Pada bulan November 2018, isu mengenai kekerasan seksual kembali menarik perhatian publik secara masif  setelah adanya pemberitaan pada Balairung Press mengenai kasus pemerkosaan terhadap mahasiswi UGM, Agni (bukan nama sesungguhnya), oleh rekannya pada saat melakukan kegiatan KKN di Maluku tahun 2017.
Dalam pemberitaannya, dijelaskan bahwa meski Agni telah melaporkan kasus tersebut kepada pihak kampus---DPkM. Namun, mereka belum memberikan sanksi tegas kepada pelaku pemerkosaan yang juga merupakan mahasiswa UGM. Selain itu, dalam proses pelaporannya, Agni malah turut disalahkan atas kasus yang menimpanya. Pihak kampus menganggap bahwa kasus pelecehan seksual yang dialami Agni bukan termasuk pelanggaran berat sehingga tidak memerlukan penanganan serius.
Dalam usaha Agni mengadvokasi dirinya, alih-alih mendapatkan hasil yang mendukungnya, ia malah mendapatkan nilai C atas KKN-nya dengan alasan bahwa Agni turut bersalah sebab baik Agni dan pelaku pemerkosaan sama-sama berkontribusi atas kejadian tersebut.
Dalam pemberintaannya menjelaskan bahwa sepanjang tahun, sejak peristiwa tersebut terjadi hingga proses pelaporan, Agni belum mendapatkan rasa aman sebab pihak rektorat belum memberikan respon positif terkait rekomendasi yang diberikan oleh tim investigasi kasus Agni.[1]
Kasus Agni merupakan salah satu kasus kekerasan seksual dari banyaknya kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan. Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan seksual yang dilakukan melalui paksaan atau tanpa persetujuan korban oleh siapapun dan di manapun tanpa memerhatikan hubungan pelaku dengan korban.
[2] Tindak kekerasan seksual sendiri dapat terjadi di berbagai ruang lingkup, baik di ruang privat, ruang publik, hingga dunia maya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya terdapat 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap harinya.
Pada tahun 2012 sendiri, telah tercatat 4336 kasus kekerasan seksual, di mana 2920 kasus terjadi di ranah publik atau komunitas. Dalam datanya mengungkapkan bahwa setiap 3 jam, setidaknya terdapat 2 perempuan yang mengalami kekerasan seksual.[3]
Dalam merespon fenomena kekerasan seksual di Indonesia, pemerintah sendiri telah membentuk berbagai landasan hukum dan jaminan perlindungan dari tindak kekerasan seksual yang mana salah satunya termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 285, 286, 287, 290, dan 291.
Kendati demikian, peranan pemerintah dalam hal legislasi ini masih terbilang lemah. Berdasarkan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menunjukkan bahwa pengaturan dalam KUHP mengenai kekerasan masih sangat terbatas baik terkait diksi-diksi hukum yang tertera maupun dalam hal perlindungan terhadap korban dan saksi, pencegahan, serta pemulihan korban yang dilakukan melalui pendampingan secara medis ataupun psikologis. [4]
Fenomena kekerasan seksual yang terjadi dapat menggambarkan kualitas kesetaraan gender di Indonesia, sebab tingginya tingkat kekerasan seksual tidak dapat terlepas dari isu kesetaraan gender. [5] Apakah kesetaraan gender merupakan salah satu akar penyebab kekerasan seksual di Indonesia? Dan, bagaimana sebenarnya solusi yang terencana dan konsisten terkai pemberdayaan perempuan di Indonesia? Kekerasan yang dilakukan secara eksklusif oleh laki-laki terhadap perempuan didukung oleh adanya ketidaksetaraan berbasis gender pada level sosial seperti halnya budaya, sosial, norma agama, dan ketimpangan ekonomi.[6]
Apabila melihat secara makro, dengan mengambil kasus yang dialami Agni, dapat dilihat bahwa perempuan masih menjadi kelompok gender yang rentan di Indonesia.Â
Kekerasan berbasis gender yang terjadi berangkat dari disparitas gender yang masih terlalu besar. Disparitas gender memberikan dampak yang signifikan terhadap perempuan yang kemudian membentuk kerentanan terhadap aspek-aspek dasar kehidupan perempuan termasuk di dalamnya perlindungan sosial. [7] Hal ini yang kemudian dapat membebaskan perilaku kekerasan seksual dari hukum legal-formal yang berlaku.
Maka dari itu, KUHP yang telah dibentuk oleh pemerintah masih belum cukup. Sebab, berdasarkan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Komnas Perempuan et al, 2016) menyebutkan bahwa dalam  KUHP tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual dalam segala aspeknya.
Dalam KUHP pun tidak memuat pengaturan tata cara khusus melakukan proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap korban kekerasan seksual yang berdampak pada munculnya viktimisasi terhadap korban (victim blaming). Selain itu keterangan saksi juga tidak dapat menjadi dasar untuk menunjukkan tersangka bersalah.
Kondisi inilah yang kemudian membuat para korban kekerasan seksual enggan untuk melapor dan menuntaskan ke pihak yang berwajib. Hal tersebut tentu membuat perilaku kekerasan seksual masih marak terjadi, termasuk kasus pemerkosaan yang menimpa Agni dan lemahnya peranan pihak kampus dalam menangani dan merespon kasus tersebut.
Kasus pemerkosaan terhadap Agni pun mendapat respon dari masyarakat kemudian membentuk Aliansi 'Kita AGNI' yang menuntut pihak universitas untuk segera memberikan keadilan bagi korban dengan menunda kelulusan pelaku pemerkosaan hingga kasus tersebut tuntas.
Balairung Press menyebutkan bahwa sikap pihak kampus terkait kasus ini tidaklah ramah dan tidak memiliki perspektif keadilan gender.[8] Aksi yang dilakukan oleh aliansi tersebut juga mewakili suara para korban yang pernah mengalami tindak kekerasan seksual namun hingga kini masih belum ditangani dengan serius. Aksi tersebut memberikan pesan bahwa para korban pelecehan seksual tidak berjuang sendirian.
Sikap institusi yang cenderung mengabaikan fenomena kekerasan seksual ini tidak terlepas dari lemahnya aturan perundang-undangan yang juga berangkat dari tingginya disparitas gender yang ada di masyarakat. Guna mendorong sikap positif yang memberikan keberpihakan pada korban, diperlukan aturan legal-formal yang tegas dan jelas khususnya terkait kasus kekerasan seksual.
Aturan yang termuat dalam KUHP masih belum cukup untuk menangani kasus kekerasan seksual, yang kemudian membuat sikap istitusi terkait cenderung mengabaikan kasus Agni. Bila dilihat secara lebih luas lagi, Komnas Perempuan bersama para aktivis perempuan pun telah bergerak dan berjuang agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan oleh lembaga legislatif.
Hal tersebut dilakukan karena dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur lebih detil mulai dari diksi serta bentuk-bentuk kekerasan seksual, aturan mengenai penghukuman dan pemidanaan pelaku, aturan terkait penanganan terhadap korban, dan adanya perubahan terkait hukum acara yang lebih memudahkan dan memberikan akses keadilan bagi korban sehingga penegak hukm diwajibkan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan memenuhi hak-hak korban.[9]
Dengan adanya kejelasan aturan yang sangat mendetail seperti yang termuat dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dapat mengurangi tingkat disapritas gender yang ada dalam masyarakat Indonesia sehingga masyarakat dapat dengan aman terlindungi di bawah payung hukum yang ada. Hal ini pula yang kemudian dapat membantu mengurangi tingkat kekerasan seksual.
[9] Erdianto, Kristian. 2018. Ini Alasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Segera Disahkan. Kompas.com. Diakses pada 25 Desember 2018
https://nasional.kompas.com/read/2016/05/12/06075791/Ini.Alasan.RUU.Penghapusan.Kekerasan.Seksual.Harus.Segera.Disahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H