Mohon tunggu...
Surya Harianto
Surya Harianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Every Body is YUNIK

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tiga Tahap Eksistensi Soren Aabey Kierkegaard

30 November 2013   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30 3547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Latar Belakang dan Sikap Kritis Kierkegaard

Kierkegaard hidup antara tahun 1813 –1855. Ini berarti ia hidup dalam abad ke-19 di mana budaya intelektual sangat mewarnai kehidupan dan masyarakat berada dalam era teknokratik. Dalam kondisi dunia semacam ini, Kierkegaard membangun filsafat dan sikap kritisnya. Menurutnya, budaya intelektual dan masyarakat teknokratik yang diangung-agungkan saat itu menyimpan konsekuensi-konsekuensi negatif.

Salah satu konsekuensi negatif yang menjadi pusat perhatian Kierkegaard adalah kemampuan abstraksi.Artinya ada trend umum saat itu di mana kenyataan-kenyataan konkrit dilepaskan dari ciri-ciri khusus kekonkritannya untuk dilihat sifat-sifat umumnya. Dengan cara itu ditemukan hukum-hukum umum di balik kenyataan. Konsekuensinya semakin berlaku umum, semakin obyektiflah kualitas dan semakin obyektif berarti semakin benar.

Menurut Kierkegaard, cara pandang ini menyulut persoalan baru. Mengapa? Karena bagi dia, obyektifitas lebih kerap berarti disetujui umum. Ini berarti ukuran kebenaran adalah pendapat umum. Apa yang tidak sesuai dengan consensus umum berarti tidak obyektif dan tidak benar. Pada titik ini, menurut Kierkegaard, masyarakat jatuh dalam bahaya budaya massa yang kemudian dipengaruhi atau dipupuk oleh berkembangnya media massa yang dengan mudah, murah, dan efektif membentuk opini-opini publik. Ia menilai, budaya massa semacam ini pertama-tama berpengaruh negatif bagi moral manusia sebagai individu. Budaya massa mengakibatkan demoralisasi. Artinya, budaya massa cendrung menyeragamkan suara hati dan mengurangi tanggungjawab individu. Budaya massa sekaligus memiliki karakteristik publik. Pada hal figure publik adalah sesuatu yang kabur, garang. Ia adalah segala hal sekaligus bukan apapun juga. Ia adalah kekuatan yang paling berbahaya serentak sesuatu yang paling tak bermakna. Kierkegaard menegaskan, orang bisa saja bicara atas nama publik tapi publik itu tetap bukan sosok nyata siapapun. Publik itu identitas semu, konsep abstrak, tak berwajah dan tak bernama. Publik bukanlah suatu generasi, bangsa, paguyuban atau pun masyarakat karena dalam publik tidak ada seoang pun yang mempunyai komitmen sungguhan. Dalam masyarakat modern, kata Kierkegaard, wajah publik yang paling konkrit itu adalah pers.

Pengaruh negatif kedua dari budaya massa adalah menghilangkan interioritas individu sebagai subyek. Pengaruh budaya massa membuat orang tidak berani mengikuti suara hatinya sendiri. Kenyataan particular dan subyektif seakan-akan merupakan suatu anomaly. Tidak ikut trend umum adalah kebodohan. Maka, yang terpenting bagi individu adalah berusaha supaya pola pikir dan perilakunya sesuai dengan tuntutan umum. Konsekuensinya, orang menjadi dangkal. Hidup adalah rangkaian fakta-fakta belaka. Hidup adalah rangkaian peristiwa yang berserakan tanpa nilai dan makna. Padahal, seharusnya hidup adalah sebuah perjalanan nilai, rangkaian keputusan dan komitmen pribadi pada nilai-nilai yang semakin tinggi. Hidup adalah sebuah tugas.

Pengaruh negatif ketiga dari budaya massa adalah berubahnya pola berkumpul individu dari pola kekeluargaan ke pola asosiasi. Bagi Kierkegaard, asosiasi yang terdiri dari individu-individu yang lemah dan tak berkepribadian itu menjijikkan bagai perkawinan anak di bawah usia.

Pengaruh negatif keempat dari budaya massa adalah berubahnya hakekat heroisme. Mengapa? Karena dalam budaya intelektual, tidak ada tempat untuk passi (gairah, nafsu). Tidak ada tempat untuk keberanian dan antuasiasme moral. Semua itu diganti oleh ketrampilan atau skill. Orang sering kagum terhadap tokoh yang berketrampilan tinggi. Namun, kekaguman itu tanpa passi karena sering juga pahlawan itu canggih dalam bidang-bidang yang sebenarnya tidak penting. Misalnya, kekaguman terhadap orang yang berjalan mundur sekian ribu kilometer. Dengan ini mau ditekankan bahwa pahlawan dalam dunia modern tidak lagi merupakan symbol kesungguhan moral dan heroisme eksistensial, melainkan sekedar symbol prestasi. Anehnya, pahlawan jenis inilah yang lebih popular. Kenyataan ini menurut Kierkegaard menunjukan kedangkalan hidup manusia modern.

Pengaruh negatif kelima dari budaya massa berkaitan dengan implikasi dari ideal persamaan derajat manusia. Dalam ideal itu, diyakini bahwa semua orang memiliki hak yang sama. Akibatnya, semua orang harus memberi andil bagi hidup bersama; misalnya dalam pemerintahan. Ini, sangat dimungkinkan dalam dunia modern oleh perkembangan pers. Pers menjadikan suara publik menentukan sesuatu secara efektif, meski pada taraf non formal. Pers memungkinkan massa menjadi konsep abstrak, menjadi publik yang berisikan individu-individu yang tidak real dan tak bisa diorganisasikan. Ironisnya, publik memiliki kekuatan pengaruh yang sangat mutlak. Individu sangat diagungkan dalam imajinasi, tapi dalam kenyataan konkret, ia tak punya arti.

Dalam konteks budaya modern semacam inilah Kierkegaard membangun filsafat khasnya. Ia menghimbau individu untuk hidup berdasarkan eksistensi yang lebih bertanggungjawab dan tidak larut dalam budaya massa. Ia ingin agar individu menjadi subyek yang otentik. Persisnya, menurut dia, untuk mencapai subyek yang otentik itu tidak hanya dengan cara menguasai realitas secara rasional dan konseptual, tidak juga sekedar refleksi intelektual, tapi harus melalui pilihan, keputusan, dan komitmen yang dilandasi oleh passi, antusiasme, rasa, dan kehendak bebas.

Konsep Eksistensi Menurut Søren Kierkegaard

Cetusan “eksistensi” yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.

Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.

Kierkegaard kemudian merenungkan tiga tahap eksistensi manusia yaitu manusia estetis, etis, dan religius. Manusia estetis adalah manusia “paling rendah” yang memahami eksistensinya dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan melakukan kesenang-senangan yang bersifat badani. Contoh sempurna manusia estetis adalah Don Juan yang hidup dengan berganti-ganti wanita untuk sekedar memuaskan hasratnya. Menurut Kierkegaard, mungkin begitulah cara manusia estetis melupakan eksistensinya yang menyedihkan—dengan bersenang-senang, meluapkan kebutuhan-kebutuhan badani seperti seks, makan, minum, dan tenggelam dalam hedonisme kehidupan. Menurut Kang Syarif, level manusia paling rendah dalam agama-agama pun diduduki oleh manusia estetis. Oleh sebab itu, agama memiliki “latihan-latihan” tersendiri untuk mengendalikan hawa nafsu, misalnya dengan menjalani puasa. Namun begitu, walaupun sudah seharian menjalani puasa tetapi ketika datang waktu berbuka kita makan dengan nafsu yang berapi-api, sesungguhnya pada saat itu kita kembali lagi menjadi manusia estetis.

Tahap selanjutnya adalah manusia etis. Contoh dari manusia etis adalah Socrates. Pada 399 SM Socrates didakwa “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda”, serta tidak memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Para juri menyatakan bahwa Socrates bersalah. Ia pun diberi dua pilihan oleh pengadilan: minum racun lalu mati atau mengakui kesalahannya karena telah menyebarkan paham sesat lalu keluar dari Yunani. Socrates kemudian memilih untuk minum racun karena ia pikir jika ia menghindar untuk menyelamatkan dirinya dan badannya, berarti ia mengingkari hati nuraninya sendiri. Socrates termasuk ke dalam contoh manusia etis karena ia mau “menunda kesenangan—badani—nya untuk sebuah kebahagiaan yang lebih besar”. Menurut Kang Syarif, pada umumnya manusia itu bergerak dari estetis ke etis seiring dengan pertambahan usianya. Semakin ia bertambah dewasa, manusia semakin merasa harus melakukan hal-hal yang sebenarnya “tidak ia sukai”, semata-mata untuk menunaikan tanggung jawabnya.

Tahap yang terakhir adalah manusia religius. Bagi Kierkegaard, eksistensi yang paling tinggi itu dipahami ketika ia melompat pada keimanan. Iman merupakan sesuatu yang tidak berdasar, seperti lubang gelap. Karena tidak berdasar itulah, kita hanya bisa percaya, mengandalkan keimanan. Semakin orang menggantungkan kepercayaannya pada suatu hal yang abstrak dan absurd, semakin ia patut dipuji, menurut Kierkegaard. Karena sesungguhnya, antara rasionalitas dan iman terdapat sebuah jurang pemisah. Kita hanya bisa menjembataninya dengan melakukan sebuah “lompatan”. Jadi, ketika keputusasaan seseorang membawanya kembali pada Tuhan, sesungguhnya di sana terdapat lompatan terhadap level eksistensi yang paling tinggi. Mungkin itulah sumbangsih terbesar Kierkegaard: ia mencoba menguraikan makna keimanan. Kebanyakan orang mengatakan, “Tuhan ada dulu, baru kita percaya” namun Kierkegaard membalik premis tersebut. Ia bilang, “Kita percaya dulu, baru Tuhan ada”. Menurut Kang Syarif, Tuhan itu dapat kita percayai karena kita tidak bisa tahu apapun tentangNya. Saya pun menanggapi bahwa menurut saya Tuhan itu sangat tidak masuk akal. Namun, ketidakmasuk-akalan itu lah yang justru membuatNya menjadi masuk akal.

Di akhir diskusi, bpk mukhlis menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya semua filsuf eksistensialis memiliki garis pemikiran yang sama. Hanya saja, mereka memiliki solusi yang berbeda-beda. Kierkegaard memilih untuk melemparkan dirinya kepada Tuhan, pada akhirnya. Nietzsche memilih untuk berdiri di atas kakinya sendiri karena hal yang paling nyata dalam hidup menurutnya adalah manusia, Tuhan telah mati. Sedangkan Sartre berkata bahwa faktanya manusia itu bebas, dan kita tidak bisa melemparkan diri kemana-mana, kecuali pada kebebasan itu sendiri. Kelas filsafat kami mengenai filsuf-filsuf eksistensialis berakhir sampai di sini. byeee

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun