Mohon tunggu...
Raisyah Antony Pasha
Raisyah Antony Pasha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka Membaca Buku dan Bertukar Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Psikologi Sastra Sebuah Teori Pembedah Karakter dalam Karya Sastra

6 Januari 2025   09:35 Diperbarui: 6 Januari 2025   09:35 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI Chat GPT & Old Man Thinking in his Room

Sigmund Freud adalah seorang neurolog Austria yang dikenal sebagai pendiri psikoanalisis, sebuah teori dan metode terapi yang fokus pada dinamika alam bawah sadar manusia. Freud mengembangkan konsep penting seperti id, ego, dan superego, serta mekanisme pertahanan psikologis. Hubungannya dengan sastra sangat signifikan, karena teorinya membuka wawasan baru tentang motivasi, konflik batin, dan simbolisme dalam karya sastra. Freud memengaruhi analisis sastra melalui konsep-konsep seperti mimpi sebagai bentuk simbolis, kompleks Oedipus, dan pengaruh alam bawah sadar dalam penciptaan karakter dan plot. Banyak penulis dan kritikus sastra menggunakan teori Freud untuk memahami kompleksitas psikologis tokoh-tokoh dan tema dalam karya sastra.

Psikologi dalam Studi Sastra

Psikologi merupakan salah satu pendekatan dalam studi sastra yang mempelajari masalah psikologis manusia dalam karya sastra, baik dari sudut pandang karya itu sendiri, pengarangnya, maupun pembacanya. McIntire, Goldie, William, dan Jennifer menunjukkan bahwa psikologi dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra. Dengan pendekatan ini, kita dapat memahami emosi dan karakter tokoh-tokoh dalam cerita dengan lebih mendalam. Analisis ini mencakup struktur, tema, dan aspek psikologis yang memengaruhi pembentukan karakter dalam cerita. Selain itu, pendekatan psikologi membantu kita memahami hubungan antar tokoh, motif tersembunyi dalam tindakan mereka, dan dinamika emosional yang terjadi di dalam cerita.

Dalam dunia sastra, banyak hal terkait psikologi dapat ditemukan, bahkan psikolog sering mempelajari karya sastra untuk memperdalam pemahaman mereka. Misalnya, pemikiran Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan Jacques Lacan yang mengembangkan teori-teori psikologi mereka sebagian berdasarkan studi terhadap sastra. Akibatnya, muncul teori-teori psikologi baru yang lahir dari interaksi dengan sastra. Psikologi menjadi bagian dari kritik sastra dengan cara membahas proses penciptaan karya, menganalisis psikologi pengarang, dan mempertimbangkan dampak karya sastra terhadap pembaca.

Pendekatan Psikologi dalam Kritik Sastra

Pendekatan psikologi dalam kritik sastra berkembang seiring popularitas ajaran Sigmund Freud. Freud berpendapat bahwa kreativitas pengarang adalah bentuk pelarian, sehingga kehidupan dan pengalaman pribadi pengarang menjadi kunci dalam menafsirkan karya mereka. Teori psikoanalisis yang diperkenalkan Freud pada tahun 1880-an menekankan bahwa pengalaman masa kecil sangat memengaruhi perkembangan kepribadian seseorang. Misalnya, trauma masa kecil dapat membentuk cara berpikir dan bertindak seseorang di masa dewasa. Pendekatan ini membuka jalan bagi kritik sastra untuk menggali lapisan-lapisan psikologis yang tersembunyi di balik narasi sebuah karya.

Freud memandang karya sastra sebagai refleksi dari konflik batin pengarangnya. Dalam pandangannya, tokoh-tokoh dalam cerita sering kali merepresentasikan aspek-aspek berbeda dari kepribadian pengarang. Misalnya, keinginan yang tidak terpenuhi, rasa bersalah, atau ketakutan mendalam. Dengan menggunakan teori ini, kritikus sastra dapat mengidentifikasi motif-motif bawah sadar yang membentuk alur cerita dan karakter.

Jacques Lacan melanjutkan tradisi Freud, tetapi dengan fokus pada pentingnya bahasa dan simbol dalam memahami diri. Lacan menekankan bahwa alam bawah sadar berperan penting dalam kehidupan manusia, tetapi ia menyoroti bagaimana bahasa membentuk dan merefleksikan pikiran bawah sadar. Dalam pandangan Lacan, sastra menjadi medium yang sangat efektif untuk mengeksplorasi hubungan antara bahasa, pikiran, dan pengalaman manusia. Ia percaya bahwa simbolisme dalam karya sastra tidak hanya mencerminkan pikiran pengarang tetapi juga mengungkapkan pengalaman kolektif pembaca.

Selain itu, Carl Gustav Jung menawarkan perspektif berbeda melalui konsep arketipe dan ketidaksadaran kolektif. Jung berpendapat bahwa karya sastra sering kali mencerminkan pola-pola universal yang ada dalam ketidaksadaran manusia. Arketipe seperti pahlawan, bayangan, atau ibu agung muncul dalam berbagai budaya dan cerita, memberikan karya sastra daya tarik universal. Dengan menganalisis arketipe ini, kita dapat memahami bagaimana cerita beresonansi dengan pembaca di berbagai latar belakang budaya dan historis.

Psikoanalisis: Pemahaman dan Aplikasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun