Mohon tunggu...
Raisha Panggabean
Raisha Panggabean Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Jangan tanya di genre apa tulisan saya bisa ditempatkan. Saya hanya mengarsipkan sebagian kecil dari isi kepala saya yang berantakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Benar Kurang "Menjual"

28 Juni 2013   21:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:16 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya bersekolah di swasta Katolik ketika menempuh bangku Sekolah Dasar. Saya lupa dalam rangka apa (mungkin Dies Natalis), namun ketika kelas 3 SD, sekolah saya mendatangkan seorang Frater. Sayapun lupa, siapa nama Frater itu. Pak Frater yang masih muda (dan ganteng) itu sedang menempuh pendidikan seminari, berdiri diatas panggung yang didirikan dilingkungan TK kami. Saya ingat sekali, dia berperawakan tinggi, kulit putih, dan jenaka, namun juga terlihat berwibawa dengan seragam khas seorang Frater yang berwarna putih bersih.

Saya dan teman-teman yang lain diminta memperhatikan Pak Frater yang sedang berkotbah. Saya berdiri didepan panggung, kalem dan mendengarkan cerita Pak Frater (yang anehnya, saya ingat setiap detailnya sampai sekarang).

Kira-kira begini cerita Pak Frater..

Ada seorang anak laki-laki yang bernama Roni (anggap saja begini) yang diberi kesempatan untuk melihat surga dan neraka. Ia dibawa dalam tidurnya oleh seorang malaikat Tuhan. Pada perjalanan pertama, malaikat membawa Roni ke surga. Sesampainya di surga, melihat apa-apa saja yang ada didalamnya. Ia menyaksikan banyak orang berbaju putih bersih, ditaman yang indah, muka yang adem ayem dan banyak kafling-kafling rumah siap pakai. Roni kagum melihat itu semua. Sang malaikat menjelaskan pada Roni,  "Ron, ini namanya surga. Kalau kamu mau masuk surga, kamu harus jadi anak yang baik. Takut akan Tuhan, selau mendengar firman Tuhan dan taat akan perintahNya selama kamu hidup. Nanti ketika kamu mati, kamu akan langsung masuk surga." Roni mengangguk mengerti.

Perjalanan mereka kemudian berlanjut ke neraka. Tidak seperti gambaran yang ia terima di bumi lewat cerita-cerita rohani yang menempatkan neraka sebagai tempat yang penuh naas dan derita, Roni justru menyaksikan pemandangan lain. Di neraka itu, Roni melihat berbagai orang berkumpul disana, bercanda tertawa dengan penuh kebahagiaan. Di sudut ruangan ada anak kecil bermain dingdong (tau gak? :D), ditengah-tengah ruangan banyak orang berkumpul menikmati musik disko dengan dentuman suara dari speaker bass yang mantep dan lampu sorot berwarna-warni mewarnai ruangan gelap itu. Sebelas dua belas sama tempat clubbing. Raja neraka melambai padanya dengan senyum ramah dari depan kerumunan.

Roni tersentak dengan betapa bebas dan senangnya hidup di neraka. Malaikat kemudian melihat ke arah Roni dan berkata, "Ron, ini namanya neraka. Ini tempatnya orang-orang yang suka membangkang. Yang suka berbuat jahat, suka melawan orang tua, bandel dan terlebih nggak suka taat sama perintah Tuhan. Ngerti, Ron?"

"Ngerti, pak malaikat.." Jawab Roni sambil manggut-manggut.

"Okelah, Ron. Udah saatnya kamu balik ke bumi untuk melanjutkan hidup. Toh belum waktunya kamu mati. Sekarang tinggal kamu harus menjalani kehidupanmu sesuai pilihanmu akan mau masuk surga atau neraka setelah mati nanti" Malaikat kemudian menempatkan jiwa Roni kembali ke badannya. Pada keesokan harinya, Roni terbangun dengan visi baru diotaknya. Ia sudah menetapkan ingin kemana ia setelah mati nanti.

Roni menjalani kehidupannya dengan sembrono, mengecewakan orang tuanya, mengambil milik orang lain, tidak pernah ke gereja, dan terlebih kupingnya bisa berdarah kalau mendengarkan Firman Tuhan. Ia minum alkohol sampai mabuk, dan melakoni segala banyak "kegiatan" yang akan membimbingnya ke tujuan utama after lifenya, neraka.

Suatu saat Roni sekarat karena ketabrak mobil akibat memenuhi indikator kegaulan anak muda jamannya dengan kebut-kebutan di jalan raya. Didalam kesekaratannya, Roni makin bahagia. "Sebentar lagi saya akan ke neraka. YES! Saya bisa lebih bersenang-senang dari pada sekarang. Bersenang-senangnya nggak terbatas waktu, pula!"

Saat itu juga Roni menghembuskan nafas yang terakhir. Jiwa Roni terbang melayang langsung menuju neraka. Sesampainya di neraka, senyum sumringahnya berubah menjadi kengerian. Tidak ada lagi lantai dansa, permainan dingdong, degup speaker aktif yang bagus, lampu kerlap kerlip, ataupun orang-orang yang bersukacita di lantai dansa. Pemandangan itu berganti menjadi sebuah ruangan dengan panas api yang menyala-nyala, dimana ribuan jiwa terkungkung tidak berdaya karena dibakar oleh panas api abadi yang tidak kunjung melenyapkan jiwa mereka. Jiwa-jiwa itu berteriak-teriak minta tolong pada Roni untukmembawa mereka keluar dari neraka. Roni tidak mampu menahan perasaan ngeri, namun ia juga sadar kalau sebentar lagi akan menjadi salah satu dari mereka.

"Selamat datang kembali, Roni!!" Raja neraka menyambutnya dengan senyum licik dan jahat. Seketika itu juga, jiwa Roni terkungkung seperti jiwa-jiwa lainnya. Api abadi mulai membakarnya. Roni menjerit kepanasan. Disaat seperti itu, ia masih menuntut "Mengapa bisa begini? Bukankah ketika pertama kali kesini, tempat ini penuh dengan sukacita dan pesta pora? Kenapa sekarang begini??" Roni menjerit.

Dengan santainya, Raja Neraka menjawab "Oooooohh, itu kan dulu pas kami lagi promosi.."

Begitulah kisah hidup si Roni yang kemakan iklan neraka.

*tunggu, saya tarik napas dulu. Kalau dibaca-baca lagi, cukup serem ya* -_-

Satu hal yang saya pelajari dari kisah ini, bahwa neraka punya strategi pemasaran yang lebih baik daripada surga. Iyalah, kalau saya jadi Roni, saya pasti akan menganggap bahwa surga adalah tempat yang monoton dimana orang berlalu lalang dengan muka tenang dan berpakaian serba putih. Jika mengikuti gejolak kawula muda saya, promosi gambaran neraka yang ditunjukkan pada Roni memang terlihat lebih atraktif.

Tidak jauh berbeda dengan kehidupan nyata, bahwa seringkali yang buruk mempunyai daya tarik yang lebih dasyat daripada yang baik itu sendiri.

Dulu saya pernah mengalami fase bangganya bisa menyontek ketika ujian. Saya dan teman-teman menciptakan sebuah sistem pernyontekan yang lumayan sadis dan bisa mengelabui gurukami. Merancang  ode misalnya," Untuk jawaban A, usap rambut. Untuk jawaban B, elus jidat. Untuk jawaban C, korek-korek kuping. Untuk jawaban D, gosok-gosok dagu." Jujur saja, kami bermain rapih kala itu dan belum pernah ada yang tertangkap basah oleh guru. Dan parahnya, kami sukacita sekali ketika merancang ini semua. Sekarang ketika mengingat-ingat "dulu gue belajar apa pas masa ini?" Saya pun tidak bisa meraih ingatan itu. Ataupun ketika dimintai tolong sepupu saya selevel saya dulu, untuk menyelesaikan soal yang juga dulu saya pernah pelajari, saya tidak mampu menolongnya. Jaman sekolah dulu, saya mainannya instan sekali. Jadi sekarang saya bodoh.

Kami para kaum hawa seringkali naksir pada bad boys. Jenis cowok yang paling urakan, berada dibarisan paling depan dalam membangkang guru, bolos sekolah, kabur dari sekolah dengan memanjat pagar, knalpot motornya bising, paling sering dipanggil ke ruangan guru, tentu saja dengan tampang yang bisa saya kategorikan dengan : menggetarkan hati, menggoda iman. Pada akhirnya ketika dipacari, wanita-wanita ini kemudian menyadari bahwa bad boys cuma enak diliat, selebihnya "enggak bangeeet"

Kita pun sering mendengar bahwa "berita buruk lebih menjual daripada berita baik." Kemungkinan besar, inilah alasan kenapa stasiun-stasiun tv swasta nasional yang jumlahnya naujubile banyaknya itu selalu mengedepankan kritik sana sini. Sayangnya, kritik tidak diseimbangi dengan saran untuk memperbaikinya.

Mereka mengekspos kesalahan demi kesalahan yang dilakukan SBY dan cacat cela pemerintahan lainnya dengan sedikit sekali mengumbar prestasi. Masyarakat jadi tidak mendapat informasi yang seimbang dan berbobot. Wong, SBY punya account twitter saja dijadikan tema utama perbicangan di sebuah stasiun tv dengan menghadirkan narasumber profesional. Atau perkara Farhat Abbas yang suka berbicara njeplak tidak karuan, malah itu yang sering ditampilkan. Coba bayangkan siapa yang tidak gondok kalau setiap buka sosial media (terutama twitter), para media yang punya account twitter ini selalu menyajikan link-link dengan judul berita tidak penting seperti "Farhat Abbas Ancam Bubarkan Cowboy Junior" atau "Datang Naik Mercy Mewah, Sefti Pulang Pakai Avanza" atau yang lebih parah : "Pacar baru Justin Bieber Sudah Bersuami?" Saya sebel sama hal-hal tidak penting seperti namun justru dijual sama media. Bagaimana mau mendidik masyarakat?

Atas dasar "biar kena label gaul" pun banyak sekali anak muda terjebak dalam konsumsi rokok, minuman keras, dan narkoba yang cuma "keren dilihat" dan ternyata membawa kerusakan ketika dijalani. Dalam level pergaulanpun, seringkali kita memisahkan diri dari teman-teman yang baik karena mereka terlihat biasa saja. Sementara kita ingin yang luar biasa.

Saya bingung sejak kapan masyarakat terkonstruksikan bahwa yang jelek itu lebih keren. Keburukan-keburukan yang dilakukan secara intensif oleh banyak orang, pada akhirnya akan menjadi suatu hal lumrah. Nantinya jika kita melakukan yang bertentangan dengan kesalahan yang telah diterima ini, maka pada akhirnya kita yang menjadi "salah" dan disalahkan. Ketika kita dihadapkan dengan wacana tentang maraknya aksi korupsi di Indonesia, pada akhirnya kita akan bilang, "Ah korupsi.. Udah biasa itu mah." Pengakuan ini akan menjadi  semacam legitimasi yang justru akan melanggengkan kebusukan ini.

Proses untuk diterimanya "matahari sebagai pusat alam semesta" dan "bumi itu bulat, bukan datar" itu memakan waktu yang sangat lama. Sang penemu kebenaran bahkan harus dipenjara. Walau pada akhirnya, dunia mengakui kalau hal yang ia sampaikan itu benar.

Hitler bahkan bilang kalau "Kebohongan jika diucapakan 1000 kali, bisa menjadi kebenaran."

Ada apa dengan yang baik-baik? Kenapa promosinya tidak mampu untuk bisa se-memikat yang buruk? Kenapa bisa kalah dengan yang buruk?

Menurut saya, banyak hal-hal baik yang "kurang punya tempat" karena "strategi pemasarannya" tidak inovatif. Sering kali, hal-hal baik ini bertahan dengan "idealisme kebaikannya" tanpa berupaya mengutak atik bagaimana cara membuat orang untuk tertarik melakukannya.

Semisal dalam kompetisi antara A dan B. A adalah orang yang bermain jujur dan bersih. Sementara B sebaliknya. Selama pertandingan berlangsung, A sering kali mendapatkan efek dari kecurangan B yang sangat merugikannya. Namun, A bertahan dengan bilang "Tenang, pada akhirnya kebenaran akan menang." Namun selama masa bertahannya ini, A harus pula menerima terpaan bully-an yang bikin ia menahan sakit hati atau mungkin "sakit" secara materi. Nrimo produk kejahatan orang lain begitu saja, intinya.

Ini sama seperti sinetron-sinetron dimana tokoh utama protagonisnya diceritakan sebagai seorang korban yang lemah, menerima segala tindak tanduk kejahatan sang antagonis. Kemudian ia hanya berpasrah kepada Tuhan. Sehingga tidak jarang tokoh utama protagonis ini selalu terlihat menangis. Menangis terus, seakan itu bisa menyelesaikan masalah atau membuat keadaan lebih baik. Padahal disisi lain tokoh antagonis selalu punya seribu satu cara kreatif untuk membuat hidup si protagonis ini sengsara. Kenapa si protagonis tidak bisa lebih kreatif dalam posisi defense dan offense?

Bukankah kita harus : cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati?

Permasalahannya, kebanyakan kebenaran hanya berusaha dalam tahap "tulus seperti merpati". Padahal dua frase ini sudah cukup menyatakan perlu adanya keseimbangan. Yang baik diijinkan untuk melawan, berpromosi, bertaktik yang benar (cerdik) dan pada akhirnya bisa mencapai kemenangan.

Oleh karena itu, stay clean dengan cara old school seperti "memegang spanduk kebenaran tanpa berusaha untuk berjalan-jalan, berteriak-teriak, atau cara lainnya guna membuat spanduk itu terlihat oleh banyak orang, disertai tawaran yang di kemas "kinclong" supaya orang lain tertarik- harus ditinggalkan!

Kebenaran itu harus cerdik. Harus pintar. Harus mampu melihat situasi, kondisi, sasaran dan harus mampu memetakan strategi pemasarannya yang benar.

Satu hal yang saya paham, kebanyakan kesalahan bisa bertahan eksis karena mereka mengusung "komunalisme". Nilai-nilai kebersamaan dan sukacita mereka tawarkan disana. Pantas sekali jika mereka laris manis.

Selamat menyusun strategi promosi kebenaran!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun