Satu bukanlah dua, tiga, atau empat.
Satu adalah angka nan istimewa, hanya milik-Mu.
Yang kuhayati dalam cinta yang tak bertepi.
Satu adalah harapan, impian, dan cita-cita.
Satu adalah Engkau, yang Maha Esa.
Satu, lambang pertama sebelum yang lainnya.
Ketika jiwa ini tersayat luka,
Ketika raga merindu hangatnya pelukan,
Hanya pada-Mu, Tuhanku, aku bersandar.
Dalam dekapan kasih-Mu,
Aku mendamba.
Wahai Tuhan yang Maha Esa,
Ketika bibir kelu tak mampu bersuara,
Ketika lidah membeku dalam keheningan,
Ketika nurani kehilangan rasa,
Dan akal tak lagi menemukan logika,
Di sanalah aku berteriak dalam diam,
Mencurahkan air mata yang membanjiri hati.
Dengan pilu aku berseru,
"Wahai Tuhanku yang Maha Esa,
Dimanakah Engkau?
Aku merindu kasih sayang-Mu.
Aku mendamba hangat cinta-Mu yang tulus."
Dalam keheningan, aku bersimpuh.
Melafazkan dzikir dan takbir memanggil nama-Mu.
Tiada pinta yang kulantunkan,
Tiada harap yang kumohonkan,
Selain satu---kasih sayang-Mu dan ridha-Mu.
Wahai Tuhanku,
Saat hati ini menangis,
Aku menjerit di relung terdalam,
Membawa luka yang tak terkata,
Menggema di jiwa nan hampa.
Aku bertanya,
"Dimanakah Engkau, wahai Yang Maha Segalanya?
Mungkinkah aku mendekap kehadiran-Mu?"
Di atas sajadah ini,
Aku meneteskan air mata keikhlasan.
Memohon ampunan,
Mencari ridha-Mu untuk membimbing langkahku.
Dengan menyebut nama-Mu,
Aku bersimpuh dalam penghambaan.
Memohon belas kasih dan rahmat-Mu,
Untuk menggenggam harapan dan menggapai cita-cita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H