Pendahuluan
Hukum adat memiliki sifat terbuka, yang berarti dapat menerima unsur-unsur dari luar selama tidak bertentangan dengan hukum adat itu sendiri. Karakteristiknya yang sederhana menunjukkan bahwa hukum adat bersahaja, tidak rumit, tidak tertulis, serta mudah dipahami dan ditetapkan, berdasarkan asas saling percaya di antara anggota masyarakat.[1] Namun, hukum adat juga memiliki potensi multitafsir, misalnya dalam menentukan siapa saja yang termasuk dalam komunitas masyarakat hukum adat. Hal ini sering memunculkan perdebatan mengenai identitas individu dalam kelompok tersebut, terutama dalam kaitannya dengan pengakuan dan hubungan antara individu dan kelompok dalam satu kesatuan masyarakat hukum adat.
Dalam tatanan hukum di Indonesia, hukum adat sering dihadapkan pada persoalan utama dalam perkawinan. Dari sudut pandang sosiologi dan antropologi hukum Islam, keanekaragaman budaya di Indonesia mencerminkan pola kehidupan masyarakat yang berbeda-beda, termasuk perbedaan dalam bentuk hukum perkawinan adat. Perbedaan ini biasanya dipengaruhi oleh sistem kekerabatan atau garis keturunan yang dianut oleh masing-masing masyarakat hukum adat.
Dengan pendekatan sosiologi dan antropologi hukum Islam, hukum adat di Indonesia dapat di pandang sebagai bagian dari sub-sistem hukum yang sejajar dan memiliki peranan yang setara bagi para penganutnya. Analisis ini memberikan gambaran yang netral terhadap hubungan antara hukum adat dan hukum Islam. Masalah yang mungkin timbul dalam pertemuan kedua sistem hukum tersebut perlu dilihat tanpa prasangka, dengan tujuan utama memastikan bahwa hukum yang diterapkan mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dan warga-warganya.
Pembahasan
Pengertian Hukum Adat di Indonesia
Istilah "hukum adat" sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu "Hukm" yang berarti perintah atau ketentuan, dan "Adah" (bentuk jamaknya "Ahkam") yang bermakna kebiasaan. Dalam hukum Islam, konsep ini terlihat dalam "Hukum Syari'ah," yang mengatur lima kategori perintah, yaitu fardhu (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makruh (hal yang sebaiknya dihindari), dan jaiz atau mubah (hal yang diperbolehkan). Adah atau adat dalam bahasa Arab secara umum berarti kebiasaan, yaitu "hukum adat" dapat diartikan sebagai "hukum yang didasarkan pada kebiasaan."[1]
Di Indonesia, istilah hukum adat telat dikenal sejak lama. Misalnya, di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), istilah ini sudah digunakan, sebagaimana tercatat dalam kitab hukum "Makatu Alam." Selain itu, dalam kitab hukum "Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam" yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaluddin atas perintah Sultan Alaiddin Johan Syah (1781-1895), terdapat mukadimah yang menekankan bahwa dalam memutuskan perkara, seorang hakim harus mempertimbangkan Hukum Syara, Hukum Adat, serta adat dan resam (tradisi).[2]Â
Kemudian istilah ini pertama kali dicatat oleh Cristian Snouck Hurgonje saat ia melakukan penelitian di Aceh pada tahun 1891-1892 untuk kepentingan pemerintah kolonial belanda. Ia menerjemahkan istilah tersebut ke dalam bahasa Belanda sebagai Adat-Recht, guna membedakan antara kebiasaan umum dengan adat yang memiliki sanksi hukum. Penelitian Hurgronje ini menghasilkan sebuah buku berjudul De Atjehers (orang-orang Aceh) yang diterbitkan pada tahun 1894. Sejak saat itu, Hurgronje dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan istilah Adat-Recht, yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat. Istilah ini menjadi semakin terkenal setelah digunakan oleh Cornelis Van Vollenhoven dalam karyanya yang terdiri dari tiga jilid, Het Adat-Recht Van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda).
Pengertian hukum adat menurut Cornelis van Vollenhoven "Hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).[3]
Pengertian hukum adat menurut Raden Soepomo, "Hukum adat sinonim dari hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Perlemen, Dewan Provinsi, dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.[4]
Hukum adat merupakan aturan tradisional yang lahir dari kebutuhan nyata masyarakat dan mencerminkan cara pandang serta kebudayaan di mana hukum tersebut diterapkan. Meskipun sebagian besar hukum adat tidak tertulis, hukum adat tersebut memiliki kekuatan yang besar dalam mengatur masyarakat. Jika ada yang melanggar, sanksi biasanya datang langsung dari masyarakat itu sendiri. Hukum adat sangat terasa dalam kehidupan masyarakat yang masih memegang erat budaya aslinya. Dalam praktik sehari-hari, hukum adat sering diterapkan, bahkan dalam sistem peradilan. Ketika seorang hakim menghadapi kasus yang tidak diatur dalam hukum tertulis, ia harus memahami hukum adat yang hidup di masyarakat untuk menemukan solusinya. Oleh karena itu, hukum adat sering dianggap sebagai bentuk hukum perdata yang khas bagi masyarakat Indonesia.
Selain itu, Terminologi hukum adat dan masyarakat adat memiliki hubungan yang erat, saling terkait, dan tidak dapat di pisahkan. Dalam budaya masyarakat, hukum adat sering disampaikan melalui petuah dan peribahasa. Misalnya, masyarakat Aceh memiliki ungkapan: "Matee anek mepat jerat, matee adat phat tamita" yang berarti "kalau anak mati masih dapat dilihat pusarannya, tetapi kalau adat di hilangkan/mati, maka akan sulit dicari. Ungkapan peribahasa lain, seperti "Murip I kanung edet, mate I kanung bumi," yang berarti "Keharusan mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi." Ungkapan ini menegaskan betapa pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat.[5]
Kriteria lain untuk memahami masyarakat dalam hukum adat adalah norma-norma yang berlaku di dalamnya. Norma ini sebaiknya telah melewati proses pelembagaan sehingga memiliki kekuatan mengikat untuk mengatur perilaku warga. Dengan begitu, norma tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat akan keteraturan.
Pendekatan lain adalah melihat masyarakat secara deskriptif, yaitu dengan memperhatikan hubungan antara masyarakat, kebudayaan, dan nila-nilai yang mereka anut. Pendekatan ini menghubungkan masyarakat hukum adat dengan aturan, nilai, serta cara hidup budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Cara pandang ini sering digunakan dalam pendekatan antropologi untuk mengidentifikasi masyarakat adat sebagai sebuah satuan sosial.
Hukum adat dapat dikatakan sebagian dari budaya hukum yang diwariskan secara turun-temurun dan digunakan oleh masyarakat untuk mengatur pedoman hidup dalam komunitas adat. Kehidupan masyarakat adat didasarkan pada solidaritas, kesamaan kepentingan, dan kesadaran bersama. Sebagai budaya hukum, hukum adat tidak dibuat melalui proses legislatif, melainkan muncul dari kesepakatan atau opini masyarakat yang diperkuat dengan sanksi yang berlaku secara kebiasaan. [6] Karena berbentuk kebiasaan, budaya hukum dalam masyarakat adat biasanya tidak tertulis (Unwritten Law). Selain itu, hukum adat juga memiliki karakteristik khas, yaitu selalu mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi psikologis anggota masyarakat. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap hukum adat didasarkan pada rasa keadilan dan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan hukum tersebut. [7]
Legalitas atas Belakunya Hukum Adat dalam Hukum Negara di Indonesia.Â
Hukum adat merupakan aturan yang tidak tertulis namun hidup dan berkembang di tengah masyarakat adat di suatu daerah. Aturan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, selama masyarakatnya tetap mematuhi dan menjalankannya. Oleh karena itu, meskipun hukum adat tidak memiliki bentuk tertulis dan sering dianggap tidak sah berdasarkan asas legalitas, keberadaannya sebagai bagian dari tata hukum nasional tidak dapat diabaikan. Hukum adat akan terus hadir dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief, Pasal 1 KUHP yang merumuskan asas legalitas secara formal menyebabkan hukum tidak tertulis, atau hukum yang hidup di masyarakat, tidak memiliki tempat sebagai sumber hukum positif. Dengan kata lain, keberadaan pasal 1 KUHP ini seakan-akan "mematikan" atau "menidurkan" hukum pidana tidak tertulis yang pernah atau masih berlaku dalam masyarakat. Pada masa penjajahan, hal ini dapat dimaklumi karena sesuai dengan politik hukum Belanda saat itu. Namun, jika kebijakan ini tetapi dilanjutkan setelah Indonesia merdeka, situasinya menjadi berbeda. Akibat dari pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis ini tidak pernah digali atau diungkapkan secara menyeluruh, baik dalam praktik peradilan pidana maupun kajian akademik di perguruan tinggi. Selain itu, tradisi yurisprudensi dan tradisi akademik terkait hukum pidana tidak tertulis tidak pernah berkembang dengan baik. Jika pun ada, pembahasannya sangat terbatas dan tidak lengkap.[8]
Jika ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951, Pasal 5 ayat (3) sub b masih mengakui keberadaan Pengadilan Adat. Namun, setelah pengesahan Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kesatuan kehakiman (pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970) yang kemudian mengalami perubahan melalui UU Nomor 35 Tahun 1999, UU Nomor 4 Tahun 2004, hingga UU Nomor 48 Tahun 2009, keberadaan Pengadilan Adat tidak lagi diakui dalam kebijakan legislasi nasional. Meski demikian, untuk wilayah Aceh Nanggroe Darusslam, eksistensi Pengadilan Adat masih diakui melalui UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menyebutnya dengan istilah "Peradilan Gampong" atau "Peradilan Damai".
Sejarah penerapan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa banyak ahli hukum justru mempelajari hukum adat sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat. Van Vollenhoven, misalnya, berpendapat bahwa untuk memahami hukum yang berlaku di dunia ini, khususnya karena keragamannya dari masa lampau hingga saat ini, hukum adat menjadi hukum asli masyarakat Indonesia. Hukum ini berakar pada adat istiadat dan mencerminkan nilai-nilai dasar budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hukum adat tidak hanya mengikat tetapi juga menjadi bagian penting dalam pemikiran yang diakui konstitusi, yakni UUD 1945. Ini menjadikan hukum adat sebagai salah satu elemen dasar dalam sistem hukum negara Indonesia. [9]
Dalam tradisi hukum adat, istilah legalitas sering digunakan untuk menjelaskan suatu tindakan atau aktivitas yang didasarkan pada aturan hukum tertulis yang telah disahkan oleh pejabat negara yang berwenang. Konsep legalitas ini awalnya muncul dari kajian para ahli hukum terhadap ajaran hukum pidana. Dalam perkembangannya, legalitas menjadi prinsip hukum yang dianggap universal, berlaku lintas waktu dan tempat, serta diterapkan dalam hukum positif. Dalam hukum pidana, prinsip legalitas dikenal dengan istilah nulum delictum nulla poena sine pravia lege poenali, yang artinya "tidak ada perbuatan pidana dan hukuman tanpa adanya aturan hukum sebelumnya." Prinsip ini tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 KHUP, yang menyatakan seseorang hanya dapat dihukum atas dasar undang-undang pidana yang berlaku sebelum tindak pidana tersebut terjadi.
Mengacu pada pengertian legalitas, landasan hukum atau dasar keberlakuan hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara Indonesia, terutama dalam persoalan perkawinan, dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, selama praktik adat tersebut masih hidup, berkembang sesuai masyarakat, dan tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, negara menghormati praktik hukum adat sepanjang memenuhi kriteria tersebut.
Selain hukum adat, negara juga mengakui keberadaan agama dan ajarannya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E dan pasal 29 UUD 1945. Pasal-pasal ini menyatakan keyakinan sesuai dengan hati nurani. Pasal 29 Ayat 1 menegaskan bahwa negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Ayat 2 menjamin masing-masing.
Dari ketentuan ini, terlihat bahwa negara tidak hanya mengakui hukum adat tetapi juga memberikan tempat yang signifikan bagi agama, khususnya Islam, yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Hal ini mencerminkan penghormatan negara terhadap keragaman budaya dan keyakinan.
Potret Hukum Adat di Indonesia dari sisi Sosiologi dan AntropologiÂ
    Struktur masyarakat adat di Indonesia sangat beragam, dengan sistem, yang menganut patrilineal, matrilineal, parental, maupun campuran. Keragaman ini memengaruhi bentuk-bentuk perkawinan yang ada di berbagai daerah, yang biasanya disesuaikan dengan agama, keyakinan, dan budaya setempat. Jika dikelompokkan, bentuk perkawinan tersebut mengikuti pedoman dari berbagi agama seperti Islam, Budha, Nasrani, Hindu, Konghucu, serta tradisi adat, keyakinan lokal, kearifan budaya masing-masing masyarakat. Ketika dari penggolongan keluarga tersebut, sistem perkawinan yang dikenal antara lain perkawinan endogami, eksogami, homogami, heterogami, perkawinan jujur, serta perkawinan semenda dan lain lainnya. [10]
    Perkawinan endogami, perkawinan yang terjadi di dalam satu keluarga atau suku yang sama, di mana perkawinan dengan keluarga dari suku lain dilarang. Bentuk perkawinan ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti di kalangan masyarakat Minangkabau (padang) dan sebagian masyarakat Jawa yang menikah di antara anggora "trah" tertentu.
    Sebaliknya, perkawinan eksogami melarang perkawinan dengan anggota keluarga atau kelompok sendiri dan kewajiban pernikahan dengan orang di luar kelompok atau keluarga tersebut. Contoh tradisi ini dapat ditemukan di daerah Lampung dan Maluku.
    Perkawinan Homogami, perkawinan ini dilakukan oleh pasangan yang memiliki kesamaan dalam status sosial, kekayaan, atau derajat. Contohnya adalah pernikahan antara orang kaya dengan orang kaya, atau berdasarkan kasta seperti Sudra dengan Sudra, Brahmana dengan Brahmana. Tradisi ini dapat ditemukan di kalangan masyarakat Batak, Bali, dan sebagian masyarakat Jawa, terutama dalam lingkup keraton.
    Perkawinan Heterogami, perkawinan ini melibatkan pasangan dari kelompok atau status sosial yang berbeda. Jenis perkawinan ini umum terjadi di berbagi suku dan wilayah di Indonesia serta menjadi praktik lazim dalam masyarakat Indonesia.
    Perkawinan Jujur, perkawinan ini perempuan di anggap meninggalkan keluarganya dan menjadi bagian dari keluarga suaminya. Untuk menjaga keseimbangan emosional keluarga perempuan, pihak suami memberikan kompensasi berupa "kawin lari," seperti dalam kasus pernikahan ayah Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodiharjo, dengan Ida Ayu Nyoman Rai di Bali.
    Perkawinan semendo, perkawinan ini, istri tidak diwajibkan mengikuti suami. Fokusnya adalah formalitas, di mana suami dipandang sebagai menantu dan tidak perlu memberikan mahar atau mas kawin (dalam tradisi Islam). Perkawinan ini terjadi di daerah Batak, Nias, Lampung, Sumba, dan Timor
    Perkawinan Sororat, jenis perkawinan ini mewajibkan seorang duda menikahi saudara perempuan istrinya yang telah meninggal atau jika istrinya mandul. Dalam beberapa kasus, jika istri pertama masih hidup, ini mengacu pada prinsip poligami. Tradisi ini ditemukan di berbagi susku di Indonesia, terutama di Jawa. [11]
    Bentuk hukum perkawinan di Indonesia berkembang secara beragam sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kekerabatan setiap masyarakat. Dalam konteks sosiologi hukum Islam, terdapat hubungan timbal balik antara perubahan sosial yang memengaruhi bentuk perkawinan dan penerapan hukum Islam di tengah hukum ada yang berlaku. Dari sudut pandang antropologi hukum Islam, fokusnya lebih pada sejarah fisik, keberagaman masyarakat, dan kebudayaan. Setiap masyarakat memiliki karakteristik dan pola hukumnya sendiri yang mencerminkan budaya masyarakat tersebut, seperti yang terlihat dalam hukum adat sebagai manifestasi dari geester-structur (struktur jiwa) masyarakat bersangkutan.
Referensi
Afifuddin, Beni Ahmad Saebani, dan Beni Ahmad Saebani. "Metodologi penelitian kualitatif." Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa aspek pengembangan ilmu hukum pidana: menyongsong generasi baru hukum pidana Indonesia. Badan Penerbit, Universitas Diponegoro, 2021.
Dewi Wulansari. "Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar." In Bandung: Refika Aditama, 76, 2006.
Mulyadi, Lilik. "Hukum Pidana Adat Kajian Asas, Toeri, Norma Praktik Dan Prosedur. PT. Alumni, Bandung," 2015.
Pide, A. Suriyaman Mustari. Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Datang. Jakarta: Prenada Media, 2017. https://books.google.co.id/books?id=jEaaDwAAQBAJ.
Saebani, Ahmad. "Beni. Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-undang." Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Soepomo, Raden. Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari. Jakarta: Pustaka Rakyat, 1952.
Soeprijanto, Troeboes. "PERKAWINAN DALAM LANDSCAP KEINDONESIAAN (PENDEKATAN ANTROPOLOGI, SOSIOLOGI, HUKUM)." Civis: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Pendidikan 13, no. 1 (13 Februari 2024): 61--76. https://doi.org/10.26877/civis.v13i1.18346.
Sulistiani, Siska Lis. Hukum Adat di Indonesia. Diedit oleh Kurniawan Ahmad. Jakarta Timur: SINAR GRAFIKA, 2021. https://books.google.co.id/books?id=QaJOEAAAQBAJ.
Utomo, St. Laksanto. Hukum adat. Cet. 1. PT RajaGrafindo Persada, 2016. https://cir.nii.ac.jp/crid/1130000796386860416.bib?lang=en.
Vollenhoven, Van. "Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Terjemahan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Djambatan, Jakarta," 1981.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H