Mohon tunggu...
Rajab Nugraha
Rajab Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, UIN Sunan Gunung Djati

futsal, game, membaca, enjoy

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Adat Di Indonesia Perspektif Sosiologi dan Antropologi Hukum Islam

17 Desember 2024   14:15 Diperbarui: 17 Desember 2024   14:13 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum adat merupakan aturan tradisional yang lahir dari kebutuhan nyata masyarakat dan mencerminkan cara pandang serta kebudayaan di mana hukum tersebut diterapkan. Meskipun sebagian besar hukum adat tidak tertulis, hukum adat tersebut memiliki kekuatan yang besar dalam mengatur masyarakat. Jika ada yang melanggar, sanksi biasanya datang langsung dari masyarakat itu sendiri. Hukum adat sangat terasa dalam kehidupan masyarakat yang masih memegang erat budaya aslinya. Dalam praktik sehari-hari, hukum adat sering diterapkan, bahkan dalam sistem peradilan. Ketika seorang hakim menghadapi kasus yang tidak diatur dalam hukum tertulis, ia harus memahami hukum adat yang hidup di masyarakat untuk menemukan solusinya. Oleh karena itu, hukum adat sering dianggap sebagai bentuk hukum perdata yang khas bagi masyarakat Indonesia.

Selain itu, Terminologi hukum adat dan masyarakat adat memiliki hubungan yang erat, saling terkait, dan tidak dapat di pisahkan. Dalam budaya masyarakat, hukum adat sering disampaikan melalui petuah dan peribahasa. Misalnya, masyarakat Aceh memiliki ungkapan: "Matee anek mepat jerat, matee adat phat tamita" yang berarti "kalau anak mati masih dapat dilihat pusarannya, tetapi kalau adat di hilangkan/mati, maka akan sulit dicari. Ungkapan peribahasa lain, seperti "Murip I kanung edet, mate I kanung bumi," yang berarti "Keharusan mengikuti aturan adat sama dengan keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi." Ungkapan ini menegaskan betapa pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat.[5]

Kriteria lain untuk memahami masyarakat dalam hukum adat adalah norma-norma yang berlaku di dalamnya. Norma ini sebaiknya telah melewati proses pelembagaan sehingga memiliki kekuatan mengikat untuk mengatur perilaku warga. Dengan begitu, norma tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat akan keteraturan.

Pendekatan lain adalah melihat masyarakat secara deskriptif, yaitu dengan memperhatikan hubungan antara masyarakat, kebudayaan, dan nila-nilai yang mereka anut. Pendekatan ini menghubungkan masyarakat hukum adat dengan aturan, nilai, serta cara hidup budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Cara pandang ini sering digunakan dalam pendekatan antropologi untuk mengidentifikasi masyarakat adat sebagai sebuah satuan sosial.

Hukum adat dapat dikatakan sebagian dari budaya hukum yang diwariskan secara turun-temurun dan digunakan oleh masyarakat untuk mengatur pedoman hidup dalam komunitas adat. Kehidupan masyarakat adat didasarkan pada solidaritas, kesamaan kepentingan, dan kesadaran bersama. Sebagai budaya hukum, hukum adat tidak dibuat melalui proses legislatif, melainkan muncul dari kesepakatan atau opini masyarakat yang diperkuat dengan sanksi yang berlaku secara kebiasaan. [6] Karena berbentuk kebiasaan, budaya hukum dalam masyarakat adat biasanya tidak tertulis (Unwritten Law). Selain itu, hukum adat juga memiliki karakteristik khas, yaitu selalu mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi psikologis anggota masyarakat. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap hukum adat didasarkan pada rasa keadilan dan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan hukum tersebut. [7]

Legalitas atas Belakunya Hukum Adat dalam Hukum Negara di Indonesia. 

Hukum adat merupakan aturan yang tidak tertulis namun hidup dan berkembang di tengah masyarakat adat di suatu daerah. Aturan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, selama masyarakatnya tetap mematuhi dan menjalankannya. Oleh karena itu, meskipun hukum adat tidak memiliki bentuk tertulis dan sering dianggap tidak sah berdasarkan asas legalitas, keberadaannya sebagai bagian dari tata hukum nasional tidak dapat diabaikan. Hukum adat akan terus hadir dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Menurut Barda Nawawi Arief, Pasal 1 KUHP yang merumuskan asas legalitas secara formal menyebabkan hukum tidak tertulis, atau hukum yang hidup di masyarakat, tidak memiliki tempat sebagai sumber hukum positif. Dengan kata lain, keberadaan pasal 1 KUHP ini seakan-akan "mematikan" atau "menidurkan" hukum pidana tidak tertulis yang pernah atau masih berlaku dalam masyarakat. Pada masa penjajahan, hal ini dapat dimaklumi karena sesuai dengan politik hukum Belanda saat itu. Namun, jika kebijakan ini tetapi dilanjutkan setelah Indonesia merdeka, situasinya menjadi berbeda. Akibat dari pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis ini tidak pernah digali atau diungkapkan secara menyeluruh, baik dalam praktik peradilan pidana maupun kajian akademik di perguruan tinggi. Selain itu, tradisi yurisprudensi dan tradisi akademik terkait hukum pidana tidak tertulis tidak pernah berkembang dengan baik. Jika pun ada, pembahasannya sangat terbatas dan tidak lengkap.[8]

Jika ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951, Pasal 5 ayat (3) sub b masih mengakui keberadaan Pengadilan Adat. Namun, setelah pengesahan Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kesatuan kehakiman (pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970) yang kemudian mengalami perubahan melalui UU Nomor 35 Tahun 1999, UU Nomor 4 Tahun 2004, hingga UU Nomor 48 Tahun 2009, keberadaan Pengadilan Adat tidak lagi diakui dalam kebijakan legislasi nasional. Meski demikian, untuk wilayah Aceh Nanggroe Darusslam, eksistensi Pengadilan Adat masih diakui melalui UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menyebutnya dengan istilah "Peradilan Gampong" atau "Peradilan Damai".

Sejarah penerapan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa banyak ahli hukum justru mempelajari hukum adat sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat. Van Vollenhoven, misalnya, berpendapat bahwa untuk memahami hukum yang berlaku di dunia ini, khususnya karena keragamannya dari masa lampau hingga saat ini, hukum adat menjadi hukum asli masyarakat Indonesia. Hukum ini berakar pada adat istiadat dan mencerminkan nilai-nilai dasar budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hukum adat tidak hanya mengikat tetapi juga menjadi bagian penting dalam pemikiran yang diakui konstitusi, yakni UUD 1945. Ini menjadikan hukum adat sebagai salah satu elemen dasar dalam sistem hukum negara Indonesia. [9]

Dalam tradisi hukum adat, istilah legalitas sering digunakan untuk menjelaskan suatu tindakan atau aktivitas yang didasarkan pada aturan hukum tertulis yang telah disahkan oleh pejabat negara yang berwenang. Konsep legalitas ini awalnya muncul dari kajian para ahli hukum terhadap ajaran hukum pidana. Dalam perkembangannya, legalitas menjadi prinsip hukum yang dianggap universal, berlaku lintas waktu dan tempat, serta diterapkan dalam hukum positif. Dalam hukum pidana, prinsip legalitas dikenal dengan istilah nulum delictum nulla poena sine pravia lege poenali, yang artinya "tidak ada perbuatan pidana dan hukuman tanpa adanya aturan hukum sebelumnya." Prinsip ini tertuang dalam Pasal 1 Ayat 1 KHUP, yang menyatakan seseorang hanya dapat dihukum atas dasar undang-undang pidana yang berlaku sebelum tindak pidana tersebut terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun