari Hilal (2015), dikisahkan perbedaan pendapat antara ayah (Deddy Sutomo) dan anaknya (Oka Antara) dalam memandang suatu persoalan. Perjalanannya memberikan pelajaran bagaimana kita harus saling toleransi antar umat seagama selama masalah yang diperdebatkan bukanlah pada masalah tauhid (keesaan Allah). Bid'ah Cinta (2017) pula turut memotret kehidupan suatu kampung yang orang-orang didalamnya terdapat perbedaan fiqih. Film ini akhirnya memberikan solusi untuk tetap saling menghargai.
   Balik lagi ke kata toleransi yang erat kaitannya dengan kehidupan beragama. Dalam kehidupan beragama toleransi dibagi menjadi dua bagian yakni toleransi antar umat beragama dan toleransi antar umat seagama. Sila pertama Pancasila mengatakan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Artinya setiap warga negara berhak menjalankan ajaran agamanya masing-masing tanpa tekanan dan tanpa paksaan. Hal ini pun dijamin oleh negara.
   Film Tanda Tanya (2011) karya Hanung Bramantyo adalah salah satu masterpiece Film Indonesia yang memotret toleransi antar umat beragama. Konsep yang dihadirkan dalam film ini adalah bagaimana kita menghargai keyakinan yang dipeluk oleh seseorang.
   Sebuah keyakinan tidak untuk diperdebatkan, namun dalam hubungan muamalah (baca: kemanusiaan) kita wajib bekerjasama. Masih dalam film Tanda Tanya, terlihat sekali bagaimana seorang Menuk (Revalina S. Temat) yang bekerja di sebuah restoran yang menyediakan babi milik Koh (Henky Soelaeman) atau bagaimana barisan banser NU (Nahdilatul Ulama) menjaga malam saat Misa Natal.
   Mengakhiri tulisan ini perlu saya tekankan masih banyak sineas yang sungguh-sungguh memotret Indonesia dalam karya-karyanya. Keragaman budaya, bahasa, suku, agama dan ras justru menjadi produk kreatif jika diolah dengan benar. Jadi, masihkah kita akan terus bertengkar hanya karena kita beragam?
Jika saja setiap provinsi membuat 1 film / tahun tentang kearifan lokalnya, niscaya setiap tahun kita sudah punya 34 film Indonesia yang betul-betul bicara tentang Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H