Mohon tunggu...
Raisa
Raisa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Seorang pelajar yang suka membaca dan menulis. Berusaha jadi remaja yang produktif. Cinta kebebasan dan novel historical fiction.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daerah yang Berdarah

18 Agustus 2024   19:34 Diperbarui: 18 Agustus 2024   19:51 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PRANG!

BUGH!

SREK!

Aku berlari kencang masuk ke dalam rumah, lalu menutup dan mengunci pintu seperti orang kesetanan. Dengan napas terengah-engah, aku duduk di pojok kamar seraya memeluk lutut. Kugenggam erat satu bungkus kopi yang baru kucuri dari warung. Ruangan yang gelap dan pengap ini membuat napasku makin sesak. Bunyi kekacauan di luar sana masih samar-samar terdengar di telinga.

Sering kudengar, maling yang ketahuan mencuri biasanya akan dikejar warga, dimaki-maki, lalu dipukuli sampai mati. Namun bukan itu yang membuatku takut setengah mati, meskipun aku memang mencuri. Rasanya aku makin gila setelah jadi warga transmigrasi. Siapa yang akan hidup nyaman di tengah-tengah pembantaian? Daerah ini semakin berdarah. Sampit makin kelam.

Baru saja aku tahu rasanya berlarian di antara benturan dua senjata. Di antara cipratan darah yang menguarkan hawa kematian. Di antara kepala-kepala malang yang menggelinding di jalanan. Aku tahu betapa kejamnya suku lama, meski aku sering mengurung diri selayaknya orang dengan gangguan jiwa. Tak perlu jadi waras untuk tahu keadaan sekarang sangat mengerikan.

Mulanya, kekacauan ini berasal dari pembunuhan orang suku lama oleh warga transmigrasi yang memunculkan virus kebencian. Lalu disusul prasangka-prasangka buruk bahwa warga transmigrasi ingin merebut hutan tempat tinggal suku lama. Suku lama marah, begitu marah sampai mereka membakar rumah-rumah warga transmigrasi. Peristiwa itu mendapat serangan balasan. Terjadilah peperangan antara dua kelompok yang saling menebar kebencian. Suku lama dengan tradisi kunonya sering berkeliling di jalanan dengan memasang kepala warga transmigrasi yang telah mereka tebas di ujung tombak mereka. Begitulah yang aku dengar dari gosip orang-orang yang sering lewat di samping rumah.

Aku tak tahu mengapa kemarahan begitu cepat meledak. Aku pikir, kejadian kriminal itu---pembunuhan itu bisa terjadi pada siapapun tanpa memandang suku. Tapi siapa sangka hal itu memicu perang mengerikan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku pikir lagi, mereka terlalu cepat mendendam. Terlalu cepat membunuh orang.

Itu hanya pikiranku saja. Pikiran orang gila yang tak akan didengar apalagi ditanggapi tetangga-tetanggaku yang menganggap diri mereka waras. Tapi posisi ini mungkin akan sedikit menguntungkan. Orang sepertiku yang sehari-hari selalu ketakutan di kamar gelap, makan dan minum bergantung dari belas kasihan warga, dan terkadang terpaksa harus mencuri, tidak mungkin akan diserang. Suku lama tak akan mendatangi apalagi membunuhku.

Aku teringat pada bungkus kopi di genggamanku. Tanganku terangkat untuk menggaruk kepala meski sebenarnya tidak gatal. Lantas berdiri dengan kaki gemetar dan melangkah ke dapur. Bau sayuran basi menyerang hidung, tapi aku tak peduli karena bau seperti itu sudah sering kutemui di rumah ini. Kuambil cangkir dari lemari, merobek ujung bungkusan kopi, lalu menuang bubuk berbau nikmat itu ke dalam cangkir. Aku mencoba membuat minuman kopi seraya mengingat cara orang-orang normal melakukannya.

Kutiup segelas kopi yang kubuat sampai terlihat asap yang mengepul. Kucoba meminumnya sedikit dengan pelan. Pahit. Begitulah rasanya hingga dahiku mengernyit. Apakah harus ditambah gula? Namun, aku tidak menemukan butiran manis itu di seluruh sudut dapurku yang kusam.

Aku kembali memandangi kopiku dengan mata berbinar. Aku hanya ingin menikmati kopi itu. Apapun yang terjadi. Seperti bapak-bapak perut buncit yang sering nongkrong di warung. Mungkin dengan meminum kopi seperti mereka, aku bisa merasa hidup sebagaimana kehidupan normal yang orang-orang jalani.

Maka kuputuskan untuk meminta sedikit gula di warung Pak RT. Namun tidak sekarang, tidak saat genderang perang kencang terdengar. Mungkin nanti malam saat kampung sudah sepi. Semoga suku lama yang bertubuh gagah itu memilih terlelap bersama anak dan istri mereka.

***

Kuberanikan diri keluar dari rumah saat malam semakin pekat. Aku berjalan mengendap-endap seperti maling yang takut ketahuan. Sebilah pisau dapur berkarat teracung di tangan kananku. Berjaga-jaga jika celaka menantiku di depan sana. Rambutku yang bau semakin berantakan diterpa angin malam yang dingin. Aku berjalan menyusuri pohon-pohon besar yang rindang. Banyak orang bilang kuntilanak biasanya suka tinggal di atas pohon menakutkan itu.

Tidak ada para pemuda pengangguran yang suka nongkrong di pos ronda saat aku lewat. Mungkin mereka juga takut bertemu suku lama yang bagiku ibarat malaikat maut. Suasana di jalanan begitu sepi, seolah aku tinggal sendirian di dunia ini. Aku tetap melangkah, ditemani suara kesiur angin dan gemerisik dedaunan. Sampai pada menit kesekian, suara-suara di sekitarku seolah lenyap begitu saja. Hanya detak jantung yang tersisa dan ketakutan yang menyesaki paru-paru.

Aku mencengkram kuat pisau milikku. Sosok malaikat maut itu sangat nyata di depan sana. Gerombolan laki-laki bertubuh gagah, kulit gelap terbakar matahari, dan tombak tajam dalam genggaman. Pikiranku makin tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipis. Napasku memburu, mataku melotot. Ketakutan ini begitu luar biasa menyiksaku.

Aku merasa begitu harus mendapatkan gula itu. Aku tak bisa bersikap waras. Maka selayaknya orang gila yang dikatakan orang-orang, aku berlari sekencang mungkin sambil menutup mata, dan mulutku tidak bisa berhenti berteriak sepanjang pelarian.

Aku menghentikan tindakan brutalku ketika merasa sudah sampai di tempat tujuan. Aku membuka mata begitu mendengar gelegar tawa orang-orang. Cengiranku yang tampak menyedihkan itu muncul saat melihat warung Pak RT yang tengah disinggahi beberapa warga dan orang-orang dengan pakaian yang kelihatannya mewah dan bagus.

Aku mendadak takut melangkah ketika menyadari penampilanku yang begitu menjijikan dan menyedihkan. Kaos oblongku terlihat kusut dengan robekan bekas gigitan tikus. Belum lagi bau badanku seperti orang yang habis tidur di tempat pembuangan sampah. Kemungkinan besar mereka akan mengusirku dengan kasar.

"Ah, mereka itu gampang dibodohi! Demi lima belas juta mereka mau hasut orang untuk bunuh-bunuhan. Pasti gubernur itu bakal dicemooh habis-habisan, dianggap tidak becus urus warga! Haha," ucap salah seorang berpakaian rapi.

Entah kenapa mulutku tiba-tiba terasa kelu. Tubuhku kaku setelah berusaha keras memahami ucapan tuan itu. Kubiarkan mataku menatap mereka dengan melotot. Kubiarkan telingaku mendengar tawa renyah mereka dengan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang tubuhku, hatiku.

Apakah mereka lebih gila daripada aku? Begitukah kehidupan mereka pada umumnya? Kalau iya, lebih baik aku jadi gila yang tak mengerti apa-apa. Lebih baik aku hidup sendiri di dalam rumahku yang tertutup, ditemani debu yang jarang disapu dan tikus yang sering memakan baju-baju.

"Hidup memang sadis, Bung. Kalau tak mampu kau akan berakhir sia-sia dan dilupakan. Katanya organ manusia yang terakhir berfungsi setelah dia meninggal adalah telinga. Sayang sekali percakapan mereka yang harus kau dengar sebelum pergi."

Aku berhenti membeku ketika mendengar suara lain menyapaku. Aku sangat terkejut melihat kepala manusia di sebelahku. Kepala tanpa tubuh itu yang tadi berbicara padaku dengan wajah kelamnya. Anehnya aku merasa sejajar dengannya. Di detik-detik selanjutnya aku kembali kaku ketika menyadari bahwa aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Dan aku tidak merasa perlu meminta gula itu lagi.

---Tamat---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun