Mohon tunggu...
Rais syukur Timung
Rais syukur Timung Mohon Tunggu... Lainnya - Pena Nalar Pinggiran

* Omo Sanza Lettere * Muslim Intelektual Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi Riuh Kontestasi

23 Agustus 2020   19:23 Diperbarui: 23 Agustus 2020   19:29 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu Sederhannya Politik Itu, Kata Harold Lasswel : Who Get What, How and When.

Kau bisa bacakan Dalil tentang menyerang. Kau bisa bacakan dalil tentang bertahan. Kau bisa bacakan dalil tentang berseru. Kau bisa bacakan dalil tentang diam. Begitu Tutur "Ammar Abdillah". Lalu, dalil apa yang kau gunakan untuk membaca zaman?.

Dulu, Ketika Calon presiden : Prabowo acap bertutur, anti Asing?. Terlihat Gagah, Garang, mencecar dan melontari bahwa Anti Aseng. Seolah esok Untaian Zamrud Khatulistiwa ini terbelah, terpecah menjadi Puing.

Lalu, saat Jokowi menjadikannya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), ia seperti kaleng-Kaleng bahkan bertutur "China adalah Sahabat Kita". Padahal Natuna tidak sekedar diklaim China, tetapi kapal-Kapal mereka beroperasi bebas- berkeliaran didaerah Teritorial NKRI.

Berarti kita dulu tertipu?. Untuk menjawabnya, Saya teringat dengan Igauan " Jendral Cebol Napoleon Bonaparte" yang berkata, bahwa : "seorang pemimpin yang potensial adalah penjual dan pembeli harapan".

Dari dulu, kenapa mau ditipu. Itu namanya, lebih prabowo daripada Prabowo. Harusnya kita Mafhum bahwa mereka sedang menjalankan tugas sebagai politisi. Sedang melaksanakan kapitalisasi suara dan isu. Bisa berubah ketika kompromi terjadi.

Apakah Benar Prabawo telah menjadi Kaleng-kaleng?.
Kawan, Prabowo itu politisi. Namanya juga kontestasi. Jika Jokowi jualan Tempe, masa Prabowo juga jualan Tempe, mesti bedalah.

Kontestasi Politik itu Rutinitas. Kata "Paulo Coelho" : Hidup bukan tentang kalah dan menang, tetapi tentang prubahan. Seperti Doktrin Teologis : "Jangan terlampau mencintai , hingga kita lupa bahwa orang itu punya potensi untuk berbuat salah. Begitupun sebaliknya, jangan terlampau membenci hingga abai bahwa orang itu berpontensi benar". Dalam Politik, Naskah dapat ditulis, namum segala sesuatu dapat berubah dilapangan.

Semua itu karena pikiran kita tidak telanjang sehingga Kita lebih sering menyalahkan variabel permukaan (Aksiden) ketimbang Variabel Substansialnya. Kata Al Pacino, dalam Filem The god Father: "Tak ada hal yang bisa di putuskan sepihak, kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikam Y kepadaku". Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja disana, tapi juga kepentingan.

Akhirnya kita terlena, terbawa amarah, kadang gigi gemeretak. Juga air mata bercucuran, jantung berdetak-berdegub kencang dan menangis. Bahkan kadang membuka lembaran-lembaran suci untuk merepresentasikan rasa hati. Mengutip khazanah lama, acap juga menghubung-hubungkan dengan tanda-tanda alam empirik, pun tidak jarang mentamzilkan dengan mimpi semalam.

Manusia selalu berubah, tempatkan mereka pada posisi sepantasnya-Semestinya. Dalam teori Sosiologi Politik, tepatnya dalam pendekatan Fungsional : sebuah entitas akan senantiasa mencari "keseimbangan". Equilibrium Istilah lainnya. Dan biasannya, setelah kontestasi mereka akan mencari keseimbangan. Untuk mencari peluang melaksanakan tugas mereka dimasa mendatang. Polanya begitu terus dalam interaksi politik, hingga upin ipin lulus kuliah.

Politik itu bukan Duniannya Albert Einstein, dimana E=Mc2. Bukan pula dunia mekanika kuantumnya Stephen William Hawking, yang bagaimanapun rumitnya, tetap berjalan dalam rel sebuah rumus. Politik ialah dunia yang sangat dinamis, bergerak dalam ritme yang tidak terdeteksi. Ada panggung depan, ada panggung belakang, Tutur peletak Teori Drama Turgi "Earving Goffman". Bermusuhan kemudian saling berangkulan. Saling Jitak lalu saling elus. Maka sudah sepatasnya dihadapi dengan selera humor tinggi.

Sungguh politik praktis itu Cair. Demikian cair. Tidak pernah kental. Sebahagian dari kita saja yang menganggapnya keras dan statis.
Follow the money (ikuti saja kemana keuntungam mengalir) adalah Hukum bakunya. Dan sesama kita saling bertengkar. api telah padam, perapian masih tetap berasap. Ada yang menghebuskan untuk memadamkannya, pun ada yang menghebuskannya untuk menyalakannya.

Salahkah mereka?. Tidak, sebab hal itu niscaya dalam belantara politik kita. Kalkulasinya pasti ada, realitas paling Rasional, bukan emosional dan ujungnya adalah pragmatisme. Tidak ada yang mau merugi seutuhnya. Permusuhan mereka palsu. Persahabatan mereka palsu. Persahabatan saya, anda dan kita (Rakyat) yang asli.

Seumpama "penjual obat". beli obatnya seluruh penyakit yang bersemayam di batin dan Raga kita akan sembuh.
Jika dokter, yang umumnya tidak banyak bicara : menyarankan beberapa obat untuk satu penyakit. Justru penjual obat yang sering kita nikmati kampanyenya : menyarankan satu obat untuk seluruh penyakit. Semua orang terhipnotis. Bahkan orang yang terkagum-Kagum mengelilinginya. Dengan sukarela dompetpun dibuka dan obatpun dibelinya, uang berpindah. Resep tidak ada, petunjuk pun sederhana. Yakinlah, tidak ada yang bertanya : memangnya Si penjual Obat dulu sekolahnya dimana?.

Lalu, soal Tutur Prabowo bahwa China adalah sahabat kita, itu kontra dengan Isi Kampanyenya yang berapi-api itu.?.

Negara-negara kaya di Timur tengah sana sedang berusaha mendekati China atau Tiongkok. Berusaha menjadi sahabat terbaik dan belajar pada Negeri tirai Bambu. Tapi, China menghadirkan ketegangan diplomatik?. Ketegangan diplomatik, diselesaikan dengan Diplomasi. Sebab apa yang kita dapat dari otot dan senjata?. Memangnya kita mampu menang melawan tiongkok dalam perang?.

Nasionalisme, Kamu Kurang?. Siapa yang meragukan Nasionalisme Soekarno, Hatta, H. Agus Salim, Sjafruddin Prawiranegara dan Tokoh-Tokoh besar Republik ini, mereka tidak pernah berperang. Apakah Nasionalisme itu identik dengan Mesiu, senjata dan perang?.

Untuk itu saya Teringat Tutur  Seorang Penyair "Mohammad Darwis : sementara Kau sibuk berperang, pikirkanlah orang-orang selainmu. Jangan lupakan mereka yang menginginkan kedamaian.  

Mari kita sejenak Bertamasya Historis, pada Poetra Fajar (Soekarno) yang menjadi Magnet bagi kawan dan lawannya didunia internasional. Memang banyak referensi yang menyebutkan bahwa Soekarno adalah Presiden Ultra Flamboyan, Fashionable, Bentuk lain dari pencitraan. 

Tetapi Harga diri dan kemandirian adalah kata kunci dari perjuangannya. Ia merasakan derita dan mengeluarkan peluh keringat untuk sebuah bangsa yang bernama indonesia. Ia dan bangsanya tidak ingin jadi sampah "sejarah", ia ingin jadi "ingatan" orang banyak, menjadi magnet bagi pemimpin dunia lainnya. 

Dan indonesia berawal dari harga diri yang tercabik dan terhina oleh Kolonialisme, anak Haram dari Kapitalisme yang bertumpu pada Imprealisme. Maka itulah "muka tengadah", arah kedepan sambil tertunduk melihat " masa lalu" menjadi ikon pemikiran Si Bung yang menggelorakan optimisme.

Secara Teoritis, dalam Kajian Etika Politik: kekuasaan yang didapatkan seharusnya diarahkan untuk kemaslahatan ummat, walau bertentangan dengan Motto dan slogan yang diusung dan ditawarkan. Dalam Konteks Ini, saya teringat dengan "Den Xiao Ping : Jangan perdebatkan Warna Kucing, bila ia pandai menangkap Tikus. Pakai dan Gunakanlah.

Sementara itu dalam Interaksi politik praktis, ketika ingin merengkuh kekuasaan. Seluruh potensi Isu yang ada dimanfaatkan (Dikapitalisasi) secara maksimal sekalipun tidak mendidik, seperti Anti Asing, anti Aseng, Anti Asong dan sejenisnya. Padahal dalam prakteknya dan rekam jejak Historisnya, mereka menjadi bagian itu semua.  

Akhirnya, Mari kita renungkan Penuturan Orang besar dan terkenal asal prancis pasca Perang dunia Kedua ( Charles De Gaule) : " Politisi tidak pernah percaya atas Ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut jika rakyat mempercayaiannya.* Penulis adalah alumni Alumni Ilmu Pemerintahan.

* Coretan pena Nalar Pinggiran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun