Salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan manusia adalah kebijakan One Child yang mengatur secara ketat mengenai masalah kelahiran dengan memperbolehkan pasangan hanya memiliki satu anak. Sehingga berhasil menekan populasi dan angka kelahiran dan memunculkan masalah baru yaitu terjadi ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terjadi karena kepercayaan masyarakat China terhadap pemikiran tradisional yang lebih meninggikan derajat laki-laki ketimbang perempuan yang mengakibatkan terjadi kasus aborsi dan pembunuhan bayi. Akibatnya terjadi surplus keseimbangan jumlah, dimana laki-laki sulit mencari perempuan. Sehingga perempuan maupun anak-anak biasanya dijual kepada laki-laki yang memiliki ekonomi menengah kebawah di wilayah terpencil.
Dibalik hal itu semua, China tidak meratifikasi Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak (Protokol Trafficking In Person) China tidak memiliki undang-undang perdagangan manusia, China hanya memiliki Pasal 240 Undang-Undang Hukum Pidana Republik Rakyat Tiongkok (1997) mengenai perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak). Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah China hanyalah memulangkan korban, China hanya melakukan pelayanan terhadap korban perdagangan manusia yang memiliki beberapa kriteria yakni korban yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), korban yang sedang hamil.
Perdagangan manusia memberikan beberapa dampak negatif terhadap China yaitu,
- Ketidakjelasan status kewarganegaraan atas anak hasil perdagangan manusia akan sulit untuk diberikan pelayanan fisik, kesehatan maupun lainnya.
- Perkawinan lintas batas yang tidak didaftarkan merugikan imigran dan China, karena China akan mengidentifikasi orang-orang yang tidak memiliki dokumen sebagai orang yang ilegal sehingga akan di deportasi.
China lebih mengesampingkan upaya dalam menangani perdagangan manusia. Tetapi, China tetap memperlihatkan keinginan untuk menangani masalah perdagangan manusia melalui kerjasama dengan 6 negara Great Mekong Subregion (GMS) melalui MOU the Coordinated Mekong Ministerial Initiative against Trafficking (COMMIT). Dalam mengimplementasikan National Plan of Action (NPA) sebagai upaya menangani masalah perdagangan manusia. Namun NPA yang dijalankan oleh pemerintah kurang mengalokasikan dana dan pemerintah China tidak menuntut atau memberikan hukuman terhadap oknum yang terlibat, serta NPA hanya menangani masalah sex trafficking perempuan dan tidak menangani masalah labor trafficking dan sex trafficking laki-laki. Maka NPA belum berjalan maksimal.
Lalu kemudian, bagaimana kasus Human Trafficking yang menyita perhatian masyarakat di seluruh dunia dilihat dari kacamata studi perdamian ?
Dari segi analisis, kasus ini merupkan salah satu kejahatan melanggar HAM dan dapat terjadi karena terorganisir. Kasus ini termasuk dalam konflik internasional karena telah melibatkan beberapa negara. Permasalahan yang muncul sebagai konflik menimbulkan akar kejahatan yang berdampak pada kekerasan. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi adalah kekerasan secara langsung (direct violence). Kasus ini dapat dikatakan sebagai kekerasan secara langsung, karena kekerasan yang melibatkan perdangan manusia dalam hal ini termasuk dalam kontak fisik.
Dilihat dari segitiga kekerasan, sebenarnya apa motif dan faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan manusia ?
Berdasarkan analisis dari segitiga kekerasan, maka awal mula dari kekerasan langsung (direct violence) ini adalah kekerasan struktur (structure violence) dan kekerasan budaya (cultural violence). Bentuk dari kekerasan struktur sendiri itu dapat dilihat dari kegiatan eksploitasi manusia oleh jaringan yang terorganisir atas dasar kelemahan ekonomi. Dan kemudian terjadilah bentuk kejahatan secara budaya. Alur kekerasan ini beranjak ke tahap membiasakan hal tersebut untuk menyelesaikan permasalahan lain sehingga hal itu menjadi sebuah budaya, yang nyatanya penyelesaian masalah ekonomi seperti ini hanya akan dapat menimbulkan masalah baru.
Pada kasus ini, kejahatan terstruktur juga dapat dilihat dari sisi state exploitation (eksploitasi negara). Karen E. Bravo dalam artikel interrogating the states role in human trafficking menjelaskan konsep state exploitation. Asumsi Karen bahwa negara akan dieksploitasi dan berpotensi untuk diekploitasi oleh negara yang memiliki power lebih atau aktor privat atau swasta yang mendominasi. Aktor ini memanfaatkan struktur hukum internasional dan negara demi mendapatkan keuntungan dari pasar pekerja global dan untuk terlepas dari hukum kriminal internasional. Dalam analisis kasus, penyebab terjadinya eksploitasi manusia dapat dilihat dari sudut pandang state exploitation.
- 1.) Faktor eksternal dari negara lain yang lebih kuat
Dalam konteks ini negara lemah dipaksa mengabaikan isu perdagangan manusia karena desakan oleh negara yang memiliki power lebih
- 2.) Faktor internal yaitu ketidakmampuan negara
Power lebih Negara tidak mampu kebutuhan hukum, politik, sehingga masyarakat rentan menyediakan ekonomi untuk dieksploitasi dan menghadapi perdagangan manusia
- 3.) Aktor privat yang menggunakan negara sebagai alat