Mohon tunggu...
Surya Harianto
Surya Harianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Every Body is YUNIK

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tiga Tahap Eksistensi Soren Aabey Kierkegaard

30 November 2013   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30 3547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.

Kierkegaard kemudian merenungkan tiga tahap eksistensi manusia yaitu manusia estetis, etis, dan religius. Manusia estetis adalah manusia “paling rendah” yang memahami eksistensinya dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan melakukan kesenang-senangan yang bersifat badani. Contoh sempurna manusia estetis adalah Don Juan yang hidup dengan berganti-ganti wanita untuk sekedar memuaskan hasratnya. Menurut Kierkegaard, mungkin begitulah cara manusia estetis melupakan eksistensinya yang menyedihkan—dengan bersenang-senang, meluapkan kebutuhan-kebutuhan badani seperti seks, makan, minum, dan tenggelam dalam hedonisme kehidupan. Menurut Kang Syarif, level manusia paling rendah dalam agama-agama pun diduduki oleh manusia estetis. Oleh sebab itu, agama memiliki “latihan-latihan” tersendiri untuk mengendalikan hawa nafsu, misalnya dengan menjalani puasa. Namun begitu, walaupun sudah seharian menjalani puasa tetapi ketika datang waktu berbuka kita makan dengan nafsu yang berapi-api, sesungguhnya pada saat itu kita kembali lagi menjadi manusia estetis.

Tahap selanjutnya adalah manusia etis. Contoh dari manusia etis adalah Socrates. Pada 399 SM Socrates didakwa “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda”, serta tidak memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Para juri menyatakan bahwa Socrates bersalah. Ia pun diberi dua pilihan oleh pengadilan: minum racun lalu mati atau mengakui kesalahannya karena telah menyebarkan paham sesat lalu keluar dari Yunani. Socrates kemudian memilih untuk minum racun karena ia pikir jika ia menghindar untuk menyelamatkan dirinya dan badannya, berarti ia mengingkari hati nuraninya sendiri. Socrates termasuk ke dalam contoh manusia etis karena ia mau “menunda kesenangan—badani—nya untuk sebuah kebahagiaan yang lebih besar”. Menurut Kang Syarif, pada umumnya manusia itu bergerak dari estetis ke etis seiring dengan pertambahan usianya. Semakin ia bertambah dewasa, manusia semakin merasa harus melakukan hal-hal yang sebenarnya “tidak ia sukai”, semata-mata untuk menunaikan tanggung jawabnya.

Tahap yang terakhir adalah manusia religius. Bagi Kierkegaard, eksistensi yang paling tinggi itu dipahami ketika ia melompat pada keimanan. Iman merupakan sesuatu yang tidak berdasar, seperti lubang gelap. Karena tidak berdasar itulah, kita hanya bisa percaya, mengandalkan keimanan. Semakin orang menggantungkan kepercayaannya pada suatu hal yang abstrak dan absurd, semakin ia patut dipuji, menurut Kierkegaard. Karena sesungguhnya, antara rasionalitas dan iman terdapat sebuah jurang pemisah. Kita hanya bisa menjembataninya dengan melakukan sebuah “lompatan”. Jadi, ketika keputusasaan seseorang membawanya kembali pada Tuhan, sesungguhnya di sana terdapat lompatan terhadap level eksistensi yang paling tinggi. Mungkin itulah sumbangsih terbesar Kierkegaard: ia mencoba menguraikan makna keimanan. Kebanyakan orang mengatakan, “Tuhan ada dulu, baru kita percaya” namun Kierkegaard membalik premis tersebut. Ia bilang, “Kita percaya dulu, baru Tuhan ada”. Menurut Kang Syarif, Tuhan itu dapat kita percayai karena kita tidak bisa tahu apapun tentangNya. Saya pun menanggapi bahwa menurut saya Tuhan itu sangat tidak masuk akal. Namun, ketidakmasuk-akalan itu lah yang justru membuatNya menjadi masuk akal.

Di akhir diskusi, bpk mukhlis menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya semua filsuf eksistensialis memiliki garis pemikiran yang sama. Hanya saja, mereka memiliki solusi yang berbeda-beda. Kierkegaard memilih untuk melemparkan dirinya kepada Tuhan, pada akhirnya. Nietzsche memilih untuk berdiri di atas kakinya sendiri karena hal yang paling nyata dalam hidup menurutnya adalah manusia, Tuhan telah mati. Sedangkan Sartre berkata bahwa faktanya manusia itu bebas, dan kita tidak bisa melemparkan diri kemana-mana, kecuali pada kebebasan itu sendiri. Kelas filsafat kami mengenai filsuf-filsuf eksistensialis berakhir sampai di sini. byeee

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun