Sastra Indonesia telah lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan bangsa dan negara Indonesia dalam rentang sejarah. Sebagai produk budaya sastra Indonesia mencerminkan identitas dan kultural masyarakatnya, termasuk berbagai masalah universal yang menyangkut kehidupan manusia secara umum. Sastra Indonesia memiliki peran penting sebagai identitas nasional dalam percaturan antarbangsa. Bangsa, bahasa, dan sastra menjadi perekat kehidupan dalam suatu negara.
Sudah jelas bahwa penciptaan sastra Indonesia adalah bagian dari sejarah sastra dunia. Saat ini, masih ada perdebatan tentang kapan sastra Indonesia pertama kali muncul dan bagaimana membuat rujukan pada karya tersebut. Sampai saat ini, para pengamat sastra sejarah dan sarjana masih berdebat tentang apa yang menjadi dasar sastra Indonesia. Manfaat dari penulisan artikel ini adalah peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang awal sastra Indonesia.
Perkembangan sastra modern Indonesia tidak lepas dari peran Balai Pustaka. Awalnya, lembaga ini bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat, yang didirikan pada tahun 1908. Tujuan utamanya adalah menangkal apa yang disebut Belanda sebagai "bacaan liar"---sebuah istilah untuk buku-buku yang dianggap tidak pantas oleh pemerintah kolonial pada masa itu.
Belanda menuduh penerbit buku-buku tersebut sebagai pedagang buku yang tidak bermoral, penerbit yang tidak bertanggung jawab, atau bahkan penyebar pengaruh nasionalisme dan sosialisme yang mulai berkembang di kalangan pelajar muda. Untuk itu, pemerintah kolonial merasa perlu menyediakan bacaan yang dianggap "sehat" dan ringan untuk lulusan sekolah rendah.
Balai Pustaka juga berperan dalam memilih dan merekomendasikan bacaan yang sesuai untuk perpustakaan sekolah dan masyarakat pada masa kolonial. Dengan begitu, mereka memastikan bahwa bacaan yang beredar sesuai dengan kepentingan dan tujuan pemerintah kolonial.
Balai Pustaka awalnya dikelola oleh enam orang dan dipimpin oleh Dr. G.A.J. Hazeu, seorang Adviseur voor Inlandshe Zaken. Namun, sejak kedatangan Dr. D.A.R. Rinkes ke Hindia Belanda pada tahun 1910, perannya sebagai kepala komisi diambil alih olehnya mulai 8 November 1910. Sebelum itu, Rinkes sudah aktif sebagai pegawai bahasa di Kantoor voor Inlandsche Zaken. Kedua lembaga ini berada di bawah pengawasan Departemen Pendidikan (Departement van Onderwijs).
Ada pandangan bahwa Balai Pustaka dan Kantoor voor Inlandsche Zaken sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kepentingan kolonial. Lembaga-lembaga ini dianggap sebagai alat Belanda untuk mengontrol masyarakat lokal, mulai dari aturan sosial hingga kebijakan bahasa. Contohnya, para peneliti bahasa di kantor tersebut mempelajari bahasa-bahasa daerah, lalu menyusun tata bahasa sesuai versi mereka. Sayangnya, pendekatan ini sering kali bias, karena pengetahuan mereka didasarkan pada sudut pandang kolonial. Jadi, alih-alih benar-benar memahami budaya lokal, mereka malah memaksakan aturan dan struktur sesuai kepentingan pemerintah Belanda.
Pada tahun 1917, pemerintah Belanda mengubah Komisi Bacaan menjadi Kantoor voor de Volkslectuur atau Balai Pustaka. Struktur baru ini memiliki empat bagian: Redaksi, Administrasi, Perpustakaan, dan Percetakan. Tugas utamanya adalah menyediakan bacaan yang dianggap "membangun moral dan budaya" sekaligus mendorong apresiasi terhadap sastra. Namun, tujuan tersembunyi dari Balai Pustaka adalah melegitimasi kekuasaan Belanda di Indonesia.
Untuk itu, ada aturan ketat terhadap naskah-naskah yang diterbitkan. Rinkes, sebagai kepala pertama Balai Pustaka, menetapkan kriteria bahwa naskah harus netral secara agama, memenuhi standar moral, dan tidak mengganggu ketertiban maupun politik. Aturan ini kemudian dikenal sebagai Nota Rinkes.
Sebagai dampaknya, banyak novel Balai Pustaka menggambarkan tokoh Belanda sebagai pahlawan atau dewa penolong. Sebaliknya, pemimpin lokal seperti kepala desa, tokoh agama, atau haji sering kali digambarkan sebagai sosok kejam, tidak adil, atau bahkan hanya peduli pada urusan pribadi seperti menikah berkali-kali.
Balai Pustaka awalnya didirikan untuk menyediakan bacaan bagi masyarakat yang sudah bisa membaca, terutama lulusan sekolah dasar. Tujuannya, selain memberikan hiburan dan pendidikan, juga untuk mengalihkan perhatian mereka dari ide-ide sosialisme atau nasionalisme yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda.
Meski begitu, Balai Pustaka tetap memberikan kontribusi penting. Awalnya, mereka hanya menerbitkan buku-buku sastra daerah, kemudian mulai menerjemahkan atau menyadur cerita-cerita klasik dari Eropa, hingga akhirnya menerbitkan karya-karya baru.
Walaupun sudah berdiri sejak tahun 1908 dan berkembang lebih besar pada 1917, Balai Pustaka baru benar-benar aktif dan produktif pada tahun 1920-an. Di era itu, mereka mulai menerbitkan beragam buku, majalah, dan almanak. Buku-buku yang diterbitkan mencakup topik seperti kesehatan, pertanian, peternakan, budi pekerti, sejarah, adat istiadat, dan banyak lagi.
Balai Pustaka juga meluncurkan beberapa majalah populer seperti Sri Pustaka yang kemudian berganti nama menjadi Panji Pustaka (berbahasa Melayu, 1923), Kejawen (berbahasa Jawa, 1926), dan Parahiangan (berbahasa Sunda, 1929). Tirasnya pun cukup tinggi untuk ukuran zaman itu: Panji Pustaka mencapai 7.000 eksemplar, Kejawen 5.000, dan Parahiangan 2.500 eksemplar. Selain itu, Balai Pustaka juga menerbitkan almanak seperti Volksalmanak, Almanak Tani, dan Almanak Guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H