Oleh: Raja faidz el shidqi, Mahasiswa FISIP UMJ dan Sekretaris DEEP Kota Depok
Cepat atau lambat kita akan melaksanakan pesta rakyat, yaitu : Pemilihan Kepada Daerah atau Pilkada dan susul dengan Pemilihan Gubernur atau Pilgub, dalam setiap kontestasi politik seperti itu bahkan bukan hanya Pilkada melainkan juga Pemilu, Pilgub bahkan hingga tingkat RW pun terdapat satu isu yang sangat seksi jika dijadikan pembahasan dalam sebuah seminar politik atau sebatas diskusi-diskusi biasa diwarung kopi.Â
Isu tersebut ialah Money Politik atau Politik Uang atau Politik Suap yang digunakan para peserta pemilihan dalam hal ini para Calon Anggota Legislatif (Caleg), Calon Walikota atau Wakil Walikota, Calon Lurah, dst.
Bicara tentang money politik ini rasanya tidak ada habisnya dan seolah-olah dianggap menjadi budaya pada masyarakat Indonesia khususnya mereka yang berada dilingkungan perkampungan atau yang ekonomi nya berstatus menengah kebawah.
Menurut Bapak Tjahjo Kumolo dalam buku Politik Hukum PILKADA Serentak yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh PT Mizan Publika, "Money Politik adalah suatu upaya memengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual-beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.Â
Dan didalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada di Pasal 73 ayat 1 s.d 4 dijelaskan pula bahwa setiap Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada penyelenggara pemilihan atau kepada pemilih dan diancam dengan sanksi administrasi pembatalan sebagai paslon dan juga dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Lalu apakah benar bahwa Money Politik benar-benar sudah mengakar sebagai budaya ditengah masyarakat ? Apakah suatu pelanggaran tersebut bisa benar-benar dihentikan ?
Dari pertanyaan tersebut bisa kita uraikan bahwa yang Pertama, masalah Money Politik ini terjadi karena banyaknya kandidat-kandidat yang kurang populis dimasyarakat, artinya mereka yang ikut serta dalam kontestasi politik dan menjadi peserta tidak memiliki tabungan suara untuk dirinya atau partainya juga barangkali ditengah-tengah masyarakat tidak ada program turun kebawah secara rutin untuk membangun rasa simpati terhadap para kandidat ditingkat grass root dan mencalonkan dirinya hanya sekedar nafsu berkuasa dan bermodal materi sebagai cara mendekatkan diri kepada masyarakat secara instan.
Kedua, faktor kondisi ekonomi masyarakat dilingkungan perkampungan yang kebanyakan menengah kebawah membuat sebagian besar masyarakat justru yang meminta 'sesuatu' kepada kandidat pemilihan karena dianggap para kandidat ini adalah mereka yang memiliki harta banyak atau orang kaya. Ketiga, kurangnya edukasi terhadap masyarakat terkait apa saja pelanggaran-pelanggaran di saat kontestasi politik yang telah diatur oleh Undang-Undang.
Jika kita meng-evaluasi proses pelaksanaan Pemilu tahun 2019 yang lalu bukan rahasia lagi jika dalam pelaksanaannya banyak terjadinya kecurangan-kecurangan termasuk dalam hal money politik bahkan muncul isu bahwa ada juga oknum-oknum yang seharusnya mengawasi jalannya kampanye agar terbebas dari pelanggaran-pelanggaran tersebut ikut meminta sejumlah materi atau uang dengan alasan untuk membeli rokok atau segelas kopi padahal dalam Pasal 93 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa BAWASLU bertugas untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu tentu dengan tanpa pandang bulu.
Bu Ratna Dewi Pettalolo, Anggota Bawaslu RI juga berpendapat bahwa, "Tidak tertutup godaan itu kepada penyelenggara Ad hoc. Kenapa dikatakan sangat mungkin terjadi ? Dengan posisi Ad hoc yang bersifat sementara dan godaan yang bisa melebihi dengan hal-hal yang bisa diterima semasa jabatan itu bisa mengganggu integritas teman-teman sekalian." Disampaikan dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Penanganan Pelanggaran Pilkada 2020 di Makassar, Senin (3/2/2020)