Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan adil, tanpa adanya diskriminasi, serta menghormati hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, budaya, dan keragaman bangsa. Pendidikan adalah hak dasar bagi semua warga negara Indonesia, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Setiap individu berhak mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Peran pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang merata sangat krusial dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan sektor pendidikan.
Pendidikan inklusi adalah layanan yang ditawarkan kepada semua siswa tanpa diskriminasi. Setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung, bersama dengan anak-anak lainnya. Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus (ABK), bukan untuk membedakan atau membatasi ruang belajar mereka karena kekurangan yang ada.Â
Menurut Biantoro dan Setiawan (2021: 89), pendidikan inklusif adalah pendekatan pendidikan yang menaungi kebutuhan anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, dan budaya. Sedangkan pendidikan inklusif menurut
Program pendidikan inklusi di sekolah bertujuan untuk menciptakan kebersamaan antara siswa dalam kelas, dalam lingkungan, dan layanan pendidikan yang sama. Interaksi antara siswa biasa dan anak-anak yang memerlukan dukungan khusus di lingkungan sekolah diyakini dapat memberikan dampak positif.
Faktanya, pelaksanaan sekolah inklusi di Indonesia saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan konsep dan pedoman yang telah ditentukan. Meskipun sejumlah sekolah inklusi telah didirikan untuk mendukung anak-anak dengan kebutuhan khusus atau disabilitas, masih ada berbagai masalah yang perlu diatasi, termasuk diskriminasi terhadap siswa berkebutuhan khusus. Diskriminasi ini seringkali muncul melalui kata-kata, seperti penggunaan bahasa yang kasar, nada tinggi, serta istilah-istilah yang mencerminkan perbedaan kemampuan, yang dapat mengarah pada penghinaan. Terkadang di dalam kelas terdapat anak yang tidak mau berteman dengan anak berkebutuhan khusus. Sehingga anak berkebutuhan khusus yang terdapat di sekolah inklusi seringkali tidak mau berangkat ke sekolah karna tidak ada yang mau berteman dengannya.
Salah satu penyebab diskriminasi ini adalah stigma sosial. Banyak orang masih memiliki pandangan negatif atau stereotip tentang anak berkebutuhan khusus, yang dapat menyebabkan perlakuan yang tidak adil.
Ada tiga jenis bullying yang sering terjadi di sekolah:
1.Bullying fisik, melibatkan tindakan fisik yang terlihat, seperti memukul, mencubit, mendorong, menginjak kaki, dan melempar barang.
2.Bullying  verbal,  melibatkan  kata-kata  yang  dapat  didengar,  seperti  mengancam, memberikan julukan, mengejek, menyebarkan gosip, dan menyoraki.
3.Bullying psikologis, melibatkan tindakan yang tidak terlihat atau terdengar, tetapi berdampak pada mental, seperti memandang sinis, mendiamkan, memelototi, dan mengucilkan.
Untuk mengatasi diskriminasi di sekolah, guru harus menciptakan lingkungan kelas yang aman dan nyaman, di mana semua siswa dapat merasa diterima dan dihargai tanpa takut terhadap penilaian negatif. Guru perlu mengajarkan siswa untuk saling menghargai budaya, ras, latar belakang, dan agama masing-masing, melalui pengenalan keindahan dan keunikan dari keberagaman. Selain itu, guru harus menetapkan dan mengkomunikasikan kebijakan anti-diskriminasi yang jelas, sehingga siswa memahami perilaku yang tidak boleh diterima dan konsekuensi dari tindakan diskriminatif. Serta untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan mendukung bagi siswa berkebutuhan khusus, guru perlu mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui proses pembelajaran atau program-program lain, dengan menekankan pengembangan sikap toleransi terhadap keberagaman. Hal ini memerlukan pengakuan terhadap keberadaan siswa berkebutuhan khusus dalam konteks pendidikan inklusif.
Pengelolaan kelas adalah elemen penting dalam aktivitas guru untuk menciptakan suasana pembelajaran yang baik. Ini melibatkan organisasi  dan pengaturan kondisi kelas agar siswa dapat belajar dengan efektif. Meskipun guru memiliki keterampilan dalam menyampaikan materi, jika suasana kelas tidak teratur, pengalaman belajar siswa dapat terganggu. Peran guru sebagai pengelola kelas tidak hanya sebatas pada persiapan, penyampaian materi, dan evaluasi hasil belajar siswa. Sebaliknya, tugas guru mencakup hal-hal yang lebih luas, seperti membina, menciptakan, memelihara, dan memperbaiki sistem atau organisasi kelas. Tujuannya agar peserta didik merasa nyaman dan termotivasi untuk belajar di lingkungan kelas. Tenaga pendidik, termasuk guru dan staf sekolah, juga sebaiknya mendapatkan pelatihan untuk mengenali dan menangani sikap kekerasan di sekolah. Dengan kolaborasi antara siswa dan guru, mereka dapat bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang lebih nyaman.Â
Dengan adanya lingkungan sekolah inklusif yang nyaman dan aman, dapat membuat anak berkebutuhan khusus dengan nyaman berinteraksi bersama teman sebayanya. Mereka juga akan lebih percaya diri karena mendapatkan dukungan yang tepat dan diterima di lingkungan sekolah. Siswa lainnya juga dapat memahami kebutuhan dan tantangan yang dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus, yang membantu membentuk budaya empati di sekolah. Serta Tenaga pendidik yang terlatih untuk memberikan dukungan khusus, membantu anak-anak dengan kebutuhan yang berbeda.
Sekolah inklusif tidak hanya memberikan manfaat bagi anak berkebutuhan khusus, tetapi juga bagi seluruh komunitas sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H