Mohon tunggu...
Rajab Nugraha
Rajab Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, UIN Sunan Gunung Djati

futsal, game, membaca, enjoy

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Adat Di Indonesia Perspektif Sosiologi dan Antropologi Hukum Islam

17 Desember 2024   14:15 Diperbarui: 17 Desember 2024   14:13 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengacu pada pengertian legalitas, landasan hukum atau dasar keberlakuan hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara Indonesia, terutama dalam persoalan perkawinan, dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, selama praktik adat tersebut masih hidup, berkembang sesuai masyarakat, dan tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, negara menghormati praktik hukum adat sepanjang memenuhi kriteria tersebut.

Selain hukum adat, negara juga mengakui keberadaan agama dan ajarannya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E dan pasal 29 UUD 1945. Pasal-pasal ini menyatakan keyakinan sesuai dengan hati nurani. Pasal 29 Ayat 1 menegaskan bahwa negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Ayat 2 menjamin masing-masing.

Dari ketentuan ini, terlihat bahwa negara tidak hanya mengakui hukum adat tetapi juga memberikan tempat yang signifikan bagi agama, khususnya Islam, yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Hal ini mencerminkan penghormatan negara terhadap keragaman budaya dan keyakinan.

Potret Hukum Adat di Indonesia dari sisi Sosiologi dan Antropologi 

       Struktur masyarakat adat di Indonesia sangat beragam, dengan sistem, yang menganut patrilineal, matrilineal, parental, maupun campuran. Keragaman ini memengaruhi bentuk-bentuk perkawinan yang ada di berbagai daerah, yang biasanya disesuaikan dengan agama, keyakinan, dan budaya setempat. Jika dikelompokkan, bentuk perkawinan tersebut mengikuti pedoman dari berbagi agama seperti Islam, Budha, Nasrani, Hindu, Konghucu, serta tradisi adat, keyakinan lokal, kearifan budaya masing-masing masyarakat. Ketika dari penggolongan keluarga tersebut, sistem perkawinan yang dikenal antara lain perkawinan endogami, eksogami, homogami, heterogami, perkawinan jujur, serta perkawinan semenda dan lain lainnya. [10]

       Perkawinan endogami, perkawinan yang terjadi di dalam satu keluarga atau suku yang sama, di mana perkawinan dengan keluarga dari suku lain dilarang. Bentuk perkawinan ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti di kalangan masyarakat Minangkabau (padang) dan sebagian masyarakat Jawa yang menikah di antara anggora "trah" tertentu.

       Sebaliknya, perkawinan eksogami melarang perkawinan dengan anggota keluarga atau kelompok sendiri dan kewajiban pernikahan dengan orang di luar kelompok atau keluarga tersebut. Contoh tradisi ini dapat ditemukan di daerah Lampung dan Maluku.

       Perkawinan Homogami, perkawinan ini dilakukan oleh pasangan yang memiliki kesamaan dalam status sosial, kekayaan, atau derajat. Contohnya adalah pernikahan antara orang kaya dengan orang kaya, atau berdasarkan kasta seperti Sudra dengan Sudra, Brahmana dengan Brahmana. Tradisi ini dapat ditemukan di kalangan masyarakat Batak, Bali, dan sebagian masyarakat Jawa, terutama dalam lingkup keraton.

       Perkawinan Heterogami, perkawinan ini melibatkan pasangan dari kelompok atau status sosial yang berbeda. Jenis perkawinan ini umum terjadi di berbagi suku dan wilayah di Indonesia serta menjadi praktik lazim dalam masyarakat Indonesia.

       Perkawinan Jujur, perkawinan ini perempuan di anggap meninggalkan keluarganya dan menjadi bagian dari keluarga suaminya. Untuk menjaga keseimbangan emosional keluarga perempuan, pihak suami memberikan kompensasi berupa "kawin lari," seperti dalam kasus pernikahan ayah Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodiharjo, dengan Ida Ayu Nyoman Rai di Bali.

       Perkawinan semendo, perkawinan ini, istri tidak diwajibkan mengikuti suami. Fokusnya adalah formalitas, di mana suami dipandang sebagai menantu dan tidak perlu memberikan mahar atau mas kawin (dalam tradisi Islam). Perkawinan ini terjadi di daerah Batak, Nias, Lampung, Sumba, dan Timor

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun