Mohon tunggu...
Raissa Putri Azahra
Raissa Putri Azahra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Siswa SMPN 7 Depok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sendiri Bukan Berarti Tak Berani

23 Agustus 2023   08:32 Diperbarui: 23 Agustus 2023   08:36 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Begitu banyak kata-kata penenang yang Ayah sampaikan untukku sejak kemarin. Banyaknya kata penenang, tak membuatku tenang. Rasa kegelisahan terus menghantuiku kemanapun aku berjalan. Pikiranku terus melayang entah kemana ia terbang, mataku memancarkan sinar redup sejak seminggu yang lalu. 

Ayah akan berangkat untuk bertugas di pelosok desa Papua, di sana ada masalah yang cukup serius. Entah sudah berapa banyak hembusan nafas yang aku keluarkan, meskipun tak mengurangi kerumitan di kepalaku ini. Banyak Doa yang aku panjatkan agar Ayah bisa pulang kembali dengan selamat sampai rumah ini lagi.

Menjadi abdi negara mungkin menjadi impian beberapa manusia, termasuk Ayahku. Beliau sudah banyak menggali informasi tentang dunia Kemiliteran sejak kecil. Ayah sangat tertarik dengan senjata-senjata panjang maupun pendek, senjata beracun maupun tidak beracun. 

Aku memang sering sekali ditinggal Ayah untuk bertugas. Mulai dari keluar kota, keluar pulau, atau bahkan keluar negeri. Setiap Ayah berpamitan untuk bertugas, perasaan gelisah terus muncul dalam diriku. Entah mengapa aku benar-benar takut untuk saat ini. Aku sendiri. Hanya ada aku di dalam rumah ini hari esok. 

"Anak Ayah yang hebat ini jangan melamun terus, nanti kalau tiba-tiba ada lalat masuk mata nggak berasa deh." Itu, Ayah. Tangannya membawa dua cangkir, yang aku tebak isinya adalah teh pahit yang sama sekali tidak diberi gula. Kebiasaan Ayah sejak dulu, meminum teh pahit sehari sekali. Sekarang tradisi itu diturunkan ke diriku.

"Jangan sedih-sedih, nak. Ayah janji, Ayah akan pulang dengan selamat tanpa kurang satupun. Tugas kamu itu cuman berdoa, agar Ayah bisa pulang kembali." Tangannya mengelus rambutku. 

Bibirku terasa kelu, banyak kalimat yang ingin aku sampaikan tetapi rasanya aku tercekat. Mataku memanas. Aku tak berani menatap wajah Ayah.

"Anak Ayah kan sudah sering Ayah tinggal untuk bertugas. Bahkan, ditinggal Bunda bertugas di luar kota pun kamu bisa. Jangan nangis ah, masa cengeng sih anak Tentara."

Aku berusaha mengutarakan candaan, "aku nggak nangis, Yah. Mataku hanya perih."

Ayah terkekeh, kepalanya menggeleng pelan. "Jangan pernah menyesal ya, Ra. Jangan pernah mengeluh karena menjadi anak yang jarang bertemu dengan orang tuanya. Ayah tau itu semua nggak mudah, tapi Ayah yakin kamu bisa."

Aku memberanikan menatap wajah damai milik Ayahku yang hebat ini, "Ayah bertugas untuk menjaga Negera ini, menjaga masyarakat, termasuk menjaga kamu dan Bunda. Bunda bertugas untuk mengobati orang sakit, membantu orang melawan penyakitnya. Kami sama-sama ingin membantu orang lain. Kamu tau itu kan? Jangan pernah merendah karena jarang bertemu dengan orang tua."

Mata Ayah menatap cahaya yang dipancarkan oleh ribuan bintang di atas kami, "Ayah bangga sama kamu, kamu bisa melalui semua ini sendiri. Ayah bangga, nak. Entah harus berapa kali Ayah mengucapkan kata bangga untukmu, rasanya dunia Ayah hanya untukmu. Anak Ayah hebat. Anak Ayah keren. Anak Ayah kuat."

"Aku nggak pernah menyesal, Yah. Aku bangga menjadi anak kalian. Aku bahagia, meskipun terkadang aku mempunyai rasa iri dengan teman-teman. Mungkin banyak sekali momen yang seharusnya di dampingi oleh kedua orang tua, tapi Ayah sama Bunda nggak bisa hadir. Banyak kegiatan yang aku ingin lakukan bersama kalian, tapi Ayah sama Bunda nggak di rumah. Banyak cerita yang ingin aku ceritakan, tetapi Ayah sama Bunda sibuk." Mataku benar-benar seperti kue coklat cair, meleleh. 

"Kalau boleh bilang, Rayi sedih. Rayi kecewa. Rayi marah. Rayi berantakan. Rayi juga butuh tempat untuk cerita, tapi Ayah sama Bunda nggak ada di sisi Rayi. Rayi nggak tau mau cerita sama siapa, Yah. Tapi Rayi sadar, nangis bukan pilihan yang tepat. Rayi cuman bisa bengong setiap teman-teman Rayi didampingi orang tuanya. Teman-teman Rayi bahagia. Makan malam bareng, jalan-jalan bareng, foto bareng. Sedangkan Rayi? Foto keluarga kita jarang, makan malam bareng kita juga jarang, apalagi pergi jalan-jalan bareng ya, Yah." 

"Bahkan, pertama kali Rayi melihat dunia ini, Ayah nggak ada di sisi Rayi. Ayah Upacara di Bandung. Karena Bunda juga sibuk kerja, Rayi dititipin ke Kakek sama Nenek. Rayi tumbuh bersama Kakek dan Nenek. Rayi makan selalu bareng sama Kakek dan Nenek. Rayi mulai sekolah, selalu diantar-jemput sama Kakek. Ayah sama Bunda sibuk kerja, ya? Iya, Rayi paham. Dulu Rayi masa bodo dengan kehidupan Rayi. Cuman semakin Rayi tumbuh besar, Rayi sedih. Kenapa Rayi cuman sendiri? Kenapa Ayah sama Bunda selalu sibuk?" 

"Rayi egois ya Yah, minta Ayah sama Bunda temenin Rayi kapanpun padahal Ayah sama Bunda lagi sibuk? Rayi minta maaf, Yah. Rayi cuman pengen ngerasain apa yang dirasa sama teman-teman yang lain. Tapi ternyata Rayi salah, sifat penasaran Rayi malah bikin Rayi jadi egois." 

"Sekarang Rayi nggak peduli mau seberapa sepi hidup Rayi. Asalkan Ayah sama Bunda balik ke rumah ini dengan keadaan sehat. Rayi janji, Rayi akan terus berusaha menjadi anak yang bisa membanggakan kedua orang tua Rayi. Membuat bahagia kedua orang tua Rayi, meskipun entah kapan kita semua bisa kumpul, tertawa bersama."

Tubuhku bergetar, isak tangisku terdengar. Ayah mendekap ku, hangat. Aku semakin menjadi mengeluarkan tangisan. Ayah menatap sendu. Sayang sekali, Bunda tidak ada di sini. Aku juga sangat merindukan Bunda.

Ayah mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku menghentikan isakanku dan mulai memperhatikan 'sesuatu' itu. "Ini untuk anak Ayah tersayang." 

Kalung, 'sesuatu' itu adalah kalung. Liontinnya menyilaukan gelapnya malam. Indah. Aku menyukainya. Liontin itu berbentuk huruf 'R' seperti awalan namaku.

Ayah tersenyum hangat sembari memasangkan kalung itu. "Maaf ya, Ayah baru bisa memberimu ini. Tapi Ayah benar-benar janji setelah Ayah pulang dari Papua, kita akan pergi jalan-jalan ke tempat yang Rayi inginkan."

Rayi tersenyum terharu. Ia memang sering kesal dengan orang tuanya, tetapi orang tuanya mempunyai cara tersendiri untuk kembali meluluhkan amarahnya. 

"Ayah sama Bunda minta maaf karena belum bisa jadi orang tua yang baik. Di saat Rayi butuh teman untuk cerita, Ayah sama Bunda nggak ada di sisi Rayi. Maaf Ayah sama Bunda nggak bisa menyaksikan langsung pertumbuhan Rayi dari kecil sampai sedewasa sekarang."

"Satu hal yang harus kamu ketahui dan kamu ingat selalu Rayi, Ayah sama Bunda akan terus selalu sayang sama kamu. Selalu menjaga kamu meskipun nggak ada di sisi kamu. Ayah sama Bunda selalu berusaha nyari cara agar kamu bahagia meskipun kami jauh dari Rayi."

Rayi tersenyum, perasaannya yang semula sesak seperti terhimpit di antara dua sisi sempit kini terasa lega. "Rayi sayang sama Ayah dan Bunda. Rayi nggak pernah menyesal dilahirkan di keluarga ini. Rayi akan menjadi orang sukses, agar Ayah dan Bunda bangga. Ayah dan Bunda bisa pegang perkataan Rayi. Rayi janji."

Kelingking kami terpaut di bawah kilauan bintang. Saling berpelukan adalah hal yang menenangkan, dan sangat sulit untuk aku mendapatkan pelukan hangat dari orang tua.

"Ayah dan Bunda juga sayang sekali dengan Rayi. Ayah dan Bunda janji akan selalu bersama Rayi sampai Rayi menjadi orang sukses nantinya. Ingat itu selalu."

Ribuan bintang menjadi saksi bagaimana semua masalah yang telah aku hadapi terungkap. Sekarang aku bisa lebih tenang untuk melangkah hari esok, pastinya tanpa Ayah dan Bunda di rumah. 

Aku selalu berharap semuanya akan berjalan sesuai harapanku. Aku sangat yakin semuanya sempurna. Aku, Ayah dan Bunda akan selalu bersama sampai kapanpun. Bintanglah yang menjadi saksi setiap janjiku. Tolong bantu aku ya, bintang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun