Saya bingung sejak kapan masyarakat terkonstruksikan bahwa yang jelek itu lebih keren. Keburukan-keburukan yang dilakukan secara intensif oleh banyak orang, pada akhirnya akan menjadi suatu hal lumrah. Nantinya jika kita melakukan yang bertentangan dengan kesalahan yang telah diterima ini, maka pada akhirnya kita yang menjadi "salah" dan disalahkan. Ketika kita dihadapkan dengan wacana tentang maraknya aksi korupsi di Indonesia, pada akhirnya kita akan bilang, "Ah korupsi.. Udah biasa itu mah." Pengakuan ini akan menjadi  semacam legitimasi yang justru akan melanggengkan kebusukan ini.
Proses untuk diterimanya "matahari sebagai pusat alam semesta" dan "bumi itu bulat, bukan datar" itu memakan waktu yang sangat lama. Sang penemu kebenaran bahkan harus dipenjara. Walau pada akhirnya, dunia mengakui kalau hal yang ia sampaikan itu benar.
Hitler bahkan bilang kalau "Kebohongan jika diucapakan 1000 kali, bisa menjadi kebenaran."
Ada apa dengan yang baik-baik? Kenapa promosinya tidak mampu untuk bisa se-memikat yang buruk? Kenapa bisa kalah dengan yang buruk?
Menurut saya, banyak hal-hal baik yang "kurang punya tempat" karena "strategi pemasarannya" tidak inovatif. Sering kali, hal-hal baik ini bertahan dengan "idealisme kebaikannya" tanpa berupaya mengutak atik bagaimana cara membuat orang untuk tertarik melakukannya.
Semisal dalam kompetisi antara A dan B. A adalah orang yang bermain jujur dan bersih. Sementara B sebaliknya. Selama pertandingan berlangsung, A sering kali mendapatkan efek dari kecurangan B yang sangat merugikannya. Namun, A bertahan dengan bilang "Tenang, pada akhirnya kebenaran akan menang." Namun selama masa bertahannya ini, A harus pula menerima terpaan bully-an yang bikin ia menahan sakit hati atau mungkin "sakit" secara materi. Nrimo produk kejahatan orang lain begitu saja, intinya.
Ini sama seperti sinetron-sinetron dimana tokoh utama protagonisnya diceritakan sebagai seorang korban yang lemah, menerima segala tindak tanduk kejahatan sang antagonis. Kemudian ia hanya berpasrah kepada Tuhan. Sehingga tidak jarang tokoh utama protagonis ini selalu terlihat menangis. Menangis terus, seakan itu bisa menyelesaikan masalah atau membuat keadaan lebih baik. Padahal disisi lain tokoh antagonis selalu punya seribu satu cara kreatif untuk membuat hidup si protagonis ini sengsara. Kenapa si protagonis tidak bisa lebih kreatif dalam posisi defense dan offense?
Bukankah kita harus : cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati?
Permasalahannya, kebanyakan kebenaran hanya berusaha dalam tahap "tulus seperti merpati". Padahal dua frase ini sudah cukup menyatakan perlu adanya keseimbangan. Yang baik diijinkan untuk melawan, berpromosi, bertaktik yang benar (cerdik) dan pada akhirnya bisa mencapai kemenangan.
Oleh karena itu, stay clean dengan cara old school seperti "memegang spanduk kebenaran tanpa berusaha untuk berjalan-jalan, berteriak-teriak, atau cara lainnya guna membuat spanduk itu terlihat oleh banyak orang, disertai tawaran yang di kemas "kinclong" supaya orang lain tertarik- harus ditinggalkan!
Kebenaran itu harus cerdik. Harus pintar. Harus mampu melihat situasi, kondisi, sasaran dan harus mampu memetakan strategi pemasarannya yang benar.